Manuskrip; Pribumi yang Menjadi Minoritas

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “Buku adalah jendela ilmu” begitulah slogan yang banyak ditemui di berbagai tempat, seperti perpustakaan, sekolah, taman baca, hingga majlis taklim. Saat mendengar kata ‘buku’ tentu yang terlintas dibenak adalah lembaran kertas putih berisi tulisan dengan huruf latin didalamnya, dan dijilid warna-warni. Itulah bentuk buku yang ada sekarang ini. Namun, pernahkah kita mengetahui bahwa ada buku yang terlihat sedikit berbeda? Dan seperti apakah buku pada saat mesin cetak belum ditemukan?

Buku kuno atau yang sudah ada sejak zaman dulu, sekarang disebut Manuskrip. Manuskrip (n Mal) berasal dari codices manuscript berarti buku-buku yang ditulis tangan (Pudjiastuti, et al., 2018: 64). Kata manuscript sendiri berasal dari bahasa latin: manu dan scriptus, yang secara harfiyah berarti ‘tulisan tangan’ dan manuscript (Inggris) yang antara lain didefinisikan sebagai: a book, document, or other composition written by hand (buku, dokumen atau lainnya yang ditulis tangan) (Fathurrahman, Vol.3, 2017: 22). Dimana mesin cetak maupun mesin ketik belum ditemukan di tempat dimana terjadi penulisannya.

Jika saat ini buku-buku cetak berbahan kertas berwarna putih bersih, maka manuskrip memiliki berbagai bahan alas tulis yang tentunya digunakan sebelum kertas digunakan pada saat itu. Jenis bahan yang digunakan untuk penulisan antara lain: kertas, kulit kayu, kulit binatang, daun lontar, bambu, tulang atau tanduk binatang. Adapun kertas-kertas impor dari eropa yang memili cap atau watermark digunakan pada abad 19 (Tjandrasasmita, 2006: 11,14).

Tidak seperti buku sekarang yang umumnya menggunakan huruf latin dan bahasa Indonesia, manuskrip pada zaman dulu ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa, sebagaimana yang kita ketahui Indonesia adalah negara Multi kultural yang memiliki banyak sekali bahasa. Ternyata, jumlah bahasa yang menghasilkan naskah-naskah di Indonesia sangat banyak, sampai tiga belas bahasa yang berlainan, (persisnya; Aceh, Melayu, Batak, Minangkabau, Sumatra Selatan (Rajeng, Lampung, Kerinci, dan dialek lain), Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Makassar, Bugis, dan Wolio), dalam sepuluh jenis aksara, dan tertulis setengah lusin alat tulis yang berbeda (Ikram, 2019: ix).

Jika pada masa itu saja, Indonesia memiliki perbendaharaan yang luar biasa dalam tulis menulis, lalu kemanakah bahasa, aksara, dan alas tulis yang beragam itu sekarang?. Tidak seperti China, Jepang, Arab, India dan negara lain dengan aksaranya masing-masing, Indonesia, sekarang ini, menggunakan satu aksara yaitu aksara latin dan bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca.

Meskipun, menurut penelitian yang diadakan oleh Badan Bahasa, perhitungan sementara jumlah bahasa yang digunakan di Nusantara ada 726 (Lauder, 2009: 2). Jumlah ini tentu saja telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Hal ini justru menjadi salah satu faktor terlupakannya aksara dan bahasa yang digunakan sebelumnya. Aksara yang tidak digunakan lagi, tentu akan menyulitkan pembaca karena kondisinya yang tidak mudah dimengerti oleh masyarakat luas.

Seperti halnya aksara, bahasa yang tidak lagi banyak digunakan juga akan sulit dipahami dan mungkin terjadi kepunahan, mengingat semakin berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah. Bahkan dewasa ini, anak-anak lebih diarahkan untuk belajar bahasa inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan budaya kebarat-baratan yang telah menggerogoti jati diri bangsa Indonesia.

Fenomena ini disebut Pergeseran Bahasa yang berarti penggunaan bahasa yang sangat terbatas, baik dari segi penutur maupun tempat dimana bahasa itu dituturkan dan kepunahan bahasa akan terjadi jika bahasa tersebut tidak ada lagi penuturnya dan posisinya tergantikan oleh bahasa yang sebagian besar dituturkan oleh masyarakat mayoritas (Sahril, Jurnal Ranah, 7, 2018: 216).

Dapat disimpulkan bahwa masalah yang mendasari tidak dikenalnya Manuskrip adalah ‘ketidaktahuan’, baik dari segi bahasa maupun aksara, terlebih lagi kepada pemahaman yang dapat dicapai melalui pembacaan. Ketidaktahuan terhadap Manuskrip dan segala hal yang ada didalamnya adalah akibat dari tidak diperkenalkannya hal-hal tersebut, yang mengakibatkan kepada berhentinya pelestarian.

Padahal dari dalamnya, banyak sekali pengetahuan dari berbagai bidang yang dapat diungkap yang sampai sekarang hal itu hanya dapat dilakukan oleh para peneliti dan ahli. Hal ini jelas menunjukkan bahwa generasi muda harapan bangsa yang biasa disebut Milennials belum banyak mengetahui pentingnya melestarikan Manuskrip yang merupakan warisan budaya bangsa, padahal jika pelestariannya terus bergulir maka besar jaminan tersampaikannya budaya ini kepada generasi selanjutnya. Atas semua itu, hal yang menjadi tanggung jawab setiap orang adalah memperkenalkan dan mengenal Manuskrip.

Tidak seperti obyeknya, upaya pengenalan ini tidak selalu harus melalui cara kuno, masyarakat tidak selalu harus duduk membaca, mendengakan, ataupun menulis di suatu tempat dimana Manuskrip itu berada. Justru cara-cara modern adalah cara yang mempercepat untuk memperkenalkannya, seperti melalui video, artikel, hingga website yang menyediakan berbagai macam informasi mengenai Manuskrip yang dapat dengan mudah diakses secara online. Hal-hal tersebut adalah hasil jerih payah dan ijtihad para ahli dan peneliti dalam melestarikan naskah kuno.

Tidak hanya sampai disitu, penyelamatan terhadap manuskrip juga dilakukan agar terhindar dari kehancuran. Naskah-naskah kuno yang jumlahnya ribuan, baik koleksi lembaga pemerintah, swasta, maupun yang masih ada di tangn masyarakat, sudah pasti memerlukan penanganan pemeliharaan atau konservasi (pengawetan) agar tetap lestari.

Upaya konservasi tentu telah dan sedang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan, antara lain Perpustakaan Nasional RI, Museum Sonobudoyo, dan lain-lain, lebih-lebih di luar negeri seperti Bibliotheek Universiteit Leiden di Negeri Belanda banyak sekali menyimpan naskah kuno dari Indonesia (Tjandrasasmita, 2006: 14).

Selain itu, penyelamatan terhadap naskah kuno juga dilakukan dengan cara Digitalisasi yaitu menyimpan manuskrip dalam bentuk digital agar isi manuskrip itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan jangkauan yang lebih luas. Proses digitalisasi dimulai dengan memotret lembar demi lembar seluruh manuskrip yang ada agar dapat disimpan dalam bentuk file.

Setelah itu dilakukan penyimpanan dalam bentuk hard copy berupa katalog manuskrip dan penyimanan dalam bentuk repositori yaitu menyimpan gambar manuskrip di dalam Web atau internet (Hidayat, et al., 2020: 11).

Perpustakaan Nasional RI dan Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal juga melakukan upaya lain, yaitu mengalihaksarakan dan menerjemahkan manuskrip lalu mencetaknya dalam bentuk buku, baik buku teks hingga buku bergambar animasi. Manuskrip dikemas ulang agar kandungan didalamya sampai kepada masyarakat luas.

Hal ini dilakukan agar minat membaca Manuskrip semakin bertambah seiring dengan bertambahnya kemudahan-kemudahan yang ditawarkan, sementara keaslian fisiknya tetap terjaga. Semoga perkembangan teknologi tidak membuat masyarakat lupa akan warisan budaya, tapi menjadikannya sarana untuk semakin mencintai budaya bangsa.

Penulis: Resty Aulia (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

- Advertisement -

Berita Terkini