SKB Tiga Menteri Belum Agamis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Ayik Heriansyah – LD PWNU Jabar

MUDANEWS.COM – Dari SKB Tiga Menteri tentang pakaian kekhususan keagamaan di sekolah, pemerintah tidak mewajibkan dan tidak melarang. Pemerintah memberi kebebasan peserta didik untuk memilih. Apapun pilihannya, sah.

Dalam istilah fiqih, pemerintah melalui SKB Tiga Menteri me-mubah-kan pakaian kekhususan keagamaan di sekolah-sekolah negeri. Bukan mem-fardlu-kan, bukan pula meng-haram-kan. Dalam hal ini pemerintah ingin menjadi wasit yang netral bagi semua agama.

Jika dilihat dari tujuannya, pemerintah ingin pemerintah agar peserta didik terbiasa dengan kebhinekaan (pluralitas) sehingga mempunyai daya toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Tujuan ini bagus, namun sebenarnya intoleransi di sekolah-sekolah negeri bersifat kasusistik, belum menjadi gejala apalagi fenomena.

Dilihat dari konteks lahirnya SKB tersebut, tentang kewajiban pakai jilbab bagi non muslim, SKB terkesan sebagai aturan yang melarang pakaian bernuansa agama Islam di sekolah-sekolah negeri. Memakai jilbab bagi sebagian muslimah diyakini sebagai kewajiban agama dan dianggap identitas.

Sedangkan sekolah adalah fasilitas dan ruang publik yang menjadi hak setiap warga negara tanpa memandang agama. Dilarang mengamalkan ajaran dan memakai idetitas agama di ruang publik menimbulkan kesan seolah-olah Indonesia adalah negara sekuler.

Jilbab/kerudung yang menutupi rambut dan kepala perempuan, ternyata bukan khusus ajaran Islam. Agama-agama non Islam pun punya tradisi memakai jilbab/kerudung. Terlepas dari apakah perempuan penganut agama-agama tersebut mengamalkannya atau tidak. Di negara-negara lain, jilbab/kerudung menjadi identitas perempuan agama-agama non Islam di ruang publik. Artinya, secara substansial, SKB Tiga Menteri tidak tepat.

Jika maksudnya ingin mengajarkan ke-bhineka-an sejak dini, idealnya setiap peserta didik dianjurkan (sunnah), jangan diwajibkan (fardlu) memakai pakaian sesuai agama masing-masing di sekolah-sekolah negeri. Biarkan peserta didik terbiasa dengan identitas dan simbol agama lain. Sehingga mereka toleran dengan adanya perbedaan agama-agama secara kasat mata (empiris).

Peserta didik yang muslimah silahkan menggunakan jilbab dan berdoa sebelum pelajaran dimulai dengan mengangkat tangan. Yang kristen silahkan memakai kalung salib dan berdoa dengan cara kristen. Yang hindu, budha dan konghucu pun demikian.

Indah bukan, di sekolah-sekolah negeri, semua peserta didik membawa identitas agamanya masing-masing. Mereka belajar toleransi secara aktif dan faktual. Bukan toleransi pasif yang menyamakan/menseragamkan identitas agama-agama.

Akan tetapi perintah dan larangan untuk menunjukkan identitas agama peserta didik, akan memicu sikap intoleransi karena ada unsur paksaan.

Jadi, jalan tengahnya menurut saya, pemerintah menganjurkan (sunnah) peserta didik untuk menggunakan pakaian kekhususan keagamaan di sekolah-sekolah negeri. Me-mubah-kan saja, masih terkesan sekuler. Belum sesuai dengan Sila Pertama dari Pancasila.

 

- Advertisement -

Berita Terkini