Cerdik Pandai dan Kebijakan Pada Zaman Dahulu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pada zaman dahulu, sebelum pendidikan berkembang seperti sekarang, ada istilah “Cerdik-Pandai” Para cerdik-pandai umumnya adalah tokoh masyarakat. Bisa juga tokoh adat dan tokoh agama. Mereka itu memang cerdik dan pandai. Padahal pendidikan mereka tidaklah setakat sarjana. Tetapi, mereka sebagai panutan. Ucapan mereka jadi petuah. Kepada mereka orang bertanya berbagai hal dan meminta nasihat. Ada kesejukan dalam ucapannya. Banyak kebijakan dalam hatinya.

Saat ini, orang cerdik dan orang pandai tentu sudah banyak dihasilkan lembaga pendidikan tinggi. Tetapi, mereka tidak disebut cerdik-pandai. Hanya disebut Pakar. Mengapa? Orang cerdik, sejatinya pandai, tetapi orang pandai belum tentu cerdik.

Dalam kata cerdik-pandai, ada makna “Keteladanan, Kejujuran, dan Ketulusan” Ketiga kata ini tidak berhimpun pepat pada kata “Pakar.” Lebih menajamkan disiplin keilmuan dan kompetensi. Kata “Cerdik-pandai” saat ini, terselip makna negatip dari “Licik dan Lihai.” Orang pandai dianggap kurang bernilai dibanding orang “Pandai-pandai.” Ada juga cakap Medan, “Pande-pandean,” maksudnya sok pandai, sok paten, pantang tak hebat. Kalau dibuat pantun:

Berangkai-rangkai berjuntai tomat
Retap saja dari tangkai
Sepandai-pandai tupai melompat
Tetap saja jadi tupai

Ada juga istilah bijak, kebijakan, kebijak-an, dan bijak-bijak-an. Dalam KBBI tertulis: bijak/bi·jak/ a 1 selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir: 2 Mk pandai bercakap-cakap; petah lidah, kebijakan/ke·bi·jak·an/ n 1 kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; 2 rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.

Sekarang, orang bijak banyak. Orang bijak diminta membuat kebijakan. Kebijakan itu macam ragam. Faktanya, banyak kebijakan yang tidak bijak di berbagai lini kehidupan. Misalnya, pembagian bantuan sosial yang tidak merata, pemberian bantuan bencana harus membawa Kartu Keluarga, persyaratan administrasi rawat inap pasien BPJS, sertifikat TOEFL yang berlaku satu tahun, ujian Tes Kemampuan Dasar Akademik untuk dosen dengan soal-soal yang sama sekali tidak ada hubungan dengan kemampuan akademik, persyaratan harus ada ijazah SD, SMP, dan SMA untuk registraai ulang dosen (padahal untuk jadi pegawai negeri dulu, hanya ijazah S1), penerimaan murid baru berdasarkan zona sekolah, persyaratan vaksin bagi Nakes harus menunjukkan Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktek, dan ada juga SKB menteri serta surat edaran yang menuai protes masyarakat.

Ada lagi instansi pemerintah yang harus mengisi daftar hadir harian tiga bulan sekali gus. Ada juga ASN yang finger print dua kali sehari pagi dan siang. Selebihnya boleh nongkrong di mana saja. Belum lagi berbagai surat pernyataan dengan materai yang tak jelas aspek hukumnya. Ada pula surat keterangan bekerja sebagai dosen harus dari lurah, bukan dari perguruan tinggi. Ah, pokoknya banyak lagi, lah! Capek aku nulisnya!

Oleh Dr. Umar Zein

Medan 28 Februari 2021

- Advertisement -

Berita Terkini