Dinasti Berbulu Demokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Andai MK tidak melegalkan dinasti politik, mungkin tidak ada ribut-ribut soal politik dinasti. Dinasti politik secara resmi sempat dilarang dalam undang-undang. Akan tetapi, MK membatalkannya dan politik dinasti pun melenggang kangkung sampai sekarang.

meskipun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan. Norma kepatutan itu hanya berlaku dalam lingkungan orang-orang beradab. Karena itulah, Kementerian Dalam Negeri menuangkan norma kepatutan menjadi norma hukum di Rancangan Undang-Undang Pilkada yang saat itu dibahas DPR. Norma hukum yang diusulkan Kemendagri ialah pelarangan calon kepala daerah mempunyai ikatan kekerabatan dengan petahana, kecuali ada jarak waktu minimal satu masa jabatan.

Praktik politik dinasti sepanjang era reformasi benar-benar menggejala. Untuk kali kesekian publik disuguhi praktik politik dinasti. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. Sebab, kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Apa yang terjadi seandainya negara atau daerah menggunakan politik dinasti?

Politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.

“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Dengan Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri tercinta dan akan mengebiri demokrasi kita. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, masyarakat seakan diberi peran.

Praktik politik dinasti pada saatnya akan mengganggu proses checks and balances antarlembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Padahal, untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol penting. Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, terjadilah budaya kolutif dan koruptif.

Maka itu kita harus belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi seperti kasus mantan Gubernur Banten Ratu Atut yang menerapkan politik dinasti didalam sendi-sendi pemerintahan sehingga kehilangan fungsi untuk saling kontrol dan menjadikannya jemawa hingga berujung pada terjadinya tindakan korupsi. Selain daripada kasus tersebut banyak lagi kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia yang berawal dari politik dinasti.

Semoga kita semua masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Selatan dapat memahami bahaya politik dinasti bagi keberlangsungan perkembangan dan kemajuan daerah Santun Berkata Bijak Berkarya.

Penulis: Septian Hadi (Ketua Umum Himalabusel Riau dan sebagai Wakil Sekretaris Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Riau-Kepulauan Riau)

- Advertisement -

Berita Terkini