Puasa, Idul Fitri dan Kita

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Idul Fitri untuk kita saling memaafkan semua kesalahan yang dilakukan ke sesama, ini pesan individualnya, ada pula pesan sosial untuk umat dan bangsa dengan bersuara terhadap kondisi yang ada agar bangsa ini lebih cerah dan punya masa depan yang baik untuk generasi mendatang.

Hidup berbangsa agar saling berbagi perhatian untuk semua hingga ke mereka yang tak beruntung sekalipun di tengah gelombang kerasnya kehidupan, perhatian terhadap sesama, merupakan esensi dari puasa untuk perbaikan kehidupan pada bulan-bulan mendatang.

70 tahuh lebih kita menjadi bangsa merdeka, jauh sebelumnya telah ada yang bertasbih dan bertahmid, dilakukan oleh ratusan juta Muslim seperti juga yang dilakukan saat ini. Nikmat ketika kemerdekaan itu telah diraih, terbayang rakyat di tengah bangsa yang akan mencapai kesejahteraan dan bangsa pun bermartabat di tengah bangsa yang lain.

Kita sebagai umat berada di tengah bangsa lain telah memberi sumbangsih besar mengantarkan kemerdekaan dengan mengalirkan darah, berkorban nyawa yang tak terhitung jumlahnya, untuk hal itu ada saksi di catatan sejarah dan pula di tugu pahlawan. Mereka berharap bangsanya kelak meraih martabat dan rakyatnya sejahtera.

Telah ada SDA yang kita banggakan berupa kakayaan untuk rakyat, namun hingga kini masih sebagai penghias dan hiburan bahwa bangsa ini punya kekayaan yang tiada tara. Di tengah bangsa kita sebagai umat Islam yang jumlahnya terbesar, ratusan juta, layak pula sebagai potensi besar bagi bangsa Indonesia.

Kita pun memiliki kitab suci yang lengkap, di ayatnya berharap agar menjadi negeri yang baldah thayyibah warabbun ghafur. Untuk itu kita diharapkan menjadi umat terbaik (kuntum khairo ummatin ukhrijat linnas..), setelah itu kita diharapkan melakukan ‘amal makruf watanha ‘anil mungkar, bukan hanya untuk moral, tapi juga untuk ketidakadilan hukum dan ekonomi yang menjadi hajat seluruh rakyat yang kita rasakan masih dalam angan-angan.

Saat ini kita masih menyaksikan SDA yang kaya raya itu masih bagaikan fatamorgana, kita pun menyaksikan ada kenyataan pahit bangsa yang punya kekayaan yang berlimpah kini agar eksis sebagai bangsa wajib berhutang kini jumlahnya sekira Rp. 6000 trilyun, membaca kekhawatiran ekonom bahwa hutang ini di tahun-tahun mendatang bisa berada di angka 9000 dan bahkan 10.000 trilyun. Suatu kenyataan yang pahit memang.

Semakin pahit bila itu hanya bewujud mercusuar yang hanya untuk memenuhi pundi-pundi kekayaan sedikit orang yang hartanya sudah menggunung. Kenyataan yang pahit sangat dirasakan oleh rakyat yang jumlahnya jutaan masih berfikir besok makan apa?

Ini telah kita saksikan dengan mata kepala dan pula oleh mereka yang disebut wong cilik dan juga disaksikan oleh kaum berpendidikan tinggi yang telah banyak bergelar jenderal, doktor dan bahkan profesor. Kita baiknya membuka mata dan mata hati, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dan akan terjadi di masa mendatang? Mungkin kepahitan akan terus kita saksikan.

Di hari-hari ini, masih ditandai oleh bacaan tasbih dan tahmid semoga muncul ghirah baru yang menunjukkan keperdulian akan nasib rakyat dan wajah bangsa.

Kita diharapkan 11 bulan ke depan, kemenangan yang diperoleh bukan saja untuk individual tapi untuk rakyat yang sejahtera dan bangsa yang bermartabat. Untuk inilah kita merdeka 70 tahun lebih yang lalu yang perlu direnungkan kembali.

Kita bangsa yang telah merdeka di bidang politik, beragama, berbudaya dan berekonomi. Kitalah pemegang dan pengendalinya, berdasarkan konstitusi, tapi yang kita rasakan akhir-akhir ini ada pengendali lain yakni penumpang gelap yang individualisme dan atau bercitarasa asing yang mengendalikan hal-hal tersebut.

Hal tersebut perlu kita perhatikan untuk kebaikan nasib rakyat dan nasib bangsa ke depan. Keperdulian adalah hikmat dari puasa yang sudah dilakukan sebulan penuh. Sekali lagi puasa kita seharusnya bukan saja berdampak individual tapi komunal, bukan saja berdampak akhirat tapi juga dunia.

Puasa kita bukan untuk eksklusifitas hanya untuk umat Islam saja, tapi juga untuk bangsa. Inilah esensi pesan bahwa kita beragama untuk rahmatal lil alamin. Puasa untuk memberi keinsafan pada diri kita, setelah itu, baulah untuk yang lain.

Puasa kita diakhiri oleh pelaksanaan shalat idul fitri, yang ditandai baju baru dan membayar zakat. Zakat wajib dikeluarkan sebagai tanda rasa syukur dan tanda pentingnya ekonomi. Puasa kita ditandai ada keprihatinan yang mendalam terhadap kaum miskin melalui penghayatan adanya jerih payah merasakan lapar dan haus selama sebulan ini bagaikan lambang perlunya spirit ekonomi bagi umat Islam guna membangkitkan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kita telah menyaksikan kondisi ekonomi bangsa yang disertai oleh penyakit-penyakitnya. Ekonomi telah dijalankan oleh orang terdidik tinggi bahkan dari universitas terbaik di dunia, tapi hasilnya masih dipertanyakan mengapa dari era ke era hasilnya hanya semakin menumpuk hutangnya? Kenyataan ini tak dapat diterima nalar sehat, mungkinkah ini bagaikan sebuah desain agar ekonomi berjalan seadanya? kita sebagai umat Islam, layak bertanya.

Setelah adanya kenyataan pahit SDA yang tak berguna, alangkah naifnya pengelolaan ekonomi pun tampak tak berguna juga. Bangsa ini seolah tak boleh maju, seolah bangsa ini hanya boleh miskin dan menjadi bangsa yang terus berhutang. Kita bangsa yang kaya raya SDAnya dan kaya pula SDMnya. Sesuatu yang sangat ironi dan naif, ternyata kita menjadi bangsa penghutang dan eksistensinya bergantung pada hutang.

Bukan saja kita menyaksikan kondisi ekonomi yang naif ini, kita pun menyaksikan juga penyakitnya yang tak pernah sembuh dari para koruptor yang mengkorup uang rakyat yang jumlahnya pantastis, puluhan trilyun, BPJS, Asabri, Bansos dan lainnya di saat negeri kita yang sedang terpuruk dibebani hutang.

Maka saatnya kita bersuara mengapa pengelolaan ekonomi tidak profesional alias amburadul, mengapa korupsi kian merajalela, mengapa KPK di lemahkan?

Inilah juga yang harusnya disuarakan oleh anak bangsa yang cinta negerinya yang menyebut dirinya sangat pancasilais dan NKRI serta juga mereka yang menyebut diri 212 dan Ormas Islam besar lainnya yang anggotanya puluhan juta, mengapa tidak ada ‘amal makruf nahi munkar untuk hal itu? Kan kita tIdak ikut korupsi. Kan kita tidak dapat bagian, mengapa membiarkan prilaku memiskinkan bangsa terus terjadi dan umat tidak bersuara?

Bila terus terjadi pembiaran, maka ini bukan kesalahan agamanya tetapi kesalahan memahami ajaran agamanya. Ayat-ayat tentang keadilan ekonomi ada dalam Alquran, ekonomi bukan hanya soal riba, tetapi juga soal ketidakakadilan, juga soal adanya ketimpangan ekonomi yang kaya dan yang miskin bagaikan langit dan bumi, ingat pesan kitab suci, janganlah ekonomi hanya dikuasai oleh sekelompok kecil orang saja.

Muslim yang telah puasa jangan abai tentang ketidakadilan dan abai dengan pengrusakan ekonomi yang dilakukan koruptor dan tak bersuara tentang pelemahan KPK. Maka, umat nantinya menunggu waktu semakin tak berdaya dan bila hanya terus menonton dan nasibnya akan dikendalikan, dan saatnya nanti umat akan banyak berpuasa sepanjang tahun, dan umat akan banyak menadahkan tangan untuk membangun tempat ibadahnya, dan martabat bangsa pun terus semakin jatuh.

Bersuaralah! Mumpung jumlah umat masih ada dua ratusan juta, andai yang bersuara di kampus, partai politik dan Ormas Islam, bila saja ada puluhan juta bersuara, tentu suara yang membahana bagaikan bola salju.

Insya Allah bangsa ini akan tertolong ekonominya, karena umat punya keperdulian terhadapnya, ekonomi kembali akan dikelola secara berkeadilan dan koruptor pun akan takut karena umat bersuara, hukumlah mereka secara berat karena telah melakukan korupsi trilyunan rupiah yang membuat ekonomi bangsa kita semakin terpuruk.

Saatnya umat Islam mengimplementasikan hikmah puasanya, yang mendambakan nir kemiskinan di negeri yang kaya raya ini. Saatnya pula umat yang memiliki kitab suci yang lengkap kembali ingat ada ayat yang menyerukan menjadi umat terbaik dan juga ayat ‘amal makruf nahi mungkar.

Ayat ini bukan hanya untuk sekedar melarang pakaian yu ken see tapi yu ken unjustice in economy and law. Bersuara sebagai umat untuk bangsa yang jumlahnya ratusan juta masih ada dan punya eksistensi diri dan ini barangkali menjadi awal perbaikan bangsa.

Kita sebagai umat Islam, naif nanti bila dicatat sejarah jumlahnya 200 juta, bersuara saja enggan sehingga tak memberi warna agar bangsa ini menjadi bangsa yang baldah thayyibah warabbun ghafur, sangat memperihatinkan bila yang terjadi sebaliknya. Hikmah puasa jadinya hanya untuk akhirat, individual dan tidak menunjukkan agamanya yang yukla wala yukla alaihi, umat atau Ormais jadi disangsikan sebagai umat yang rahmatallil alamin.

Mari kita buktikan bahwa agama ini ada spirit atau api untuk kehidupan dan agama yang kompatibel dari masa ke masa dan ada rasa keperdulian terhadap ketidakadilan yang dirasakan di depan matanya sendiri. Akhirnya, Taqabbalallahu minna waminkum taqabbal yaa karim. Mohon Maaf beribu maaf untuk semua kesalahan yang pernah kami lakukan.

Oleh : Hasbi Indra
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

- Advertisement -

Berita Terkini