Selamat Tinggal Istana Al-Hamra

Breaking News

Filosofi Air

Maulid dan Natal, Samakah?

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Prof Hasan Bakti Nasution

Menelurusi sejarah kejayaan Islam masa lalu tidaklah lengkap tanpa menyinggahi negara Spanyol, yang dalam bahasa Arab disebut Asbania. Di sana tersimpan banyak catatan sejarah Islam sejak tahun 711 saat panglima Thariq bin Ziyad menapaki tanah ini sampai tahun 1492, saat penguasa Islam Sultan Muhammad (Boabdil) menyerahkan anak kunci istana Alhamra dan kota Granada kepada penguasa Katholik, raja Fardinand atau Fernando.

Kendati awalnya, Sultan Muhammad-Raja Fardimand kerjasama menumbangkan penguasa Islam sebelumnya yang tidak lain adalah ayah Sultan Muhammad, namun Raja Fernando yang Katholik adalah teman yang tidak terpercaya. Bukannya diberi perlindungan, justru diusir meninggalkan istana indahnya Alhamra dan kota terakhirnya Granada.

Maka sultan Muhammad meninggalkan istana dengan deraian air mata, menuruni halaman luar istana, karena memang istana 16 Ha ini berada di bebukitan. Kemudian ia meninggalkan kota Granada setelah sebelumnya menaiki Bukit Puerto de Suspiro del Moro, untuk melambaikan tangan selamat tinggal, karena inilah kali terakhir melihat istana di bebukitan dan kota Granada yang tertata rapi.

Saat itu, ia meneteskan air mata seperti anak kecil yang meminta iba sang ibu. Tapi jangankan iba, sang ibu justru menghardik sang anak karena memberontah ayahnya sendiri. Dengan geram ibunya berkata: “baguslah Nak, engkau menangis seperti wanita, karena tidak mampu mempertahankan kota Granada layaknya seorang laki-laki”.

Suasana itulah yang hadir tanpa kuundang saat menatap istana ini begitu turun dari hotel. Diiringi rintik-rintik hujan, kulangkahkan kaki bersama rombongan, seolah setiap langkah memiliki arti. Saat menaiki jalan menuju gerbang kegundahan hati sudah mulai menjelma, begitu memasuki gerbang yang kokoh. Dengan pintu berlapis, akhirnya memasuki halaman dalam istana. Kendati sudah berusia ribuan tahun, tapi tamannya dengan kolam buatan masih terawat rapi.

Memasuki ruang pertemuan ruangan bundar yang dibalut marmer antik dengan kaligrafi Arab dengan motif bunga. Salah satu bunyi kaligrafi Arab yang tidak ingin kubaca tapi terbaca ialah yang tertulis “la Ghaliba Illa Allah”. Kemudian menuju ke singgasana yang biasanya sang sultan menerima tamu. Hatiku terenyuh, karena di sana ada lukisan yang menggambarkan bagaimana sultan Muhammad menyembah raja Fardinand agar diberi perlindungan.

Lama merenung, kemudian menuju halaman luar bagian atas. Dari sana kota Granada nampak dengan jelas dengan berbagai perkampungan. “Dulu di sana perkampungan Muslim”, kata guide. Ya, nampak model rumahnya nampak model Arab-Afrika dengan bangunan seolah masjid, karena memang dulunya masjid. Bangunan tetap dibiarkan yang dirobah hanya bagian atas menara yang kini digantung lonceng dan di puncaknya dibuat salib.

Berjalan ke atas lagi, melihat taman istana dengan bunga yang indah, tempat sultan rehat bersama keluarga. Aliran sungai masih ada, yang dibangun dulu oleh sang sultan. Bangunan masjid masih ada di bagian atas, tetapi seperti bangunan masjid lainnya, menaranya sudah berganti isi, tidak lagi mic untuk mengumandangkan azan, tetapi sudah digantikan lonceng. Begitu juga puncak kubahnya yang sudah diganti salib.

Tanpa terasa dua jam lebih sudah berada di sana, ingin rasanya bermalam di sini. Tapi jadwal berikutnya ialah menuju Cordova, tempat yang lebih banyak lagi menyimpan turast masa lalu yaang juga memilukan. Rombonganpun keluar meninggalkan istana, menuruni jalan luas menuju bus. Begitu keluar gerbang, air mata yang tadinya dibendung sudah tidak tertahankan lagi.

Malu juga menangis di depan banyak orang, akhirnya langkah kuperlambat agar terpisah dari rombongan. “Ayo bang cepat, nanti kita tertinggal”, kata isteri. Saat itulah air mata tak terbandung, layaknya seorang bayi, ternyata mencurahkan air mata di depan isteri adalah saat yang paling nyaman. Dan tangisan ini adalah tangisan kedua di depan isteri, saat pertama ketika kalah pemilihan dekan.

Saat sudah sampai di bus menuju Cordova, isteri bertanya: “mengapa menangis tadi bang” ?. Saya memaklum isteri bukan sejarawan Islam, akhirnya kuceritakanlah cerita dari awal sampai akhir, termasuk saat meninggalkan gerbang istana saat menangis. “Abang membayangkan kira-kira seperti jalan inilah sultan Muhamamd meninggalkan istananya, lunglai tak berdaya.

La hawla wala quwwata illa Billah.. Semoga Granada adalah kisah terakhir. Semoga Indonesia tidak seperti nasib Granada, walaupun isyaratnya sudah tampil, karena sudah banyak umat islam yang menertawakan sesamanya.
Na’uzu Billahi min zalik….!
3-1-2021…

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini