Belajar Syahadat dari Gus Dur

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Membaca tulisan Kang Ahmad Tohari yang di share teman di Facebook, saya begitu jadi kehilangan yang dalam, atas ketidak adanya GUSDUR saat ini dimana kita sedang ribut ngurusi FPI, kita senang seolah baru lepas dari tornado yang melahap setiap musim, padahal kita masih terjebak dalam urusan moral yang makin tak utuh.

Gus Dur manusia mulia yang tak pernah merasa mulia, karena dia tau yang berhak atas kemuliaan hanya Allah semata. Iya DIA maha mulia, kalau kita pembeli kemuliaan, padahal gak diperjual belikan. Kita hidup penuh pretensi, ngawur tapi sok jujur.

Kang Tohari mengupas syahadat dan ditempelkan kepada sosok Gus Dur yang dianggapnya pantas disebut manusia yang bisa menjaga syahadatnya.

Syahadat yang diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati, tapi juga butuh implementasi seperti halnya rukun Islam lainnya. Kalau tidak, akibatnya hanya akan mewujud pada wilayah simbol – simbol dan tidak melahirkan Ihsan.( Begitu ucapan Kang Tohari ).

Apa yang terjadi sekarang, karena kita sedang mengalami inflasi penuntutan pribadi atas kemuliaan diri. Menuntut kemuliaan diri itu sama saja dengan memberhalakan diri sendiri.

Carut marutnya negeri ini, yang membuat Jokowi mengernyitkan dahi bermula karena banyaknya orang mengejar kemuliaan dan dipamerkan kepada sesama makhluk, lho terus apa hebatnya.

Pemburuan tahta mulia melalui banyak cara. Via jabatan, kedudukan, kekayaan, kekuasaan, bahkan jd ketua RT atau Imam di mushala dengan bacaan alfatihah seadanya bisa jadi perseteruan berkelanjutan. Ini terjadi karena mau dianggap mulia.

Soeharto, biar dianggap mulia seketurunannya, sampai kuburannya dibuat sedemikian rupa. Kalau hartanya ya nggak usah kita cerita, sampai 27 keturunan nggak ada habisnya.

Sekarang muridnya juga sama, sedang mempertahankan kemuliaan yg dipaksakan, sampai anaknya dipaksa keluar dari tugas mulia hanya karena dianggap bisa melanjutkan kasta kekuasaan, dengannya dianggap sebuah kemuliaan. Mana ada kemuliaan dari karbitan tanpa tauladan.

Begitu banyak contoh lainnya yang sedang melanda kondisi saat ini, kerakusan kemuliaan ini yang mengakibatkan Indonesia jadi krisis dari kemuliaan sesungguhnya, kemuliaan yang diturunkan Tuhan, bukan mulia yang di paksa ada dengan cara memaksa.

FPI adalah produk yang dipasang untuk mengakali kemuliaan. Mereka bekerja sesuai orderan, mereka pengepul bayaran dari yang berkepentingan. Maka jadilah kita bangsa yang suka tawuran untuk menunjukkan siapa yang lebih mulia dari hasil berkuasa secara paksa.

Gus Dur adalah sosok manusia yang tidak butuh kemuliaan, karena beliau sadar yang mulia hanya ada satu yaitu yg maha mulia, Tuhan. Gus Dur bisa tidur dimana saja, dipan, kasur, lantai, dsb. Begitu juga saat diminta berdoa dan ceramah, dia hadir dimana saja, masjid, lapangan bola, gereja, vihara, pura.

Kenapa bisa, iya karena kita hanya pelaku doa, bukan pengabul doa. Gus Dur telah melampaui sifat kemanusiaan, sehingga dunia cuma rumah singgahnya, dia tau ada singgah sana yg lebih indah di samping Tuhannya.

Setelah Gus Dur sekarang ada Jokowi, sosok ini nyaris menyamai Gus Dur pada sifat kemanusiaannya, hanya dia bukan dari santri. Jokowi nyantri dipinggir kali di kehidupan papa, yg menempanya menjadi manusia mulia, bukan dia yang meminta dimuliakan, tapi Tuhanlah yang mengirimkan dia untuk Indonesia.

Dia memuliakan bangsanya dari Aceh sampai Papua, dia tidak gila harta, kekuasaan buatnya adalah amanah, bukan kesempatan untuk menjarah, seperti yang lainnya dgn pikiran yang salah, kalau jadi presiden pensiunnya harus kaya, agar anak cucunya ikut mulia.

Ah, dia alpa, mulia itu jebakan agar kita lupa bahwa hamblumminannas kita masih belum tuntas.

Jadi, FPI itu tak seujung jari, masih ada pangkalnya, ada genggaman, ada pergelangan yang terus menggerakkan untuk mencengkeram, iya karena urusan kemuliaan bagi mereka adalah kekayaan dan kekuasaan, bukan kemanusiaan.

Ku mencariNya ke ujung salib, kuil, vihara, gereja, pura, ke puncak gunung, kelembah, dan dataran, tak kutemui DIA disana. Setelah ku lihat di hatiku sendiri ternyata DIA disitu, tidak ditempat lain. Disitulah tempatNya. Hatimu adalah rumah Tuhan (Rumi).

Masihkah engkau menuntut kemuliaan, kalau rumahNya belum engkau bersihkan..

Oleh : Iyyas Subiakto

- Advertisement -

Berita Terkini