Ratna Sari Dewi Sukarno 81 Tahun

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “Kalau aku mati, kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.”

Demikian pesan Sang Proklamator dalam buku “Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suami & Kebanggaanku” (1978).

Dewi Sukarno yang amat dicintai oleh tokoh proklamator belum meninggal. Bahkan baru merayakan ultahnya yang ke 81 dalam pesta kecil yang meriah. Dia masih bisa bernyanyi nyanyi dan menari.

Pernikahan Bung Karno dan Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi dikaruniai seorang putri bernama Kartika Sari Dewi dengan nama panggilan Karina.

Pada era 1990an saat marak dugem dugeman di diskotik Tanamur (Tanah Abang Timur) Jakarta Pusat, saya pernah amprokan dengan Karina. Kami melantai bareng. Maksudnya, dalam suasana remang remang, mendadak di sebelah saya dia nonggol lalu ‘slowdance” bareng pasangannya, orang bule, sembari sesekali ciuman hot. Bikin pusing.

Saya juga pernah menghadiri undangan jumpa pers saat ibu Dewi – panggilan populernya – terlibat masalah dengan seorang kepercayaannya yang membawa semua kontak dan proyek yang tengah digarap. Bu Dewi bicara dalam basa campur aduk, Inggris, Indinesia, Prancis, dan Jepang dan soalnya dihadiri para wartawan asing juga.

Seingat saya wartawan Indonesia yang bertanya kebanyakan perempuan. Laki laki melongo saja sembari merekam dan mencatat. “Memang cantik banget, ya.. ” celoteh rekan seusai jumpers di cafe seberang Sarinah itu.

PESONA kecantikannya yang membuat Bung Karno tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Hingga akhir hayatnya.

Naoko Nemoto lahir 6 Februari 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.

Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesio geisha di Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing.

Pada 16 Juni 1959, Naoko mengisi acara di hotel Imperial, Tokyo, guna menyambut kedatangan tamu negara. Di klab inilah Sukarno datang pada bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, setiap Sukarno berkunjung ke Jepang untuk membicarakan pampasan perang, ia selalu menemui Naoko.

Menurut catatan Rosi Daras, wartawan yang banyak menulis tentang Bung Karno – dan mengunjungi rumah Bu Dewi di Shubya, Tokyo, usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas.

Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.

Sementara itu affair Bung Karno dengan seorang geisha di Jepang ini mengkhawatirkan sejumlah pihak di Tanah Air. saat itu musuh pemerintah mencoba memanfaatkan situasi itu untuk menjelek-jelekkan nama dan kelakuan Bung Karno.

Apalagi saat itu Indonesia sedang melancarkan Konfrontasi Malaysia.

Dalam cerita yang ditulis jurnalis senior Julius Pour di buku “Kisah Istimewa Bung Karno, ABRI” – para petinggi ABRI sepakat mengirim dua perwiranya, Ahmad Yani dan Soenarso untuk menyusul Bung Karno yang kala itu tengah berada di Jepang menemui Naoko.

Setibanya di hotel tempat Sukarno menginap, Ahmad Yani dan Soenarso sempat berdebat tentang siapa yang harus berbicara kepada Bung Karno dan mengajaknya pulang. Keduanya takut jika sang Presiden marah.

Akhirnya Soenarso yang bicara dan berterus terang kepada Bung Karno agar segera pulang dan memutuskan tali asmaranya dengan Naoko.

Sebenarnya Soenarso sudah bersiap menerima kemurkaan Sang Presiden. Ternyata jawaban Bung Karno sungguh tak disangka. “Lha, cara untuk memutuskan (Nemoto) bagaimana?” .

“Gampang, Pak. Sekarang saja Bapak kembali ke Jakarta, tanpa memberitahu siapa pun, kecuali protokol pemerintah Jepang,” saran Soenarso. Nasihat itu langsung dijalankan Bung Karno. Sore itu juga, dia dan rombongannya terbang ke Jakarta.

Malam hari setelah Sukarno pergi, ternyata Naoko datang ke hotel. Dia terkejut karena Bung Karno sudah pulang, tanpa pamit.

Perasaannya campur aduk, antara sedih karena ditinggal kekasih dan harga diri yang terhina. Dalam kesedihan, Naoko akhirnya mengambil jalan pintas, yakni mencoba harakiri. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan oleh pihak hotel yang langsung membawanya ke rumah sakit.

“Ketika berita bunuh diri tadi sampai di Jakarta, kami sendiri juga bingung, disampaikan tidak kepada Bung Karno,” kenang Soenarso tentang kisah cinta Bung Karno ini.

Namun kabar itu akhirnya sampai ke Bung Karno juga. Reaksinya bisa ditebak. Sebagai pria yang bertanggung jawab, Sukarno langsung terbang ke Jepang tanpa peduli nasihat apa pun.

Setelah peristiwa itu tak ada satu pihak pun yang bisa menghalangi jalinan cinta Bung Karno ke Naoko. Bung Karno akhirnya menikahi Naoko dengan hukum Islam pada 3 Maret 1962. Usia Bung Karno 59 dan Naoko 22.

Pernikahan pasangan beda usia dan beda bangsa mengguncang dua negara. Kabarnya, ibu Naoko langsung terkena serangan jantung dan meninggal dunia begitu mendengar anaknya menikah dengan Sukarno dan berganti agama. Sedangkan kakaknya, usai sang ibu meninggal, bunuh diri karena merasa nama keluarganya tercemar. Dia terhina karena adiknya menjadi “selir” dari presiden negara miskin seperti Indonesia.

Di Indonesia Bung Karno jadi pergunjingan karena sudah menikah empat kali. Naoko menjadi isteri ke lima. Selain itu, pernikahan keduanya pun sempat diduga sangat dipenuhi muatan politis. Wanita asli Jepang ini sempat dianggap banyak orang memanfaatkan Bung Karno demi memperlancar bisnis para konglomerat Jepang.

Bung Karno pernah ditulis wartawan suratkabar Amerika, sebagai pria yang gemar melirikkan mata kepada wanita-wanita cantik. Atas tulisan tersebut, Bung Karno menyangkal keras. “Yang benar adalah, Bung Karno menatap setiap perempuan cantik dengan kedua bulatan matanya….”

Ia mengagumi setiap bentuk keindahan. Ia menarik nafas dalam-dalam setiap menatap hamparan pemandangan negerinya yang molek. Ia mengagungkan asma Allah setiap melihat wanita cantik ciptaanNya.

Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang begitu mulia di hati Sukarno. Inggit Garnasih sebagai perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga menjelang Indonesia merdeka. Fatmawati? Ia gadis 19 tahun yang ceria, saat dinikahi. Fatma pun ditaburi cinta Sukarno, karena dia adalah penopang semangat Sukarno di awal-awal republik berdiri.

Hartini? Ah… dialah pembuat sayur lodeh paling enak di lidah Bung Karno. Kesadarannya sebagai “madu”, memposisikan Hartini menjadi seorang istri yang begitu berbakti. Karenanya, Bung Karno membalasnya dengan luapan asmara tiada tara. Tak heran jika dalam wasiatnya, Bung Karno ingin dimakamkan berdampingan dengan Hartini.

Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno.

Naoko adalah perempuan ke-5 yang dikawini Bung Karno hingga saat itu. Kala masih muda di Surabaya, Sukarno menikah dengan Siti Oetari Tjokroaminoto, putri tokoh Sarekat Islam (SI) Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, namun kemudian berpisah.

Selanjutnya, Sukarno mengawini Inggit Garnasih yang lama mendampinginya saat berjuang selama era pergerakan nasional, termasuk saat menjalani pembuangan di Ende (Flores) dan Bengkulu.

Pada masa pendudukan Jepang atau beberapa waktu sebelum Indonesia merdeka, Sukarno dan Inggit bercerai. Bung Karno lalu menyunting Fatmawati yang kemudian menjadi ibu negara pertama RI.

Selama menjadi presiden, Sukarno menikah beberapa kali lagi. Hartini menjadi istri Sukarno dalam perkawinan yang ke-4 pada 1953. Enam tahun berselang, Bung Karno janji suci dengan Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi.

Haryati (lahir 1940) mantan penari istana adalah istri keenam Soekarno, berlanjut dengan Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy Djafar yang dinikahi Bung Karno berikutnya sebelum sang proklamator menutup mata untuk selama-lamanya pada 21 Juni 1970.

Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Menemani masa masa sulitnya di Wisma Yaso sebagai tahanan rumah.

Sedangkan Hartini setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati.

Menurut Roso Daras, Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya.

Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, dengan gairah cinta meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang. *

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini