Benteng Putri Hijau Wujud Kecerdikan Kerajaan Aru

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Misterius

“Selain sebagai sebuah peninggalan sejarah, apa yang menjadi inti keunikan Benteng Putri Hijau dan menjadi daya tariknya paling kuat untuk ilmu pengetahuan?” tanya seorang mahasiswa antropologi USU pada saya dalam sebuah kesempatan diskusi.

“Kemisteriusannya,” kataku.

“Betul, bang, banyak memang pengalaman-pengalaman misterius dengan benteng ini,” kata mahasiswa ini.

“Memang, tapi bukan hanya itu. Selain dunia Ilmu Pengetahuan memiliki informasi yang minim tentang benteng ini, ada banyak hal aneh secara Ilmu Pengetahuan atas data-data, informasi dan temuan-temuan terakhir tentang benteng ini,” kataku.

Bayangkan, kataku melanjutkan, selalu dikatakan betapa canggihnya benteng dibangun. Tapi, pada penggalian terakhir yang saya kebetulan ada di situ, ditemukan 4 kapak genggam. Dalam Ilmu Sejarah dan Arkeologi, kapak-kapak genggam ini diasumsikan berasal dari manusia primitif. Makhluk Pithecanthropus Erectus, yang dari namanya berarti Kera yang sudah berjalan tegak (belum manusia), menggunakan peralatan ini.

Ini sebuah penemuan yang mengejutkan. Kalau tadinya ditemukan di tempat lain, kita tidak perlu memperhitungkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru atau Kisah Putri Hijau. Tapi, dengan mata kepala saya sendiri, keempat kapak genggam itu ditemukan di dua titik penggalian di lokasi Benteng Putri Hijau.

“Apa ini tidak misterius secara Ilmu Pengetahuan?” kataku. Wajahnya memperlihatkan raut tidak tahu harus berkata apa.

Satu contoh lagi atas kemisteriusaanya. Lokasi diberi nama benteng yang berkonotasi kuat dengan pertahanan militer. Sering diceritakan bahwa Aceh menyerang Haru yang kemudian mundur ke pedalaman (Delitua) dan membangun benteng. Bagi siapa saja yang pernah ke lokasi, tidak bisa membayangkannya bisa selesai dalam sehari dua. Tanah digali untuk membuat gundukan tinggi mengelilingi puluhan hektar luas lokasi. Di atas gundukan tanah ditanam buluh duri (berapa tahun buluh duri tumbuh untuk dapat menjadi benteng pelindung?). Ditemukan pula tanda-tanda mereka bersawah di dasar-dasar lembah sekeliling benteng (jelas bukan untuk hanya satu kali panen).

Menurut beberapa arkeolog, di dalam lokasi dibangun rumah-rumah berarsitektur Karo. Satu rumah adat Karo selesai paling cepat 1 tahun. Bila ada lebih 10 rumah, paling tidak mereka kerjakan selama 10 tahun.

Nah, pertanyaan sekarang, lokasi itu dibuat untuk menghadapi Aceh atau Aceh menyerang pusat Haru yang dibangun bukan untuk menghadapi Aceh? Aneh apa tidak (?), dikatakan mengungsi ke pedalaman dari Kota Cina (dekat Belawan) karena diserang Aceh dan membangun pertahanan di sana dalam jangka waktu puluhan tahu (paling sedikit). Dari Banda Aceh sana bisa menyerang ke Belawan dan kemudian memberi kesempatan kepada Haru membangun pertahanan selama puluhan tahun di Delitua baru kemudian diserang lagi?

Kalau itu benar memang begitu, tak perlu menghebat-hebatkan Benteng Putri Hijau yang canggih luar biasa. Terbukti “keciklah” sama laskar Aceh.

“Saya meragukan, itu bukan benteng tapi sebuah ekspresi budaya yang kosmologis. Sama halnya dengan kampung-kampung Karo. Tak heran kalau sebagian antropolog menyebut kampung-kampung tradisional di Indonesia sebagai temple,” kataku dan si mahasiswa makin mengerutkan dahi.

Seorang teman, kataku lagi, menarik artikelnya dari rencana penerbitan karena editor memaksa dia menulis “kampung-kampung Karo dibangun di puncak-puncak bukit demi alasan peperangan antar urung”. Busyet, kata teman itu. “Mata terbeliak seperti mata kembung tapi tak meliat,” katanya marah. Soalnya, dia menulis bahwa kampung-kampung Karo dibangun di daerah agak rendah dikelilingi bukit agar terlindung dari derpaan angin.

“Bagaimana dengan laporan-laporan Belanda tentang kampung-kampung Karo yang
dibakar dalam peperangan di masa pre kolonial?” kata editor itu padanya (maksudnya Rumah Kabanjahe, Barusjahe dan Bukum yang ditemukan para petualang Belanda baru saja terbakar sebelum masa penjajahan.

“Baca sekali lagi laporan-laporan itu, adahku,” kata teman itu. “Bukankah yang membakar itu adalah saudara dari pengulu atau beberapa yang benceng?! Itukan serangan dari dalam yang dilakukan oleh satu orang sedangkan yang kau maksud adalah arsitektur menghadapi serangan dari luar, adahku!” katanya tak bisa lagi menahan emosi mengingat banyaknya usaha mengarahkan image bahwa orang-orang Karo dulu saling berperang, saling bunuh dan tak punya prikemanusiaan.

“Teman itu adalah seorang Belanda,” kataku, membuat si mahasiswa tadi tak tau lagi harus mengangguk atau menggeleng-gelengkan kepala.

Misterius. Seperti juga halnya gua umang. Bukan karena kita percaya tahyul atau karena bersimpati pada kepercayaan tradisional. Memang di dalam Ilmu Pengetahuan sendiri kita tak tau apa-apa mengenai gua umang. Dari penelitian saya, saya hanya menemukan gua umang di wilayah tradisional Karo. Di luar itu tak ada dimanapun yang mirip gua umang. Di bagian manapun di dunia ini tidak ada.

Pdt J.H. Neuman pernah menduga gua umang sebagai tempat tinggal manusia purba. Dugaan ini bisa benar, tapi sampai sekarang belum didukung fakta apapun. Bahkan saya menemukan beberapa fakta bahwa gua umang bukan untuk tempat tinggal. Selain kebanyak berukuran sangat kecil (tidak bisa berdiri di dalamnya), ada beberapa yang saya temukan tidak bisa dimasuki oleh anak-anakpun kecuali satu bayi baru lahir.

“Jadi, Ilmu Pengetahuan sebenarnya belum tahu apa-apa mengenai gua umang?” tanya si mahasiswa.

“Ya, memang tidak!”

“Misterius juga,” katanya sambil garuk-garuk kepala.

Juara R. Ginting

— On Mon, 2/3/09, Alexander Firdaust <daustco…@yahoo.com> wrote:
From: Alexander Firdaust <daustco…@yahoo.com>
Subject: [infokaro] Benteng Wujud Kecerdikan Kerjaan Aru
To: infokaro@yahoogroups.com, tanahk…@yahoogroups.com,
komunitask…@yahoogroups.com
Date: Monday, 2 March, 2009, 3:23 AM

Benteng Putri Hijau Wujud Kecerdikan Kerajaan Aru
Sumber: http://www.antarasu mut.com/berita- sumut/pendidikan /benteng-
putri-hijau- wujud-kecerdikan -kerajaan- aru/

Bentuk Situs Benteng Tanah Putri Hijau peninggalan abad ke-13 di Desa Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumut suatu wujud kecerdikan penguasa Kerajaan Aru dalam menghadang serangan dari luar.

Kepala Pusat Studi Ilmu-Ilmu Sosial dan Sejarah (Pussis) Universitas Negeri Medan, Dr, Phill Ichwan Azhari, di Medan, Minggu, mengatakan, secara fisik benteng tersebut merupakan suatu wujud konstruksi pribumi yang cukup cerdik pada masanya.

Dengan membuat gundukan-gundukan tanah bagian atasnya ditanami bambu -bambu duri serta diperkuat oleh keberadaan parit-parit pertahanan pada sisi luarnya, terbukti dibutuhkan sampai dua kali serangan hingga akhirnya benteng ini berhasil dikuasai oleh kesultanan Aceh.

“Berdasarkan catatan Mendez Pinto, serangan pasukan Aceh yang didukung sejumlah prajurit Turki ke Kerajaan Aru terjadi dalam dua tahap. Serangan pertama berlangsung dalam bulan Januari 1539 Masehi, sedangkan serangan kedua terjadi November 1539,” katanya.

Konstruksi benteng yang berlapis-lapis di Sumatera bukan hanya ditemukan di Situs Putri Hijau tersebut, tapi benteng-benteng sejenis yang yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga sekarang adalah benteng tujuh lapis di Dalu-Dalu, Riau, yakni kubu pertahanan Tuanku Tambusai semasa perang Paderi.

Juga benteng-benteng tanah yang melingkupi ‘huta-huta’ tradisional Batak yang beberapa di antaranya masih dapat dilihat keberadaannya di Samosir dan sekitarnya.

Kedua pembanding tersebut terdapat dipedalaman Pulau Sumatera, sedangkan yang berada di daerah pesisir timur sejauh ini baru Situs Benteng Putri Hijau-lah satu satunya yang ditemukan hingga saat ini.

“Oleh karena itu warga Medan dan sekitarnya dapat dianggap beruntung karena masih dapat melihat sisa-sisa suatu konstruksi unik yang berasal dari masa lalu jauh dari ‘halaman rumah’ mereka,” tambahnya.

Staf Peneliti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, Adhi Suryana, mengatakan, berdasarkan hasil ekskavasi yang dilaksanakan Agustus 2008, pada situs benteng Putri Hijau ditemukan beragam jenis temuan, seperti 35 keping pecahan keramik dan tujuh keping tembikar dari temuan permukaan.

Dari 19 keping pecahan keramik dari kotak galian, satu butir peluru senapan musket, 11 keping pecahan kaca, bongkahan-bongkahan tanah liat terbakar dan bongkahan-bongkahan kecil yang diduga karat besi seberat 2 kg, selain itu juga ditemukan 3 buah alat batu berupa kapak genggam sumatera (sumatralith).

Analisis yang dilakukan terhadap temuan tersebut dapat dikemukanan bahwa secara relatif temuan pecahan keramik paling tua adalah keramik China sekitar abad 12-14 Masehi dan paling muda keramik Eropa dari abad ke-18.

“Selain China dan Eropa, diperkirakan ada keramik Annam, Vietnam. Sementara terhadap temuan kapak genggam yang dianalisa sejauh ini nampak ada bekas pengerjaan pada salah satu permukaan batu dan ada pula jejak bekas penggunaan pada bagian tajamnya,” katanya.***3* **
Salam Mejuah Juah

Karo Cyber Community

Sumber: http://www.antarasu mut.com/berita- sumut/pendidikan /benteng-putri-hijau- wujud-kecerdikan -kerajaan- aru/

Bentuk Situs Benteng Tanah Putri Hijau peninggalan abad ke-13 di Desa Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumut suatu wujud kecerdikan penguasa Kerajaan Aru dalam menghadang serangan dari luar. Kepala Pusat Studi Ilmu-Ilmu Sosial dan Sejarah (Pussis) Universitas Negeri Medan, Dr, Phill Ichwan Azhari, di Medan, Minggu, mengatakan, secara fisik benteng tersebut merupakan suatu wujud konstruksi pribumi yang cukup cerdik pada masanya.

Dengan membuat gundukan-gundukan tanah bagian atasnya ditanami bambu -bambu duri serta diperkuat oleh keberadaan parit-parit pertahanan pada sisi luarnya, terbukti dibutuhkan sampai dua kali serangan hingga akhirnya benteng ini berhasil dikuasai oleh kesultanan Aceh.

“Berdasarkan catatan Mendez Pinto, serangan pasukan Aceh yang didukung sejumlah prajurit Turki ke Kerajaan Aru terjadi dalam dua tahap. Serangan pertama berlangsung dalam bulan Januari 1539 Masehi, sedangkan serangan kedua terjadi November 1539,” katanya.

Konstruksi benteng yang berlapis-lapis di Sumatera bukan hanya ditemukan di Situs Putri Hijau tersebut, tapi benteng-benteng sejenis yang yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga sekarang adalah benteng tujuh lapis di Dalu-Dalu, Riau, yakni kubu pertahanan Tuanku Tambusai semasa perang Paderi.

Juga benteng-benteng tanah yang melingkupi ‘huta-huta’ tradisional Batak yang beberapa di antaranya masih dapat dilihat keberadaannya di Samosir dan sekitarnya.

Kedua pembanding tersebut terdapat dipedalaman Pulau Sumatera, sedangkan yang berada di daerah pesisir timur sejauh ini baru Situs Benteng Putri Hijau-lah satu satunya yang ditemukan hingga saat ini.

“Oleh karena itu warga Medan dan sekitarnya dapat dianggap beruntung karena masih dapat melihat sisa-sisa suatu konstruksi unik yang berasal dari masa lalu jauh dari ‘halaman rumah’ mereka,” tambahnya.

Staf Peneliti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, Adhi Suryana, mengatakan, berdasarkan hasil ekskavasi yang dilaksanakan Agustus 2008, pada situs benteng Putri Hijau ditemukan beragam jenis temuan, seperti 35 keping pecahan keramik dan tujuh keping tembikar dari temuan permukaan.

Dari 19 keping pecahan keramik dari kotak galian, satu butir peluru senapan musket, 11 keping pecahan kaca, bongkahan-bongkahan tanah liat terbakar dan bongkahan-bongkahan kecil yang diduga karat besi seberat 2 kg, selain itu juga ditemukan 3 buah alat batu berupa kapak genggam sumatera (sumatralith).

Analisis yang dilakukan terhadap temuan tersebut dapat dikemukanan bahwa secara relatif temuan pecahan keramik paling tua adalah keramik China sekitar abad 12-14 Masehi dan paling muda keramik Eropa dari abad ke-18.

“Selain China dan Eropa, diperkirakan ada keramik Annam, Vietnam. Sementara terhadap temuan kapak genggam yang dianalisa sejauh ini nampak ada bekas pengerjaan pada salah satu permukaan batu dan ada pula jejak bekas penggunaan pada bagian tajamnya,” katanya.***3* **
Salam Mejuah Juah

Karo Cyber Community

Sumber : mail-archive.com

- Advertisement -

Berita Terkini