Sebuah Catatan Kecil Idul Fitri

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tidak ada satu pun pihak yang mampu memadamkan euforia Idul Fitri dengan segala macam pernak-perniknya. Aparat keamanan dibuat kewalahan menghadapi ribuan pemotor yang akan menjalankan ibadah silaturahmi mudik ke kampung halaman. Padahal, larangan mudik Idul Fitri jelas sudah diberlakukan.

Tentara Israel pun tidak mampu menahan gelombang umat Islam Palestina untuk menikmati akhir Ramadhan di Masjid Al-Aqsha. Meskipun, gelontoran peluru dan bahan peledak mengiringi ibadah umat di masjid penuh sejarah kenabian tersebut. Spiritnya sama, ingin menuju kesucian diri dalam menjalani kehidupan.

Di sisi lain, budaya konsumerisme (mengkonsumsi produk) selalu mengalami peningkatan jelang Idul Fitri. Toko-toko baju dan makanan mendapatkan berkah tahunan yang sama sekali tidak bisa dihindari. Boleh jadi, sejak awal Ramadhan mereka berdoa agar barang di tokonya laku keras. Kemudian, terkabulah doa itu menjelang akhir Ramadhan.

Hiruk-pikuk interaksi antar umat bahkan masyarakat di setiap waktu menjelang Idul Fitri secara perlahan menghapus makna ibadah puasa Ramadhan di hari-hari sebelumnya. Puasa mengajarkan umat agar menahan segala macam bentuk keinginan. Namun apa mau dikata, keinginan itu jebol juga bahkan saat Idul Fitri belum menjelang.

Tradisi i’tikaf atau mendiamkan pikiran di dalam hati di sepuluh akhir bulan Ramadhan kini berganti dengan keriuhan mencari dan membelanjakan Tunjangan Hari Raya (THR). Secara tanpa sadar, pikiran pergi meninggalkan tempatnya yakni hati, menuju berbagai barang dan makanan yang biasa tersaji di Hari Raya Idul Fitri.

Pada saat yang sama umat dituntun untuk konsisten pada ibadah dan orientasi ibadah itu sendiri yakni proses pelemahan logika berpikir material. Oleh sebab, hakikat diri umat sebenarnya adalah ruhaninya sendiri. Ruhani itu memiliki dua pokok wilayah. Pertama adalah wilayah pikiran sebagai subjek ibadah. Kemudian, kedua adalah wilayah hati sebagai objek ibadah.

Pikiran dikatakan sebagai subjek karena dia adalah pelaku ibadah. Dia harus mampu berpindah dari suasana ramai material ke dalam kedamaian ruhani yang bersemayam di dalam hati. Sehingga, tujuan Islam (kedamaian) tercapai dalam rangkaian ibadah yang selama ini dijalankan. Kedamaian dalam terminologi lain berarti juga Kesucian. Sedangkan makna Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian.

Kesucian Jiwa adalah Tujuan

Polesan hiasan material menjadikan jasmani menjadi suci. Polesan sabun mandi dan wewangian, ditambah dengan pakaian baru meskipun pada beberapa kesempatan hanya modal diskon, itu sudah cukup mengantarkan pada kesucian jasmani. Akan tetapi, tujuan ibadah bukan untuk membersihkan jasmani saja.

Ada tujuan besar yang seringkali terlupa oleh segenap elemen umat bahwa ibadah memiliki tujuan sentral berupa kesucian jiwa. Setiap detik desahan nafas dan derap langkah manusia sebenarnya digerakan oleh rasa yang bersemayam di dalam jiwanya. Rangkaian ibadah kemudian hadir untuk sebagai upaya membersihkan rasa negatif yang menguasai jiwa agar berubah menjadi rasa positif.

Jika setelah ibadah ada rasa ketenangan luar biasa yang hadir, maka jiwa itu suci, maka jiwa itu mencapai Idul Fitri. Jika setelah ibadah ada rasa kasih sayang dan cinta yang bersemayam mengisi relung jiwa, maka jiwa itu suci, maka jiwa itu mencapai Idul Fitri. Jika setelah ibadah ada rasa syukur dan sabar yang menjadi penghuni wilayah jiwa, maka jiwa itu suci, maka jiwa itu mencapai Idul Fitri.

Pantaslah sebuah keterangan mengatakan, “Laisal ‘Iid liman labisal jadiid, wa lakinnal ‘iid, liman tho’aatuhu taziid”. Idul Fitri bukanlah untuk mereka yang mengenakan pakaian baru. Akan tetapi Idul Fitri adalah untuk mereka yang ketaatannya bertambah dalam setiap waktu.

Jika ditarik secara makna hakikat, pakaian sebenarnya memiliki keluasan makna. Oleh sebab, pakaian itu adalah sesuatu yang dipakai. Sehingga maknanya, dapat menjadi busana, dapat menjadi ilmu dan pengetahuan, bahkan dapat menjadi posisi jabatan. Karena semua itu dipakai oleh manusia untuk menghias jasmaninya agar minimal selamat saat mengadapi suatu persoalan.

Jika demikian, maka Idul Fitri bukan untuk mereka yang mengenakan busana baru, memperoleh ilmu dan pengetahuan yang baru dan bahkan bukan untuk mereka yang memiliki posisi jabatan yang baru. Akan tetapi Idul Fitri adalah untuk mereka yang ketaatannya bertambah dalam setiap saat. Oleh sebab, semakin bertambah porsi ibadah, semakin peluang menuju kesucian jiwa itu akan bertambah.

Oleh : Aba Farhan
Kabid Pengembangan SDM TQN Cermin Hati, Cimaung, Purwakarta.

- Advertisement -

Berita Terkini