Bali Tetap Pulau Dewata, Jadikan Sebagai Wisata Budaya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

(Jangan Ada Lagi Istilah Wisata Halal Di Indonesia)

Oleh : Ustadz Miftah Cool

Dalam UU Pariwisata pasal 5 (b) dan (c) disebutkan :

b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

Indonesia bukan negara agama tertentu tapi Indonesia adalah negara orang-orang yang beragama yang menjunjung tinggi nilai agama tapi juga tidak boleh terjebak dengan sektarianisme yang mengkotak-kotakkan pemeluk agama terlalu jauh dan dalam.

Istilah wisata halal sejatinya telah mencederai semangat kepariwisataan Indonesia untuk kepentingan nasional. Isu bahwa daerah Bali akan ada program wisata halal tersebut tidaklah tepat guna, sangat bertentangan dengan UU Pariwisata yang menjunjung tinggi kearifan lokal hingga kesetaraan dan proporsionalitas bahkan terkesan rasis karena akan menimbulkan kesenjangan sosial.

Kita ketahui sendiri bahwa Bali adalah bagai mercusuar penting dari seluruh sektor pariwisata yang ada di Indonesia, miniatur para leluhur yang mewakili seluruh kebudayaan dan pariwisata yang ada di Indonesia karena dahulunya Indonesia dianut oleh Hindu-Buddha dan aliran kepercayaan yang masih bertahan hingga kini dan itu mayoritas berada di Bali.

Melihat Bali saat ini adalah seperti flashback ke masa dimana nenek moyang dan leluhur kita berusaha menjaga kelestarian dan tetap pada pakemnya. Sangat boleh jadi leluhur saya pun bisa berada di Bali.

Jadi biarkan Bali apa adanya seperti sediakala dengan konsep budaya leluhur yang ramah, humble dan saling menghormati satu sama lain. Biarkan saudara-saudara kita umat Hindu Bali melestarikan alamnya sampai kapan pun tanpa ada istilah-istilah yang memperkeruh suasana. Biarkan mereka menjaga kearifan lokalnya.

Dari dahulu Bali adalah kota toleransi yang tiada duanya, siapa pun umat agama lain dipersilahkan untuk beribadah dan makan makanan yang sesuai keyakinan masing-masing. Di areal sektor pariwisata di Bali ada tersedia masjid, mushalla dan rumah makan yang sesuai selera pemeluk agama masing-masing.

Yang kita perlukan adalah mengembangkan wisata budaya atau wisata nasional karena itu mewakili semua umat. Jangan ada lagi sekat-sekat yang dapat membahayakan kerukunan umat beragama. Kalau nanti ada istilah wisata halal, sangat boleh jadi muncul wisata Buddha, wisata Hindu, wisata Kristen dll ini akan membuat kita semakin tersekat.

Bali sebagai penyumbang devisa negara terbesar yang paling perlu adalah merawat peninggalan yang ada, melestarikan alamnya, melakukan jor-joran promosi untuk tempat wisata yang baru yang dikelola dengan baik dan elegan.

Dalam perlawatan saya ke berbagai negara seperti Arab Saudi, Singapura, Malaysia dll setiap saya berjumpa dengan para turis Eropa, Barat hingga Timur Tengah, asal saya tanya Anda tahu Indonesia apanya? 99% mereka tahu Bali, Bali itu Indonesia. Ini sebuah respon positif betapa Bali menjadi ikonik yang begitu terkenalnya di mancanegara.

Intinya istilah wisata halal itu dibuang saja, kita umat Islam sudah tahu apa yang harus dilakukan apa yang tidak. Dengan tidak menggunakan istilah wisata halal akan ada 2 keuntungan, pertama mencegah terjadinya kesenjangan sosial yang akut sebab istilah wisata halal ini akan membuat anjloknya pariwisata yang sudah lama dikelola tanpa ada istilah rasis atau keagamaan tertentu.

Kedua, mencegah menggunakan istilah keagamaan untuk kepentingan politik identitas sehingga dikhawatirkan bisa merusak nama baik agama tersebut karena disalahgunakan dengan cara yang kotor.

Semoga bermanfaat, mari kita bangun pariwisata yang berkomitmen pada kebudayaan dan semangat untuk terus memajukan kepentingan nasional.

- Advertisement -

Berita Terkini