Tokoh Tionghoa, OEI TJOE TAT Setia Hingga Akhir Hayat Dengan Bung Karno

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Dia membayar kesetiaannya pada Bung Karno hingga masuk penjara dan mendekam di balik terali besi – sebagai tahanan politik – selama hampir 12 tahun. Namun tak ada penyesalan sekeluarnya dari sana. Kecintaannya pada Bung Besar tidak berkurang. Ia tetap teguh sebagai “Sukarnois” hingga akhir hayatnya.

Dialah Oei Tjoe Tat alias OTT.

Oei Tjoe Tat adalah seorang intelektual, nasionalis tulen, seorang Sarjana Hukum (Meester in de Rechten), lulusan UI, 1948, pernah menjadi Wakil Presiden Partai Tionghoa dan anggota Baperki.

Pada tahun 1963 ia diangkat menjadi Menteri Negara, dan kemudian sempat menjadi salah satu anggota Kabinet Dwikora yang dijuluki sebagai “Kabinet 100 Menteri”.

Nasibnya berubah drastis setelah meletus Peristiwa 1965. Dari seorang menteri dan orang kepercayan presiden menjadi tapol – tahanan politik. Selama 11 tahun lebih hidup dalam tahanan.

PERISTIWA G30S menjadi titik balik kisah hidup OTT. Hidup OTT sontak menjadi tidak tenang sejak tragedi itu. Telepon gelap, corat-coret pada tembok, surat kaleng, dan lain sebagainya kerap menghiasi hari-hari OTT. Ini tentu karena loyalitasnya kepada Sukarno. Namun OTT tidak merasa cemas, mengingat ia memang tidak punya sangkut-paut apa pun dengan PKI. Ia bahkan menggambarkan G30S “sebuah tragedi nasional terkutuk, terlepas siapa yang merancang dan menjalankannya”.

Pada 18 Maret 1966 Soeharto mengumumkan bahwa perlu dilakukan penahanan terhadap 15 Menteri. Nama OTT termasuk di dalamnya.

Awalnya OTT dijadikan tahanan rumah pada 13 Maret 1966. Ia ditahan bersama dua orang lainnya, yaitu Ir. Setiadi Reksoprodjo (Menteri Listrik dan Ketenagaan) dan Drs. Soemardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan).

Setelah lebih dari 10 hari, OTT dibawa menuju Kompleks Olahraga Senayan. Dari Senayan, ia kemudian dibawa menuju Rumah Tahanan Militer (RTM) yang terletak di Jalan Budi Utomo. Di RTM inilah OTT resmi memulai hidupnya sebagai tahanan.

Pada 29 Juni 1966 OTT dipindahkan ke Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Nirbaya yang terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Sebelum proses pemindahan tersebut, ia masih sempat melihat Chaerul Saleh – orang kepercayaan Bung Karno – untuk terakhir kalinya. Hingga suatu pagi, Chaerul Saleh ditemukan meninggal dalam selnya.

Dalam satu pemeriksaan, OTT dipaksa penyidik untuk menandatangani dokumen yang menjelaskan bahwa pada 29 September 1965 ia berada di Istana. Dalam surat tuduhan itu disebutkan bahwa Bung Karno memerintahkan OTT menyelamatkan Yurike Sanger, istri kelima Bung Karno. Ia ditugaskan membawa Yurike ke Makao, sedangkan Jusuf Muda Dalam diperintahkan memberikan beberapa puluh ribu dolar kepada OTT.

Oei Tjoe Tat bahkan dituduh hendak membentuk “kolone ke-5 yang siap bekerja sama dengan musuh”. Bahkan juga ditudih “ingin mendirikan negara Cina ketiga di Asia Tenggara, setelah Tiongkok dan Taiwan”. Padahal OTT sama sekali tidak mengenal Lee Kuan Yew dan tidak pernah bertemu dengannya. Ia juga tidak paham apa-apa mengenai kolone ke-5.

Sekalipun berada dalam tekanan, OTT menolak menandatangani dokumen tersebut, mengingat saat itu ia masih berada di Hong Kong.

Oei Tjoe Tat menolak berkolaborasi mendiskreditkan Sukarno, meski beberapa kali kesempatan itu hadir di depan matanya.

Dia membuktikan sebagai loyalis tulen Bung Besar dan tidak pernah sekalipun mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Ketika diwawancarai Mayjen E.J. Kanter, visi dan pandangan politik OTT tetap sama: ia menyatakan akan terus ada di belakang Sukarno.

Dalam buku memoarnya – yang kemudian dilarang – “Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Sukarno” (Hasta Mitra, 1995), OTT menegaskan, tidak pernah sedikit pun ia menyesali jalan hidupnya – menjadi pendukung Bung Karno. Kurungan penjara juga tidak membuatnya gentar.

SEDARI AWAL penangkapan, memang sudah terdapat keganjilan di seputar kasus Oei Tjoe Tat. Surat perintah penahanan tertanggal 18 April 1966 baru diperlihatkan kepada OTT pada 10 April 1967. Para advokat yang membelanya pun sudah sadar bahwa OTT didakwa bukan atas dasar hukum, melainkan karena pertimbangan politis.

Beberapa rekan sesama advokat menawarkan diri menjadi pembela OTT, di antaranya Adnan Buyung Nasution dan Tjiam Djoe Khiam. Namun pada akhirnya OTT dibela Yap Thiam Hien yang didampingi Djamaluddin Datuk Mangkuto dan Albert Hasibuan. Mereka bahu-membahu secara maksimal dalam membela OTT, meski mereka sadar betul peluang OTT untuk dibebaskan hampir tidak ada.

Dibesarkan di keluarga klas menengah, OTT menghabiskan hidupnya aktifis dan seorang politikus. Karier politiknya dimulai semenjak lulus dari Universiteit van Indonesië (sekarang Universitas Indonesia) di Batavia pada tahun 1948.

Ia terpilih wakil presiden Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) pada tahun 1953, bergabung dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada tahun 1954 dan sejak tahun 1960 aktif dalam Partai Indonesia (Partindo) serta menjadi salah satu pengurus pusatnya.

Oei menempuh pendidikan dasarnya di HCS Solo sebelum melanjutkan ke HBS Semarang. Ia pun kemudian memutuskan masuk ke Recht Hoogeschool (RHS/Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia.

Melalui privilese pendidikannya tersebut, OTT mengembangkan pemikiran kritis dan mulai tertarik pada ide-ide seputar Nasionalisme dan keIndonesiaan.

SECARA PRIBADI Bung Karno memintanya untuk menjadi menteri yang bertugas membantu presiden dan presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena, dan Chaerul Saleh). Saat itu tahun 1963.

OTT sempat menolak jabatan tersebut dengan alasan “tidak berambisi dan tak menginginkannya”.

Penolakan itu membuat Bung Karno murka. “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa, Negara, dan Revolusi memerlukan Saudara! Bukan Saudara sendiri,” bentak Bung Karno.

Sepak terjang OTT diamati BK sejak Mei 1963, berdasarkan laporan dari Winoto Danu Asmoro. Pilihan Bung Karno bukan tanpa dasar. Singkat kata, OTT tidak memiliki pilihan lain selain menerima posisi tersebut.

Oei Tjoe Tat sempat bertanya kepada Bung Karno, apakah perlu baginya untuk mengganti nama Tionghoanya. Di luar dugaan jawaban Bung Karno sangat menohok dirinya.

“Wat? Je bent toch een Oosterling? Heb je geen respect meer voor je vader, die je die naam heeft gegeven? Terserah, maar voor mij is Kolonel Pieters, Douwes Dekker of John Lie meer Indonesier.”

(Apa? Kamu ‘kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberimu nama itu? Terserah, tapi untukku Kolonel Pieters, Douwes Dekker atau John Lie lebih Indonesia.”) Begitu kata Bung Karno seperti dicatat dalam “Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Sukarno” (1995: 152).

OTT adalah putra pasangan Oei Ing Wie dan Ong Tin Nio. Dia generasi ketiga yang lahir di Indonesia, sehingga mayoritas sanak famili OTT hanya menguasai bahasa Jawa dan Melayu-Tionghoa.

Keluarga OTT merupakan keluarga terhormat di Solo. Sang ayah membuka toko di Coyudan Kidul yang diberi nama “Toko Ong Swie Giok Solo.” Kakek dari nenek OTT bernama Oei Kie Liek, yang sempat menjadi hulubalang pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam peperangan melawan Belanda.

Dalam tubuh OTT mengalir darah campuran dari seorang Tionghoa dan putri bupati Jawa.

Lahir di Solo 26 April 1922 dari keluarga Tionghoa kelas menengah. Persentuhannya dengan dunia politik diawali ketika berkawan dengan seorang wartawan di Semarang yang bernama Siauw Giok Tjhan pada akhir dekade 1930-an. Siauw Giok Tjhan inilah yang kelak (bersama Oei Tjoe Tat) menjadi pimpinan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di masa Revolusi, OTT menggabungkan diri dengan gerakan yang dipimpin Tony Wen, seorang Tionghoa yang secara gamblang menyatakan keberpihakannya pada Republik Indonesia.

Tony Wen berjuang memperbaiki nasib kaum buruh. Dia membentuk “Ping Min Lao Kung Hui” (Serikat Rakyat dan Buruh) Surakarta.

OTT juga bergabung dengan “Sin Ming Hui” di Batavia pada September 1946 dan menempati posisi Sekretaris II. Secara politis, Sin Ming Hui berupaya menempuh berbagai garis kebijakan agar kaum Tionghoa peranakan bisa berkiblat secara politis kepada Indonesia.

Pada 1948 OTT resmi menyandang gelar “Meester in de Rechten” atau sarjana hukum. Berkat nilai-nilainya yang sangat baik, ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi ke Belanda. Tawaran tersebut ia tolak dengan alasan Indonesia sedang mengalami perubahan-perubahan yang cepat dan fundamental. Dan ia ingin menjadi bagian dalam perubahan tersebut.

Seperti kebanyakan kaum intelektual masa itu, OTT tertarik pada pandangan Sosialis Demokrat. Namun dirinya enggan berkecimpung dalam organisasi, sampai terbentuknya Baperki pada 1954. Tujuan utama Baperki adalah memperjuangkan agar semua warga negara menjadi patriot Indonesia sejati, terutama menghapus segala macam perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.

DENGAN kepatuhan dan keahlian yang dimilikinya, Oei Tjoe Tat segera menjadi orang kepercayaan Bung Karno. Presiden menginstruksikan langsung kepada OTT untuk memata-matai para jenderal yang masih setia kepadanya. Alasan Bung Karno memilih OTT adalah karena latar belakangnya sebagai keturunan Tionghoa, sehingga jelas tidak akan ada satu pun jenderal yang mencurigai OTT berambisi menjadi presiden. Strategi tersebut juga berguna untuk meminimalisasi kecurigaan Angkatan Darat. Soebandrio sudah dikenal AD sebagai orang yang berambisi menggantikan Bung Karno setelah ia tidak ada. J. Leimena lebih bersikap seperti pendeta ketimbang politikus. Sementara Chaerul Saleh dituduh kerap memperkaya diri sendiri.

Beberapa kali Oei diajak masuk kamar tidur BK. Di dalam kamar, hanya ada dia dan Sang Proklamator RI. Dia duduk di ranjang Presiden sambil menyampaikan laporan penting dan rahasia, sementara Bung Karno mendengarkan.

Ada kalanya, ia mendengar laporan Oei Tjoe Tat sambil mencukur jenggot, jambang dan kumis, di depan kaca.

Dalam suasana seperti itu, kepada menteri Tionghoa kelahiran Solo itu, Bung Karno akan mengubah bahasa percakapan menjadi bahasa Jawa ngoko bercampur Belanda. Bung Karno pun memanggil namanya dengan panggilan “Tjoe Tat” saja.

Dalam kesempatan OTT pula, Oei tidak hanya melapor, mendengar arahan, melongok, tetapi dapat mengamati seisi kamar orang nomor satu di Republik Indonesia.

Kesan pertama saat masuk kamar tidur Bung Karno, terwakili hanya dengan satu kata: “Berantakan!”

Menurut Tjoe Tat, separuh dari ranjang Presiden, berisi buku-buku yang berserak tak beraturan. Bukan hanya itu, bahkan di lantai pun ia melihat buku-buku berserakan. Pada cantelan baju di dinding, tergantung jas-jas dan pantalon-pantalon sangat tidak beraturan.

“Tidak rapi, dan tidak terawat,” kata Tjoe Tat lagi – mengomentari kamar Bung Karno sebagaimana ditulis jurnalis senior, Roso Daras.

Sekali waktu, ada isteri diplomat yang kekurangan ongkos saat ditugaskan ke Tokyo dan menyampaikan kepadanya. Tanpa menoleh, Bung Karno minta agar Oei merogoh saku di jasnya yang tergantung. “Cari saja uang yang ada di kantong kantong jas atau pantalonku.”

Oei merogoh-rogoh semua kantong jas, pantalon yang bergelantungan tak teratur di sebuah rak pakaian. Cuma beberapa US Dollar di kantong sini, beberapa ratus yen di kantong lain, beberapa puluh lira di kantong sana. Jelas Presiden tidak tahu berapa uang ia simpan, yang kira-kira hanya bernilai kurang dari USS 1.000,-

Berapa ingin berikan, Oei bertanya. Bung Karno menjawab : “Bepaal maar zelf hoeveel je wil geven … (Tentukan sendiri berapa kamu mau kasih).

Saat itu, Bung Karno tengah “menjomblo”. Ibu Fatmawati dan anak anaknya keluar dari Istana Negara dan pindah ke rumah tinggal Kebayoran Baru. Sedang Ibu Hartini ada di istana Bogor.

SEBELUM DITANGKAP, Oei Tjoe Tat ditunjuk sebagai anggota komisi pencari fakta “Fact Finding Commission” yang diketuai Menteri Dalam Negeri Soemarno Satroatmodjo. Komisi ini bertugas mengumpulkan informasi mengenai sebab-musabab dan jumlah korban pembersihan orang-orang yang terlibat PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Dari investigasi mereka di wilayah Medan dan sekitarnya, sebagian Jawa Tengah dan Timur, hingga Bali, selama kurun Desember 1965 hingga 2 Januari 1966, sebanyak 80.000 jiwa telah menjadi korban. Mengingat pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan PKI terus berjalan, maka jumlah korban tentu terus bertambah.

Laporan dari Bali “hanya” 15.000 orang yang dibunuh. Namun dari informasi yang dikumpulkan, komisi ini mendata ada kira-kira 45.000 orang yang dibunuh.

PADA 9 Februari 1976 Oei Tjoe Tat mulai diadili. Sidang berlangsung selama 11 kali sampai dengan 30 Maret 1976.

Majalah “The Review, International Commission of Jurist” (No. 13, Desember 1974), dalam rubrik “Human Rights in the World,” menyimpulkan bahwa hasil interogasi dan bukti yang dituduhkan penyidik seharusnya tidak dapat digunakan untuk menuntut OTT.

Di pengadilan, dalam pembelaan dirinya, OTT menegaskan bahwa ia memang penganut ajaran Sukarno, memiliki aspirasi-aspirasi Baperki, dan bercita-cita sebagaimana yang dicita-citakan Partindo: kewajaran, keadilan, dan kemanusiaan. Pledoi OTT tersebut dibacakan pada 3 Maret 1976 dengan judul “Laksanakan Trisakti, Mahkota Kemerdekaan yang Sejati.”

Pada akhirnya OTT dihukum 13 tahun penjara dalam sidang rekayasa tersebut. Ia dituduh bekerja sama dengan PKI dan berhubungan rapat dengan tokoh-tokoh PKI.

Pada 30 Desember 1977 Oei Tjoe Tat dibebaskan setelah hampir 12 tahun berada di balik kurungan. Ia menjadi tapol pertama yang mendapat remisi sejak meletusnya peristiwa G30S.

Oei lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 April 1922 – meninggal di Jakarta, 26 Mei 1996 pada umur 74 tahun.

Oei Tjoe Tat, loyalis Bung Karno itu, meninggal karena sakit prostat yang dideritanya.

Bangsa ini pernah melahirkan banyak tokoh etnis Tionghoa yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya demi sebuah idealisme dan loyalitas politik pada Tanah Air Indonesia.

Bersama tokoh Tionghoa lainnya seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, pengacara Yap Thiam Hiem, perwira militer Laksamana Muda ALRI TNI AL John Lie – Oei Tjoe Tat tampil dalam panggung sejarah Indonesia di masa pemerintahan era Sukarno.

Sayang, nama nama mereka akhirnya diburamkan sejarah. Di antaranya, Oei Tjoe Tat. *

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini