Mudanews.com-Jawa Tengah | Keberadaan sebuah makam tua di Desa Bumiharjo, yang terletak sekitar 1,82 km di utara Candi Borobudur, menyimpan kisah perjuangan seorang perempuan yang disebut sebagai bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Makam tersebut diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Gondowati atau BRAy Gondowati, seorang pejuang perempuan yang turut serta dalam Perang Jawa melawan Belanda pada 1825-1830.
Jejak Sejarah Gondowati
Menurut Gus Farid Wibawa, yang juga dikenal sebagai KRT Dhipo Yudho Joyo Sentolo, Pengageng Padepokan Diponegaran Sodongan, kisah makam ini berasal dari budaya tutur yang diwariskan turun-temurun. “Tokoh di makam itu menurut cerita tutur adalah seorang pejuang perempuan laskar Pangeran Diponegoro di wilayah utara Candi Borobudur,” ungkapnya pada Minggu (23/2).
BRAy Gondowati sendiri bukanlah sosok biasa. Ia merupakan istri selir ke-13 Sultan Hamengkubuwono II yang berjuang bersama Laskar Gondho Wulung. Kawasan Borobudur menjadi saksi pertempuran hebat antara pasukan Diponegoro dan Belanda, dan Gondowati diduga berperan dalam perlawanan di kawasan tersebut.
Upaya Revitalisasi Makam Gondowati
Dalam acara Nyadran di Dusun Sodong, Heru Subagia menyampaikan harapannya agar pemerintah pusat, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), turut serta dalam upaya pelestarian makam ini.
“Apalagi keberadaan makam tua tersebut adalah makam prajurit Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa dan para pegiat budaya maupun sejarah menyebutnya sebagai makam Gondowati, seorang perempuan,” ujarnya pada Minggu (25/2).
Heru menegaskan bahwa revitalisasi makam ini menjadi langkah penting dalam menjaga warisan sejarah dan budaya setempat. Selain itu, diharapkan kawasan ini dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata religi yang menarik perhatian wisatawan dari berbagai daerah.
Perempuan Jawa dalam Sejarah Perlawanan
Heru Subagia menyoroti bagaimana kisah perjuangan Gondowati bisa menggugurkan stereotip perempuan Jawa yang hanya berperan dalam urusan domestik seperti memasak, berdandan, dan mengurus anak (3M: masak, macak, manak).
“Peran perempuan prajurit Diponegoro belum banyak diungkap, padahal hampir seratus tahun sebelum RA Kartini memperkenalkan gagasan emansipasi, perempuan seperti Gondowati sudah terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajahan,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa sebelum era kolonial, perempuan Jawa sudah memiliki peran signifikan dalam politik, ekonomi, dan budaya. Beberapa contoh perempuan pejuang lainnya adalah Raden Ayu Yudokusumo dari Yogyakarta dan Nyai Ageng Serang yang memimpin perlawanan terhadap Belanda. Di bidang ekonomi, ada Ratu Kencono Wulan yang berperan dalam perdagangan, sementara dalam dunia sastra, ada tokoh seperti Raden Ayu Danukusumo yang aktif menyalin teks-teks Islam Jawa.
“Jika kita membaca surat-surat RA Kartini, terlihat bahwa kondisi perempuan Jawa saat itu sangat terkungkung oleh feodalisme. Tapi mengapa sebelum Perang Jawa, perempuan bisa begitu aktif dalam berbagai bidang? Ini menjadi tantangan bagi aktivis dan peneliti sejarah perempuan untuk mengkaji lebih dalam peran perempuan Indonesia dari abad ke-18 hingga era modern,” pungkas Heru yang merupakan alumni Fisipol UGM tahun 1996.
Menjaga Warisan Perjuangan Gondowati
Keberadaan makam Gondowati menjadi bukti bahwa perempuan juga memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Upaya revitalisasi makam ini bukan hanya sekadar menjaga peninggalan sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali kisah-kisah perjuangan yang selama ini terlupakan. Dengan pelestarian yang tepat, makam ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang untuk mengenang dan menghormati perjuangan para pahlawan perempuan dalam sejarah Indonesia.**(RED)