Salah Pilih Guru, Hijrah Jadi Cerita Pilu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Istilah “hijrah” digunakan untuk menunjukkan fenomena banyaknya kelas menengah atas dan figur publik (artis, bankir, jenderal, pejabat, selebritis) yang meninggalkan profesi lamanya menuju kehidupan baru sebagai muslim yang shalih.

Orang-orang awam kemudian mengikutinya. Mereka membuat komunitas-komunitas hijrah sebagai wadah silaturahmi, saling menguat diri dan belajar ilmu-ilmu Islami.

Pada dasarnya, kelas menengah atas dan figur publik adalah orang-orang yang tingkat intelektualnya tinggi. Mereka rasional, pragmatis, terbiasa mengakses informasi dan bersifat terbuka sehingga mereka sulit didoktrin. Akibatnya mereka butuh saluran aktualisasi diri, wahana eksistensi dan pengakuan.

Kebutuhan psikologis ini yang dibidik kelompok radikal untuk merekrut mereka. Mereka perlu tampil beda dengan cara melawan arus. Kelompok radikal dan kelas menengah bertemu pada isu-isu yang melawan pemerintah dan NU tapi dengan latar belakang psikologis yang berbeda.

Di tengah pencariannya, dengan ghirah yang tinggi, mereka berselancar di dunia maya. Ikut kajian-kajian online. Membaca artikel-artikel di Facebook. Menyimak postingan-postingan di grup-grup Whatsapp. Lalu ikut-ikut kopdar yang diadakan atau janjian ketemu dengan pengasuh grup. Akhirnya ada yang terjebak ke kelompok radikal seperti HTI dan ISIS.

Kalau sudah masuk kandang kelompok radikal, pertanda “hijrah” akan berakhir dengan memilukan. Sebab kelompok “hijrah” akan diantar menuju sikap amarah murka, benci dan bermusuhan dengan siapapun yang berbeda. Mereka akan diantar menuju “dakwah”. “syariah” dan “khilafah” bukan diantar menuju Allah swt, yang sebenarnya cita-cita mereka ketika memutuskan untuk “hijrah”.

Oleh karena itu, agar “hijrah” sampai ke tujuan, tata dan teguhkan niat dari awal, yaitu ingin “hijrah” menuju Allah swt. Kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah:”Barang siapa yang permulaannya bersama Allah, maka ujung perjalanannya pun bersama-Nya.” Jangan dikotori oleh niat-niat yang lain, termasuk ingin “dakwah”, “syariah” dan “khilafah” atau jargon-jargon islami yang lain.

Lalu cari guru yang bisa mengantarkan ke tujuan, kepada Allah SWT. Guru yang akan mengajarkan, membimbing dan membina ruhani dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat menuju tujuan. “Sesungguhnya ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya menyebar dalam dada dan menyingkap penutup hati. Ilmu yang terbaik adalah yang menumbuhkan rasa takut (kepada Allah). Ilmu yang disertai rasa takut kepada Allah, itulah ilmu yang menguntungkan. Jika tidak ilmu itu membahayakan”, kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah.

Lebih lanjut Syaikh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan dalam kitab Lathaiful Minan: “Tentu saja guru yang dimaksud adalah ulama pewaris Nabi yang takut kepada Allah swt karena pengetahuan hati mereka telah sampai kepada Allah swt. Dibuktikan dengan ketaatan kepada Allah swt. Karena ilmu para ulama yang tidak membuat takut kepada Allah swt, bukanlah ilmu.”

“Adapun ilmu yang membuat pemiliknya semakin mencintai dunia, semakin munafik, yang membuatnya sombong, berbangga diri, panjang angan-angan serta melupakan akhirat, ia tidak bisa disebut pewaris Nabi. Warisan tidak berpindah kepada pewaris kecuali dengan sifat seperti ketika ia berada di tangan pemberi warisan.”

Melihat karakteristik kejiwaan kelas menengah atas dan figur publik yang berpotensi salah tempat “hijrah”, hanya pertolongan Allah swt yang bisa menyelamatkan mereka dengan mengantarkan mereka kepada guru sejati, ulama pewaris Nabi. Semoga mereka tidak salah pilih guru yang membuat “hijrah” menjadi cerita pilu dalam kehidupan mereka.

Oleh : Ayik Heriansyah – LD PWNU Jabar

- Advertisement -

Berita Terkini