Ke-NU-Anku

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat

MUDANEWS.COM – Waktu kecil, dalam kesadaranku yang masih sangat terbatas Nahdaltul Ulama (NU) adalah tahlilan, baca barzanji marhabanan, maulid Nabi, ziarah kubur, ngaji kitab kuning, pesantren. Karena masa kanak hanya tahu nilai-nilai yang dipraktikkan dan amalan nyata yang selalu dihidupkan oleh orang tua, keluarga, dan lingkungan.

Seingat saya, kesan saya waktu kecil, NU itu guyub, suka kumpul-kumpul, mengutamakan kerukunan, hidup bareng-bareng, suka sedekah ketika tahlilan terlihat tuan rumah membagikan makanan dan minuman untuk tetangga yang ikut tahlil atau marhabanan. Boleh dibilang NU itu adalah kehangatan hubungan sosial, kearifan lokal, dan bersedekah. Dengan kata lain NU adalah keshalihan sosial.

Setelah saya mesantren di Lirboyo. Di madrasah MHM Lirboyo saya mendapatkan pelajaran Ke-NU-An dan Aswaja. Ada bukunya. Lirboyo juga sering mengadakan seminar tentang NU yang selalu saya hadiri. Pada saat itu ada seorang cucunya Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan penyunting karya-karyanya yaitu Gus Ishom atau KH. Ahmad Ishomuddin Hadziq yang menjadi salah satu ustadz Lirboyo. Bliau memang alumni Lirboyo.

Beliau sering menjelaskan ke-NU-an ke para santri, di antaranya saya. Saya dan seluruh santri Lirboyo mengagumi Gus Ishom. Muridnya Gus Ishom yang saya sangat kagumi adalah guru kami Romo Kiyai Rosichun Zaka. Kepada beliau, kami banyak belajar bagaimana memahami dan menjelaskan isi kitab kuning dengan baik serta khatnya yang luar biasa indahnya.

Pada masa ini, saya baru memahami bahwa amalan yang dipraktikkan kalangan NU waktu kecil di kampung itu ternyata punya landasan dalil dan argumentasi keagamaannya yang kokoh. Ini saya sebut sebagai fase pembentukan epistemologis dan perspektif.

Di samping, saya punya sahabat Farhan Fahmi yang dulu kuliah sambil mesantren di Lirboyo yang sering berdiskusi dan meminjamkan buku-bukunya untuk saya lahap. Di antara buku itu tentang NU, buku-buku bunga rampai Gus Dur terbitan LKiS, dan Jurnal Gerbang. Sahabat Farhan ini sering menyebut tokoh muda NU yang dia kagumi–yang kekagumannya memapar saya jadi ikut mengagumi juga–yaitu Romo KH. Imam Aziz alias Mbah Dukuh, Romo Kiyai Muhammad Jadul Maula, dan Romo Kiyai Zastrouw Al-Ngatawi, serta Mas Maulidin Elsad.

Lirboyo pun sering kedatangan Gus Dur, dan kiyai2 yang lain yang oleh Kiyai kami selalu dikasih panggung untuk memberikan pencerahan kepada santri-santrinya. Dari penjelasan tokoh nasional, saya bisa melongok dunia luar yang cukup kompleks.

Ada acara besar waktu saya mesantren Lirboyo. Pertama, acara reuni akbar Lirboyo. Ribuan alumni Lirboyo hadir yang notabene mayoritas menjadi kiyai. Di antara yang hadir dan diberi panggung untuk ceramah sambil guyonan yaitu: Mbah KH. Maemon Zubeir, KH. Ahmad Musthafa Bisri (Gus Mus), KH. Nor Iskandar SQ, KH. Said Aqil Siradj yang kala itu masih angetan baru beberapa tahun ada di Tanah Air dan kontroversial dengan konsep Aswaja sebagai manhaj al-fikrnya, dan kiyai-kiyai yang lain. Momen ini bagi saya sangat mempengaruhi ke-NU-an saya.

Kedua, acara Muktamar NU 1999 di Lirboyo. Tepat ketika saya baru selesai 2 Aliyah akan memasuki kelas 3 Aliyah MHM Lirboyo. Pada saat itu, kami kelas 3 Aliyah dijadikan panitia lokal, membantu pihak pesantren dan panitia nasional. Seingat saya, 2 tahun sebelumnya, Lirboyo sering kedatangan para kiyai di antara yang paling sering datang adalah Romo KH. Hasyim Muzadi.

Ke-NU-an saya semakin mengkristal dengan moment itu. Bahkan saya terkagum-kagum mendengarkan ceramah ke-NU-an Romo KH. Hasyim Muzadi yang begitu mengalir, jelas, menggunakan analogi yang bagus, dan memukau, ditambah guyon khas NU. Saya terpesona dengan ceramah Romo KH. Hasyim Muzadi. Bahkan waktu itu, kaset pita ceramahnya beliau dijual di tokoh kitab Lirboyo dan saya membelinya.

Saat ini NU sudah berusia 95 tahun.

 

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini