Penulis : Drs Muhammad Bardansyah Ch, Cht
Mudanews.com OPINI | syarakat Indonesia sering menunjukkan sikap ambigu dalam menilai kebenaran: keras terhadap kesalahan umum, tetapi lunak saat pelakunya adalah kolega atau keluarga. Fenomena ini dapat dipahami melalui lensa psikologi budaya, yang mengintegrasikan prinsip psikologis dengan nilai-nilai budaya kolektif.
Tulisan ini menganalisis fenomena tersebut dengan merujuk pada teori dimensi budaya, moral foundations theory, dan konsep “face” (muka), serta nilai lokal seperti “tepo seliro” dan “gotong royong”.
Analisis Berdasarkan Psikologi Budaya
Kolektivisme dan Hierarki Sosial (Hofstede, 1983)
Indonesia termasuk budaya kolektivis dengan skor tinggi dalam “power distance” (Hofstede, 1983). Kolektivisme menekankan harmoni kelompok (gotong royong) dan loyalitas pada in-group (keluarga, rekan).
Ketika anggota in-group melakukan kesalahan, mengutuk mereka dapat mengancam kohesi sosial. Di sisi lain, kesalahan out-group (orang asing) tidak mengancam identitas kolektif, sehingga respons lebih keras.
Moral Foundations Theory (Haidt, 2012)
Menurut Haidt (2012), moralitas dibangun atas fondasi seperti keadilan, loyalitas, dan otoritas. Dalam budaya Indonesia, fondasi “loyalitas” (pada kelompok) dan “respect pada otoritas” mungkin lebih dominan daripada “keadilan”. Konflik muncul ketika keadilan (menghukum kesalahan) bertabrakan dengan loyalitas (melindungi in-group), sehingga loyalitas sering diutamakan.
Konsep “Muka” (Ting-Toomey, 2005)
Budaya Asia, termasuk Indonesia, sangat menghargai “face” (muka) atau harga diri sosial (Ting-Toomey, 2005). Mengkritik in-group dianggap merusak “muka” pelaku dan kelompoknya. Sebaliknya, mempertahankan muka kolega/keluarga dengan tidak membongkar kesalahan menjadi bentuk perlindungan identitas bersama.
Tepo Seliro dan Budaya Rasa
Konsep Jawa tepo seliro (tenggang rasa)* mendorong empati dan menghindari konflik (Mulder, 2005) .
Sikap ini mendasari kecenderungan memaklumi kesalahan in-group untuk menjaga hubungan. Di sisi lain, norma agama atau hukum (sebagai prinsip abstrak) dianggap “kebenaran ideal”, sehingga masyarakat bersikap keras pada pelanggar out-group.
Dampak Sosial dan Kontradiksi Internal
Sikap ambigu ini menciptakan paradoks: masyarakat menuntut akuntabilitas publik, tetapi mempraktikkan nepotisme dalam lingkup privat (Errington, 1989). Contohnya, korupsi oleh pejabat sering dimaklumi jika pelaku adalah “orang dalam”, meski bertentangan dengan prinsip Pancasila (keadilan sosial).
Konflik kognitif (Festinger, 1957) muncul ketika nilai keadilan dan loyalitas tidak selaras, diselesaikan dengan rasionalisasi seperti: Memaafkan keluarga lebih baik daripada merusak persatuan.”
Implikasi
▪︎ Nepotisme dan Korupsi : Loyalitas berlebihan pada in-group dapat melemahkan sistem hukum (Fukuyama, 1995).
▪︎ Disonansi Kognitif : Individu mengalami stres saat harus memilih antara kebenaran universal dan ikatan sosial.
• Reformasi Budaya : Perlunya penguatan etika publik yang mengintegrasikan nilai kolektivis dengan prinsip transparansi, misalnya melalui pendidikan karakter berbasis Pancasila
Kesimpulan
Ambivalensi sikap terhadap kebenaran di Indonesia merupakan produk interaksi antara nilai kolektivis, hierarki sosial, dan konsep moral yang berprioritas pada in-group. Pemahaman ini penting untuk merancang intervensi budaya yang mengatasi kontradiksi tanpa mengikis identitas kolektif.
Daftar Pustaka
1. Festinger, L. (1957). “A Theory of Cognitive Dissonance”. Stanford University Press.
2. Haidt, J. (2012). “The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion”. Vintage.
3. Hofstede, G. (1983). National cultures in four dimensions. “International Studies of Management & Organization, 13”(1-2), 46–74.
4. Mulder, N. (2005). “Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java”. Kepustakaan Populer Gramedia.
5. Ting-Toomey, S. (2005). The matrix of face: An updated face-negotiation theory. In “Theorizing about Intercultural Communication” (pp. 71–92). Sage.