Makrifat Kilat, Buat Penjilat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Fathorrahman Fadli

MUDANEWS.COM – Dalam sejarah peradaban Umat Manusia, dunia politik kerap melahirkan para kaum penjilat. Tak peduli kekuasaan itu besar atau kecil. Kaum penjilat senantiasa ada disitu.

Kaum penjilat ini sejatinya adalah residu dari sejarah itu sendiri. Manusia yang tidak bisa dijual dipasar bebas sejarah. Mereka adalah produk gagal dari pabrik kemanusiaan yang rutin.

Manusia penjilat hanya sukses makan dengan cara menjilat. Mereka biasanya menjilat kepada atasan dan menyikut sesama teman, juga sangat rajin menginjak kepada bawahan. Manusia yang seperti itulah yang sesungguhnya adalah sampah dari sejarah.

Manusia jenis penjilat ini selalu berada didekat orang-orang yang sedang berkuasa. Dalam sejarah kemanusiaan yang sangat klasik zaman Raja Namrud dan Penguasa Firaun, manusia penjilat kekuasaan itu selalu ada di sekeliling Namrud dan Firaun. Mereka sangat lihai berkata-kata, namun terasa sangat menjijikkan isi perkataan-perkataan mereka.

Kaum penjilat punya kebiasaan memuja penguasa, menghardik pengkritiknya, dan tergolong sebagai pendamba kuasa.

Di mata para penjilat, semua perkataan penguasa adalah selalu benar. Sedang
Kebijakan-kebijakan penguasa adalah hukum yang harus dipatuhi. Kaum penjilat bisa dengan cepat meraih sejahtera, dan selalu bangga dengan hasil jilatannya.

Dalam kisah-kisah klasik kaum penjilat dilukiskan bahwa mereka kerap hidup berpesta pora. Pesta dansa dan hingar bingar musik kerap menjadi hari-hari mereka. Juga penghibur-penghibur wanita yang menemani mereka dalam suka. Kaum penjilat bertindak kasar, dan membabi buta jika junjungannya dikritik, apalagi kritikan itu dilempar dihadapan publik.

Mereka lebih ceoat merasa panas dua tiga kali besarnya ketika junjungannya dikritik. Mereka kerap mengawat-gawatkan sesuatu keadaan, situasi, info-info sesat sebagai menu sarapan pagi sang penguasa. Kata-kata mereka selalu manis, tindak tanduk mereka selalu patuh, serta pekerjaan-pekerjaan mereka selalu selesai tepat pada waktunya. Untuk apa itu semua? Hanya untuk satu mencari muka di depan penguasa.

Namun ingat baik-baik, bahwa ternyata, diantara para penjilat itu selalu ada persaingan tidak sehat. Diantara mereka terdapat friksi yang keras terkait siapa yang paling banyak dipuji sang penguasa. Biasanya pemenangnya adalah siapa yang paling intensif dalam menjilat. Dalam bahasa gaul kekuasaan klasik sering dilukiskan dengan perkataan, “Para penjilat yang sukses adalah mereka yang berhasil menjilat pantat penguasa tepat disamping lubang duburnya”.

Mengapa posisinya didekat lubang pembuangan sampah itu. Dalam ilmu faal tubuh, lokasi tersebut adalah tergolong yang paling sensitif pada manusia. Jika seseorang dijilat dilokasi itu, mereka akan merasakan kebahagiaan yang tinggi. Mereka akan merasakan geli-geli sedap. Sementara sang penjilat telah rela menahan bahu busuk yang keluar dari lubang pantat kekuasaan itu. Oleh karena itulah, manusia penjilat itu disebut dengan penjilat yang sukses.

Apalagi yang biasanya dilakukan para penjilat kekuasaan. Mereka seringkali membuat agenda-agenda rutin yang membuat senang penguasa. Mulai buku tentang sukses yang penguasa, pesta-pesta kecil coktail, hingga rapat akbar yang menghadirkan jutaan manusia. Mengapa? Semua itu untuk membuat sang penguasa menjadi lebih besar kepala. Lebih percaya diri, lebih hadir ditengah-tengah rakyat.

Biasanya jika sampai titik dimana sang penguasa berada di tengah-tengah rakyatnya, dari atas panggung besar yang disiapkan penjilat, mereka berucap, “Saya sungguh senang sekali, sangat bahagia karena berada diantara saudara-saudara, rakyat yang baik-baik, yang patuh pada pemerintah, terima kasih, terima kasih,” ucap sang penguasa seraya menyebut nama pembuat panggung.

Namun bagi sesama penjilat yang tidak ikut membuat panggung, mereka mencari siasat agar si pembuat panggung itu tidak terlalu dekat dengan penguasa. Maka intrik dan fitnah diantara mereka berkembang subur untuk saling menjatuhkan. Berbagai upaya mereka lakukan, mulai membuat fitnah hingga ‘membunuh’ diantara sesamanya.

Para penjilat itupun bersaing keras untuk mengambil hati sang penguasa. Penguasa yang pintar selalu menjaga dinamika persaingan diantara mereka dengan manajemen konflik. Ketika suatu hari mereka ribut karena persoalan tertentu, maka para penjilat itu akan datang mengadukan nasibnya pada sang penguasa.

Bagaimana jika ada rakyat mendemo penguasa karena protes atas kebijakannya yang menindas rakyat? Pastilah mereka berebut menjadi pembela paling depan. Bagi para penjilat kuasa itu penguasa istana selalu berada dalam kebenaran mutlak, tanpa reserve. Itu hukum besi kekuasaan otoriter yang dikelilingi oleh kaum penjilat.

Mereka akan maju ke depan mengahdapi para demonstran seraya berkata, ” Apa yang kalian mau, belum puaskah kalian semua dalam mengkritik pemerintah kami, pemerintah sudah membela kalian dengan bekerja keras dan berfikir siang malam demi bangsa dan negara, sudah…sudah kalian bubar sekarang…jika tidak, gas air mata dari water canon sudah siap menyemprot kalian dengan cairan berbahaya. Kalian itu sampah demokrasi,
” tegas sang penjilat.

Dan, rakyat para pendemo pun lari tunggang langgang, semburat tak karuan. Sementara para penjilat itu tertawa terkekeh-kekeh karena aksi demonstran itu juga buatan sang penjilat. Untuk apa? Untuk menunjukkan pada sang penguasa bahwa penjilat itu terlihat setia membela penguasa.

Esok harinya para peenjilat ini berjumpa dengan para pengunjuk rasa. Untuk membahas performa aksi yang kemarin. Agendanya adalah satu, membuat penguasa terkagum kagum pada sang penjilat. Namun jangan lupa, sebelum agenda dijalankan, para penjilat itu menabur naburkan hadiah bagi para demonstran. Demonstran pun senang. Hati sang penjilat semakin berbunga-bunga.

Demikianlah terus berlangsung kisah-kisah kaum penjilat dari masa ke masa. Mungkin kemasannya berbeda, namun sesungguhnya substansi yang mereka lakukan adalah sama; dari Namrud, Firaun, hingga Donald Trump di Amerika sana.

- Advertisement -

Berita Terkini