Tuan Tanah Kawin Muda: Sebuah Essay Singkat Tentang Lekra Yang Mati Muda

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Seni adalah barang impor, buah tangan dari para penjajah yang barangkali bosan melihat kosongnya dinding rumah tanpa papan lukisan. Sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan, seni merupakan konsep yang diperkenalkan oleh para kolonialis. Sehingga dapat dikatakan pemahaman akan seni yang beredar kini juga merupakan hasil serapan dari pengetahuan barat yang terus berkembang.

Indonesia tidak melahirkan kesenian, apabila yang dimaksudkan adalah kesenian sebagai produk kebudayaan ala renaisans yang modern dan terstruktur dari kawasan eropa. Kebudayaan indonesia “tulen”, mungkin lebih tepatnya yang berkembang secara organik, melahirkan wayang, ketoprak, batik, candi, ataupun tari-tarian sebagai cerminan identitas kedaerahan.

Masyarakat Indonesia modern sendiri menyebutnya sebagai seni tradisional, paralel  membedakannya dengan seni non-tradisional/konvensional. Sehingga konsep kesenian non-tradisional akan mengantarkan masyarakat indonesia pra-kolonial pada sesuatu yang tidak pernah ada dalam bayangan mereka.

Bentuk-bentuk asing seperti lukisan, patung, atau instalasi seni, dimana masyarakat modern menempatkan bentuk-bentuk tersebut dalam satu payung bertajuk “seni rupa”.

Awal mula kemunculan seni rupa ini, sebagai bagian dari Indonesia dapat dilacak dengan merujuk keberadaan Raden Saleh, seorang priyayi jawa yang berkesempatan untuk belajar langsung dari pelukis Belanda, bersekolah ke Eropa, dan bersaing dengan pelukis asing di abad 19. Ketika kembali ke Indonesia, Raden Saleh juga membawa seni lukis gaya romantis ke tanah kelahirannya. Kala itu, seni rupa modern dalam bentuk lukisan mooi indie atau “Hindia Molek” pun mulai menjadi bagian dari masyarakat Indonesia (tertentu).

Di tengah popularitas mooi indie yang menguat, seorang pelukis bernama Sudjojono berani menumpahkan kritik kepada Basuki Abdullah, salah satu tokoh seni rupa modern setelah Raden Saleh. Sudjojono tidak menampik talenta yang dimiliki oleh seorang Basuki Abdullah, namun menurutnya lukisan-lukisan “Indonesie” Basuki Abdullah sama sekali tidak menggambarkan “Indonesie” itu sendiri. Objek-objek kelndonesiaan yang disajikan dalam lukisan-lukisan romantis mooi indie, tidak mampu mencerminkan apa-apa selain nafsu pelukisnya dalam mencari uang.

Demikianlah, pernyataan keras Sudjojono tersebut hanyalah satu dari banyak suara para penggiat kesenian-kebudayaan di era paska-kolonial, yang kemudian hari berkumpul dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Lekra, singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, adalah organisasi seniman dan budayawan haluan kiri yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto.

Lekra lahir dan tumbuh seiring suasana Indonesia pada masa itu yang menjadikan politik sebagai panglima. Karena politik dinomorsatukan, kebudayaaan pun menjadi sarat politik sekaligus menjadi ajang tarung politik.

Tidak ayal lagi, pada zaman itu kesenian dan kebudayaan menjadi alat yang ampuh untuk menarik, menghimpun, dan mempengaruhi massa.

Jadi, wajar saja kalau partai politik dan organisasi kemasyarakatan mempunyai organisasi atau lembaga kesenian/kebudayaan. Misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Nahdatul Ulama mempunyai Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), dan Partai Indonesia (Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya.

Di antara lembaga kebudayaan yang ada ketika itu, Lekra-lah yang paling gemuk. Lekra menarik perhatian banyak seniman dari berbagai lapangan.

Macam-macam alasan orang masuk Lekra: tertarik karena keberpihakan Lekra pada rakyat; tertarik karena Lekra menjadi tempat berkumpul seniman top masa itu; ada juga yang tertarik karena Lekra punya fasilitas menyekolahkan orang ke luar negeri.

Pada masa Lekra dan lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, rakyat Indonesia terpecah menjadi tiga kelompok besar: nasionalis, agama, dan komunis, biasa disingkat nasakom. Kelompok yang paling dominan adalah komunis.

Selanjutnya, pengelompokan mengerucut menjadi dua, yaitu prokomunis dan antikomunis. Pertarungan ideologi antara kubu pro- dan antikomunis makin seru dan Lekra menjadi primadonanya.

Menurut Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni. Seni harus menghamba kepada politik! Yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen, tidak ikut organisasi berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan dengan revolusi berarti musuh rakyat.

Banyak yang tidak setuju dengan Lekra, diantaranya, adalah tiga budayawan terkemuka ketika itu, yaitu H.B. Yassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito yang kemudian membuat Manifes Kebudayaan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Dalam beberapa bulan Manifes itu mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah seantero negeri.

Hal itu membuat Lekra yang berhaluan kiri dan PKI kesal. Mereka mulai mengintimidasi para pendukung Manifes. Dengan segala cara akhirnya Lekra dan PKI berhasil membuat Presiden Soekarno melarang Manifes yang dianggap dapat melemahkan semangat revolusi rakyat. Akhirnya, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menerbitkan larangan terhadap Manifes Kebudayaan.

Larangan tersebut membuat para pendukung Manifes menjadi bulan-bulanan Lekra sampai menjelang pecahnya G-30-S PKI.

Meskipun secara resmi Lekra bukan organisasi onderbouw PKI, kedekatan yang amat  sangat dan kesamaan gaya, apalagi pendirinya yang kemudian tampil sebagai pimpinan teras PKI, akhirnya memunculkan anggapan bahwa Lekra adalah anak kandung PKI.

Setelah kegagalan G-30-S PKI, sebagaimana yang terjadi pada PKI, Lekra pun menjadi sasaran kemarahan. Karya mereka dilarang atau dihancurkan; para aktivis Lekra dihabisi; sebagian diasingkan ke pulau terpencil. Bahkan, tidak sedikit yang tidak pulang dari tempat pengucilan.

BukuTuan Tanah Kawin Muda ini merupakan salah satu publikasi pasca era reformasi yang paling awal membahas Lekra dari lahir hingga kematiannya.

Diskusi tentang Lekra masih menjadi konsumsi kalangan pekerja seni belaka. Sementok-mentoknya, para peneliti dan akademisi juga ikut menjadikannya sebagai objek kajian.

Bagi orang-orang yang peduli akan kesejatian Lekra, mendekatkan “sisa-sisa” Lekra dengan masyarakat adalah satu dari sedikit hal yang dapat dilakukan. Lekra di masyarakat non-seni, kerap jatuh kedalam dua model peruntukan antara kelompok yang asing atau sebatas versi artsy dari PKI yang ateis.

Namun, bukuTuan Tanah Kawin Muda ini dapat mengubah pandangan seorang awam tentang Lekra dalam sekali duduk.

Meskipun tebal bukunya tidak sampai 1 cm, dan sudah mencakup 7 bab penjelasan dengan 5 dokumen lampiran pendukung (berupa surat, teks, dan manifes dari kelompok-kelompok yang dibahas). Tetapi dengan spesifikasi demikian, buku ini mampu memaparkan argumentasi kesejarahan yang menjelaskan mengapa Lekra bukanlah perpanjangan tangan dari PKI. Meskipun keduanya berlaku timbal-balik sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Dalam bab “Daya Tarik dan Kesulitan”, membahas kedekatan Lekra dengan PKI yang semakin terlihat. Salah satu penggalan informasi dari bab tersebut adalah pemaparan 10 seniman yang dicalonkan PKI di pemilu 1955. Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan adalah tiga diantara sepuluh seniman yang berhasil memenangkan kursi parlemen. Adanya persilangan keanggotaan di antara dua kelompok tersebut menumbuhkan asumsi populer bahwa LEKRA adalah inisiasi PKI.

Pernyataan tersebut dimunculkan oleh seorang sarjana Australia Stephen Miller, yang kemudian hari dikembangkan menjadi propaganda Orde Baru.

Penjelasan yang lebih rasional dalam memahami relasi Lekra dengan PKI adalah dengan melihat Lekra sebagai “keluarga komunis”. Secara subtil, istilah “Keluarga komunis” ini juga menjadi titik pijak dari buku ini. Komunisme, dan nilai-nilai yang diperjuangkannya sejalan dengan cara Lekra bekerja.

Namun, Lekra bukanlah perpanjangan dari PKI. Kedua kelompok yang berbeda tersebut tidak lebih dari dua arketipe yang saling bertukar mutual benefits; Antara kelompok yang percaya bahwa seniman harus melek politik dan kelompok yang percaya bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang politis.

Dinamika sosial-politik Lekra yang menjadi fokus kajian dari buku ini tersusun menjadi suatu narasi mandiri. Terlihat Lekra adalah kelompok kebudayaan yang idealis dan memiliki haluan estetikanya tersendiri.

Keterkaitan Lekra dengan PKI hanyalah bagian dari Lekra dan bukan Lekra itu sendiri. Maka dari itu, narasi kebudayaan Lekra sebagai alat kebudayaan PKI yang langgeng digunakan sejak rezim Orde Baru berkuasa adalah sebuah partial truth.

Buku ini menyisipkan sedikit tentang Manifesto Kebudayaan yang merespon dominasi Lekra dalam gelanggang kebudayaan di akhir periode 50-an. Namun buku ini tidak berusaha menjelaskan peta perpolitikan Lekra, tidak begitu mengurusi siapa yang Lekra dan siapa yang tidak. Lekra dibahas sebagaimana realitas sosial-politiknya dapat diceritakan kembali oleh para narasumbernya.

Akhirnya buku Tuan Tanah Kawin Muda adalah sejilid esai yang berusaha untuk menjelaskan Lekra sebagaimana ia bekerja dalam sejarah singkatnya.

(Disarikan dari berbagai sumber)

Oleh : Junaidi, SH, MH, Dosen Hukum Pidana Universitas Djuanda Bogor

- Advertisement -

Berita Terkini