Penulis : Oleh: Agusto Sulistio
Mudanews.com Pagi itu, sinar matahari Jakarta menembus sela-sela gedung pencakar langit. Budi Kecil, bocah berusia sepuluh tahun dengan tubuh kurus dan rambut kusut, melangkah ringan di sepanjang Jalan Sudirman. Di pundaknya tergantung karung usang, tempat ia menyimpan botol-botol plastik bekas, hasil jerih payahnya setiap hari.
Hari itu, 20 Oktober 2024, ada sesuatu yang berbeda. Jalanan yang biasanya penuh kendaraan macet mendadak disulap jadi arena karnaval raksasa. Ribuan orang berbaur, tertawa, dan menikmati panggung hiburan yang berdiri megah di setiap sudut. Musik dari sound system bergema, bersahutan dengan deru mesin jet yang terbang rendah di atas kota. Aneka jajanan berderet di trotoar, dari bakso hingga es krim mahal yang tak pernah Budi rasakan seumur hidupnya.
Bagi Budi Kecil, hari itu terasa seperti dunia lain. Bukan hanya karena ia tidak harus menghindar dari petugas ketertiban umum, mereka hari ini sibuk mengatur lalu lintas massa, tapi karena sepanjang jalan, ia menemukan botol-botol plastik melimpah. Orang-orang tak peduli pada sampah. Dalam waktu singkat, karung Budi penuh sesak, tak lagi cukup untuk menyimpan semua botol yang ia temukan.
Di antara dentuman musik dan hiruk-pikuk karnaval, Budi tersenyum. Ia merasa hari itu seperti hadiah istimewa. Di usianya yang belia, ia paham bahwa hidup sering kali tak memberi banyak kesempatan untuk bahagia. Setiap minggu, Budi terbiasa menghindar dari kejaran petugas sambil mengais rezeki di antara tumpukan sampah. Namun, hari ini berbeda. Untuk sekali saja, ia tidak dikejar. Untuk sekali saja, ia merasakan dunia tidak melawan dirinya.
Budi berjalan hingga ke depan Istana Merdeka, menyaksikan iring-iringan meriah dengan artis dan pejabat yang melambaikan tangan. Namun, bagi Budi, semua itu adalah latar belakang semata. Perhatiannya hanya tertuju pada satu hal: botol-botol plastik yang berserakan, rezeki yang datang tanpa ia sangka.
Mimpi yang Pudar di Pagi Hari
Keesokan harinya, Budi terbangun dengan rasa lelah di sekujur tubuh. Karung usang di sampingnya masih penuh, seperti mengingatkannya pada karnaval kemarin. Namun, saat ia melangkah keluar dari gang kecil tempatnya tinggal, ia tahu mimpi indah itu telah berakhir. Jalanan kembali seperti biasa, ramai dengan kendaraan dan bising klakson. Tak ada lagi musik, tak ada lagi pesta, dan yang paling menyakitkan, tak ada lagi toleransi bagi keberadaannya.
Baru beberapa menit Budi berjalan, ia melihat sosok petugas ketertiban di ujung jalan. Jantungnya langsung berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, ia berlari. Karung di pundaknya bergoyang liar, menimbulkan bunyi gemeretak botol-botol plastik.
Budi berlari sekuat tenaga, menyelinap di antara gang-gang sempit yang sudah akrab baginya. Tangannya masih erat menggenggam karungnya, harta satu-satunya. Di tengah pelarian, ia merasakan ironi yang menyakitkan. Kemarin, ia berjalan di tempat yang sama, bebas dan tak terlihat. Hari ini, ia kembali menjadi anak kecil tanpa arti, seseorang yang harus selalu lari untuk sekadar bertahan hidup.
Ketika akhirnya Budi berhenti untuk beristirahat, ia terduduk di sudut jalan, terengah-engah dan memandang karungnya dengan mata berkaca-kaca. Ia sadar, hari kemarin hanyalah mimpi singkat di tengah realitas yang tak pernah berpihak. Baginya, pesta besar itu bukanlah bagian dari hidupnya, hanya sekelebat ilusi yang berlalu tanpa jejak.
Namun, di balik rasa letih dan sedih, Budi tersenyum kecil. Setidaknya, kemarin ia telah merasakan seperti apa dunia yang sejenak berpihak padanya. Ia tahu bahwa hari-hari ke depan mungkin tak akan berbeda dari sebelumnya. Tapi, bagi Budi Kecil, kenangan tentang 20 Oktober itu akan selalu ia simpan, hari di mana ia tidak perlu berlari dan dunia, meski sesaat, terlihat lebih indah.
Oleh: Agusto Sulistio
Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 21 Oktober, 20:18 Wib.