Vaksin dan Peradaban Bangsa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Hari ini, 13 Januari 2021, diberitakan bahwa Presiden Jokowi akan divaksin dengan vaksin Covid-19 merk Sinovac buatan China. Ragam komentar berkelebat di media sosial dan televisi dilontarkan. Senator, dokter, dan berbagai profesi lain, menyatakan menolak divaksin. Ancaman hukuman pidana pun digaungkan. Berbagai meme pun banyak ditayangkan, baik yang mendukung maupun yang menentang. Ternyata, bangsa yang besar ini belum piawai mengusung perkembangan peradaban.

Catatan sejarah dunia Kedokteran tentang vaksin sudah sejak akhir abad ke-18. Bukti awal penyakit cacar (Variola/Smallpox) dipercaya ditemukan pada mummi orang Mesir yang meninggal sekitar 3.000-an tahun yang lalu. Cacar memengaruhi manusia dan peradaban dunia. Pandemi ini menyebabkan depopulasi penduduk di seluruh benua. Sejarah mencatat penyakit ini berjangkit sejak tahun 1588 M.

Selama abad ke-18, penyakit ini menewaskan sekitar 400.000 orang Eropa setiap tahun, termasuk semasa lima pemerintahan Raja. Cacar sebagai penyebab sepertiga dari semua kebutaan yang terjadi akibat komplikasinya. Lebih dari 80% anak yang terinfeksi, meninggal karena penyakit ini. Cacar – sama seperti Covid-19 – pernah menjadi salah satu isu menakutkan dalam sejarah peradaban. Tiga dari sepuluh orang yang menderita cacar meninggal dunia.

Namun berkat Edward Jenner, seorang dokter Inggris menemukan vaksin cacar pada tahun 1756. Eksperimen sukses dari Edward Jenner bahkan disebut sebagai pencapaian terbesar dalam dunia medis. Berkat prestasi dan dedikasinya sebagai penemu vaksin cacar, ia mendapatkan julukan Bapak Perintis Imunologi.

Sebelum vaksin cacar ditemukan, salah satu teknik pertama yang digunakan untuk mengendalikan penyakit menular ini adalah variolasi. Diperkenalkan pada tahun 1721 di Inggris.

Variolasi adalah tindakan memindahkan isi benjolan kecil cacar (pustula) dari penderita cacar ke orang lain yang belum pernah mengalami cacar. Percobaan ini ternyata tak lepas dari risiko. Tidak hanya risiko meninggalnya pasien karena prosedur tersebut, gejala cacar yang timbul akibat variolasi dapat menyebar dan menyebabkan epidemi baru.

Edward Jenner memulai ekperimennya para pemerah susu yang terkena cacar sapi (cowpox) justru tidak mengalami gejala cacar setelah variolasi. Jenner pun melakukan uji coba pada seorang pemerah susu dan seorang anak berusia sembilan tahun.

Ia mengambil materi cacar sapi dari tangan pemerah susu dan memindahkannya ke lengan sang anak. Beberapa bulan kemudian, ia kembali memasukkan virus variola selama beberapa kali ke tubuh anak itu.

Meski telah berkali-kali dilakukan, hasilnya tetap sama, yaitu sang anak sama sekali tidak terjangkit cacar alias kebal. Eksperimen Jenner tidak pernah berhenti. Ia terus melakukan penelitian-penelitian.

Di tahun 1801, ia menulis buku yang fenomenal: “On the Origin of the Vaccine Inoculation” yang merangkum penemuan-penemuannya. Dalam buku tersebut, ia mengungkapkan harapannya, penyakit cacar yang merugikan umat manusia ini bisa dibasmi total.

Sejak itulah, vaksin cacar mulai diterima secara luas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dunia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1979. Kasus cacar alami terakhir ditemukan di Somalia pada tahun 1977. Selain karena jasa sosok Jenner, kabar baik ini juga tak lepas dari program vaksinasi global yang diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Setelah pemberantasan cacar sukses, vaksinasi cacar tidak dibutuh lagi.

Saat ini, tentunya prosedur pembuatan vaksin untuk Covid-19 tidak serumit pembuatan vaksin cacar. Akan tetapi, hingar-bingar pengadaan vaksin di negeri kita sungguh luar biasa, berbagai pakar dari berbagai bidang keilmuan semua bicara, menyampaikan pendapat beserta kesimpulannya, tentang vaksin ini sesuai kompetensinya.

Di sisi lain, kehadiran vaksin salah satu upaya penting, dalam memutus rantai penularan virus yang tak bergeming, meski bergulut regulasi keluar beriring, akhirnya, rakyat jua jadi pusing. Seharusnya, kehadiran vaksin disambut gembira, hakikat suluruh warga mengharapkannya, agar pandemi berangsur sirna, asal tidak ada silang sengketa.

Kontoversi vaksin gaungnya seimbang, antara pendukung dan penentang, komunikasi antar profesi ternyata senjang, senator dan eksekutif frekwensinya beda terang. Ada pihak yakin informasi hasil penelitian tidak transparan, ada pula menduga kepentingan bisnis diutamakan, ada yang hanya percaya bila pakar Indonesia menciptakan. Karena virus corona Indonesia berbeda “kebiasaan”. Silang pendapat kuat berkutat, simpul sepakat tak mampu dibuat. alasan masing-masing cukup kuat, walau data pasti tidak mencuat. Seperti ungkapan sebuah pantun:

Banyak orang suka kakap
Tapi tidak ikan peda
Banyak orang hanya bercakap
Tapi tidak berdasarkan data

Padahal, ilmu pengetahuan sesungguhnya pedoman, membuat yang sulit bisa dimudahkan, yang rumit bisa disederhanakan, yang berbeda bisa disamakan. Ilmu berkembang dengan penelitian, asal dilakukan sesuai kaidah pedoman, ilmuwan piawai harus dilibatkan, tak masalah bila masih ada kekurangan. Simpulan penelitian tidak mutlak, pro dan kontra tak dapat dielak, kontroversi keilmuan tidak telak, peradaban jualah memastikannya kelak.

Rasanya tak mungkin ilmuan sekaliber Edward Jenner pada abad ke-17, tidak ada di Indonesia pada abad ke-21 ini.

Cocok kam rasa?

Oleh : Dr. dr. Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI – Dosen FK – UISU

Medan, 13 Januari 2021.

- Advertisement -

Berita Terkini