Resensi Buku Kamus Cakap Anak Medan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kamus Cakap Anak Medan. “Tolong dulu apakan apanya itu, biar agak apa sikit. Pinomat*), biar nggak ada apa-apa nanti.” Itulah potongan dari gaya percakapan anak Medan. Apa artinya apa? Hanya mereka yang tengah bicara dan tuhan saja yang tahu. Jika merujuk pada teori model komunikasi klasik Wilbur Schramm- kata ‘apa’ ini dapat dipahami oleh mereka karena antara komunikan maupun komunikator memiliki kesamaan frame of reference dan field of experience. Tapi kalau kalian memang mau tahu dan paham juga, bacalah buku Kamus Cakap Anak Medan ini.

Buku kamus dengan ukuran saku ini, disusun Choking Susilo Sakeh – seorang wartawan senior di Medan. Bang Choking -demikian aku menyapanya-berhasil mengumpulkan 1.310 kosa kata yang dimulai dari abjad A sampai Y. Kosa kata yang ditulis mulai dari kata benda, kata kerja sampai kata sifat. Dari kata yang paling sopan sampai kata yang dianggap cukup tabu untuk diucapkan di muka umum. Dari bunyi kata yang paling jelas muasalnya, sampai bunyi kata yang paling absurd. Pokoknya, maen kalilah kalau kata anak Medan- maksudnya luar biasa atau hebatlah. Bagi anak Medan perantauan macam aku, usai membaca buku Kamus Cakap Medan ini- membuatku jadi rindu dendam untuk bicara dengan menggunakan kosa kata cakap Medan.

Sebagai sebuah kota dengan sejarah panjang keberagaman, banyak sekali kosa kata cakap Medan dipengaruhi berbagai suku dan bangsa yang ada di Medan khususnya, dan Sumatera Utara pada umumnya. Sebut saja misalnya kata preman yang berasal dari bahasa Belanda- vrije man (Hal.58). Menurut Usman Kansong (2020: 169) preman berasal dari bahasa Belanda vrije man. Kata ini lahir di dunia perkebunan di Sumatera Timur- disematkan pada kaum lelaki yang menolak bekerja dalam ikatan kontrak di perkebunan Belanda. Atrek/atret – juga diserap dari bahasa Belanda achteruit yang artinya ke belakang (hal.4). Atrek biasanya digunakan ketika ada kendaraan -baik roda dua, tiga atau empat- hendak mundur. Doorsmeer nama tempat cuci motor/mobil.

Menurut situs Quora, kata ini didasarkan kata kerja Belanda doorsmeren – artinya ialah mengganti minyak pelumas. Di bengkel mobil, selain mengganti oli juga menyediakan servis pencucian- nah disematkanlah akhirnya doorsmeeren yang menjadi doorsmeer pada nama tempat cuci motor dan mobil di Medan – entah bagaimana ceritanya. Begitulah orang Medan, agak-agak PTT- alias Pantang Tak Top (selalu ingin terlihat asyik dan oke).

Permen disebut dengan kosa kata bon-bon. Kata bon bon ini diserap dari bahasa Perancis yang punya arti sama- permen. Serapan ini -mungkin- terjadi ketika Medan begitu sangat kosmopolitan di zaman era perkebunan tembakau, tebu dan karet di masa kolonial.

Medan dengan segala tumbuh kembangnya masa itu, berjuluk Parisj van Soematra. Ada juga kata can yang artinya kesempatan – kata ini diserap dari bahasa Inggris chance. Kata lain yang diserap dari bahasa Inggris seperti raon-raon untuk mengatakan berkeliling (dalam konteks jalan-jalan). Kata raon-raon diserap dari bahasa Inggris around (hal.54). Yang paling membingungkan buat orang di luar Medan mungkin soal kata kereta/kreta untuk menyebut sepeda motor. Konon, kata kreta atau kereta ini berasal dari bahasa Inggris carriage – pengangkutan/transportasi yang dulunya disematkan pada angkutan jenis kereta kuda atau merujuk pada gerbong (kereta api).

Banyak kata lainnya yang buat aku jadi senyum-senyum sendiri ketika membacanya- utamanya yang agak-agak absurd macam eskete untuk menyatakan putus hubungan atau tidak lagi berteman, sebutan bronces untuk anak ABG, kreak dan krepak peak untuk menyebut seseorang yang sok dan menyebalkan.

Serapan dari bahasa Mandarin juga cukup banyak. Kehadiran orang Tionghoa jauh sebelum Belanda menjejak di Sumatera Timur, punya pengaruh sendiri di Medan. Jika dilihat dari temuan benda-benda arkeologi di situs Kota Cina di Belawan, Sumatera Utara, orang-orang Tionghoa sudah mendarat di Sumatera Timur pada abad XII. Kedatangan mereka bertambah-tambah ketika Belanda membuka perkebunan di Medan. Mereka datang untuk berdagang dan kuli perkebunan. Para pedagang dan pekerja Tionghoa yand ada umumnya berasal dari Kanton, Fukien, dan Kang-Eng-Ciu (Hakka, Khe). Para pendatang Tionghoa terbagi-bagi dalam beberapa dialek seperti Kongfu, Hokkian dan Hakka (Usman Kansong, 2020).

Ciak dalam bahasa Mandarin artinya makan. Kalau sudah tiba waktunya makan, biasanya ada yang suka berucap seperti ini: “Di mana woi kita ciak?”

Serapan dari bahasa Melayu mendapat porsi cukup besar dalam beragam kosa kata orang Medan. Semisal kata bakombur yang diserap dari bahasa Melayu Asahan yang artinya ngobrol tak tentu arah (hal.5), libas untuk kata pukul (hal.38), ondak perubahan bunyi dari kata hendak (dialek Melayu pesisir), juga seringnya dipakai kata mendai jika ditanya apa kabarnya. Mendai dalam bahasa Melayu artinya baik. Majalah Tempo seingatku adalah salah satu media yang sejak dulu suka menggunakan kosa kata Melayu (baku) yang jamak digunakan di Medan.

Serapan dari berbagai kosa kata suku-suku lainnya juga banyak, seperti bahasa Karo, Toba, Mandailing, Minang, Jawa. Seperti angek (hal.4) yang artinya panas, tetapi dapat pula berarti iri, cemburu, tidak suka. Kata ini diserap dari bahasa Minang dengan arti yang sama. Bodat artinya monyet, dari bahasa Toba. Kata bodat sering dipakai untuk memaki seseorang yang tingkahnya menjengkelkan. Kata jeges yang berarti cantik- diserap dari bahasa Mandailing. Tongat, nama panggilan untuk anak laki-laki dari bahasa Karo (hal.76). Kata lereng sering digunakan untuk menyebut sepeda onthel. Lereng diserap dari bahasa Jawa (hal.38).

Ada juga serapan kata yang berasal dari merk barang. Seperti Honda yang juga sering diucapkan untuk sepeda motor (yang kadang kala merknya bukan Honda). Contoh kalimat. “Naik apa tadi kemari?” – lalu dijawab; “Naik honda.” Eh waktu dilihat, dia naik motor dengan merk lain. Kemudian kodak untuk menyebut kamera, kadang-kadang juga dipakai kata tustel. “Cak ko kodakkan kami.” Maksudnya, coba tolong kau fotokan kami.

Akronim.

Selain kata serapan, banyak sekali kosa kata cakap Medan yang berupa singkatan. Mungkin ini dipengaruhi sifat orang Medan yang cenderung agak pragmatis. Seperti cokir (cocok kira-kira), cokor (cocok ko rasa), iin puspa (inang-inang pusat pasar/ ibu-ibu yang berjualan di pasar), Rustam (rusak tampang), limpul (lima puluh), RBT (Rakyat Banting Tulang) yang jadi sebutan untuk ojek, cemmana- singkatan dari macam mana, stengki untuk pengisian bahan bakar dengan volume setengah tangki.

Akronim juga disematkan untuk sejumlah nama makanan dan minuman. Gorpis untuk goreng pisang (pisang goreng) – kadang kala memang tak jelas urutan DM dan MD dalam singkatan cakap Medan ini, suka-suka anak Medan saja memang. Begitulah, anak Medan- suka sekali THH (Tah Hapa-Hapa) – maksudnya entah apa-apa. BPK untuk makanan Babi Panggang Karo. Teh tong – teh kosong, maksudnya teh pahit/teh tawar. Dan kalau ada anak Medan menawarkan: “Mau minum es kosong?” Maka itu artinya dia menawarkan air putih pakai es batu atau air putih dingin.

Buku dengan jumlah 82 halaman ini juga dilengkapi dengan sketsa gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang ada di Medan. Sketsa dikerjakan oleh Charles Pandiangan. Buku ini tambah mentel (centil) dan agak sedikit mentiko (belagu, tapi dalam konteks buku ini nyebelin tapi menyenangkan) – karena Osmar Tanjung turun gunung jadi editor. Osmar Tanjung sendiri adalah pengurus inti Deli Heritage Society, Sumatera Utara. Sehari-hari dia bekerja sebagai komisaris independen PTPN IV.

Ada beberapa kata yang memang belum masuk di kamus ini. Seperti Jadel (Jawa Deli) – orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Ada juga beberapa kata serapan dari bahasa Tionghoa, semisal taucang untuk rambut yang diikat seperti laki-laki Tionghoa pada zaman dahulu. Driehoek- untuk kain penutup kepala perempuan yang berbentuk segitiga/scraf. Driehoek diserap dari bahasa Belanda yang artinya segitiga. Sampai saat ini, kedua kosa kata ini masih digunakan di Medan.

Tapi secara keseluruhan, boleh kalilah buku ini diberi apresiasi. Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Kalau ada kurang-kurang sikit (sedikit) ya wajarlah. Bak kata orang Medan yang diserap dari dialek Melayu; kojo cibu (kerja seribu), tak kojo, matus (tidak kerja lima ratus), bagus kojo tak kojo, dapatnya cibu matus (kerja tak kerja dapat seribu lima ratus). Kalau dirapikan, maka kalimatnya menjadi; kalau kerja dapat uang seribu, kalau tidak kerja cuma punya uang lima ratus, baguslah KERJA TAK KERJA- karena bisa dapat uag seribu lima ratus)- penting diingat- logika cakap orang Medan jangan didebat. Konteksnya dalam buku ini- daripada hanya cakap saja, dibuat terus- ya kan. Buku cetakan pertama September 2020 ini terbit atas kerja sama PKPBerdikari, Deli Heritage Society, Musperin dan Badan Pelestarian Nilai Budaya Aceh. Ditunggu buku lainnya ya, Abang-abang.

*pinomat – paling tidak
**p.s: iklan kamera foto di salah satu surat kabar di Medan pada masa kolonial. Difoto ulang dari koleksi Museum Peranakan Tionghoa.

Oleh: Raihan Lubis

- Advertisement -

Berita Terkini