Nilai-nilai Ketuhanan Solusi Bagi Bangsa

Breaking News

Pesan Esensial

Satu Tahun COVID-19

SBY Bukan Pendiri PD?

Teknologi Pendidikan?

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kalau ada yang berani bertanya, Adakah Tuhan di Indonesia? Datanglah kepada orang-orang yang biasa menjalani kehidupan dunia gemerlap (dugem), mereka mengenal istilah “daerah tak ber-Tuhan”. Tentu mustahil bahwa Tuhan tidak ada di daerah tertentu. Bukankah Tuhan ada dimana saja, kapanpun, setiap waktu dan sepanjang masa. Orang Jawa mengatakan, Gusti Allah mboten sare” (Tuhan tidak tidur).

Istilah “daerah tak ber-Tuhan”, bukan berarti Tuhan tidak ada di daerah itu, tetapi di daerah itu, orang dengan “bebas” menyalurkan hasrat dan nafsunya untuk menjalani sex bebas, mengkonsumsi Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), meminum alkohol, melakukan perjudian dan melakukan perbuatan lainnya yang melanggar hukum, etika, moral, agama dan nilai-nilai ketuhanan.

Sebagai suatu bangsa dan negara, Indonesia bukanlah negara agama (Teokrasi), tetapi Indonesia yang merdeka menurut Soekarno-Hatta dan para pendiri bangsa lainnya adalah negara yang beragama, bukan pula negara yang sekular, anti Tuhan dan tak bertuhan (atheis).

Dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit pula keinginan beberapa pihak yang memiliki paham komunis-atheis berupaya merubah Indonesia menjadi negara yang tak bertuhan (atheis). Hari-hari belakangan ini kita juga tengah mengalami kecemasan secara kolektif bahwa Indonesia berada dalam ancaman kekuatan yang menyeret ke paham komunis-atheis.

Kecemasan semacam itu tentu saja akan kita berikan tempat, tetapi marilah kita melihat ancaman yang lebih serius, merisaukan setiap kita, tanpa terkecuali, tentang merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi perekonomian nasional, dan merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa, sebagaimana pemimpin negeri ini pernah mewartakan melalui visi, misinya. Atau tentang upaya memisahkan agama dari negara (sekularisasi).

Berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara muncul akibat sekularisasi, Tuhan dan agama tidak lagi menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, hal terpenting adalah bagaimana kita mengundang Tuhan dalam menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia, dengan menghadirkan nilai ketuhanan agar dapat dijadikan sebagai landasan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Persoalan Bangsa

Konsep pemerintahan Indonesia tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah, bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Sementara itu, tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Begitu juga dengan pandangan Al-Ghazali dalam bukunya “Aliqtishad fi Ali’tiqat” mengatakan bahwa agama dan negara adalah dua anak kembar, agama adalah dasar dan penguasa/kekuasaaan negara adalah penjaga segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan sia-sia.

Pandangan ini sejalan dengan paradigma simbiotik, dimana hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.

Agak sulit memang menemukan persesuaian hubungan agama dan negara dalam format yang sangat tepat, sempurna dan diterima oleh semua pihak, tetapi semua pendiri bangsa meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah: “…Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” dan “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,…” sebagaimana di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara yang beragama dan menganut paradigma simbiotik dalam hubungan agama dan negara.

Konstitusi kenegaraan kita memang menganut konsep sebagai negara yang beragama, namun dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, praktik-praktik sekularisasi tumbuh dengan suburnya, yang oleh Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 4, mengartikan sekularisasi sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat, ide pemisahan (total) agama dari negara. Bukan merupakan arti lain dari sekularisasi yang bersifat sosiologis, bukan filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah.

Sekularisasi sebagai ide pemisahan (total) agama dari negara menyebabkan agama dan Tuhan seolah hanya ada di tempat peribadatan: Masjid, Gereja, Pura, Vihara dan Klenteng saja. Agama dan Tuhan dianggap sebagai urusan para pendakwah dan pemuka agama, ulama, kiyai, ustadz, pendeta, pastor, biksu dan pendande saja.

Agama dan Tuhan dianggap hal yang personal, urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan saja, terlepas dari urusan kehidupan sosial kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Dan pada gilirannya, sekularisasi itu menuju sekularisme yang intinya ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini.

Dampak dari pemisahan (total) agama dari negara menyebabkan agama dan Tuhan seperti tak ada, absen di kantor-kantor pemerintahan dan kekuasaan negara, Tuhan tak pernah diundang untuk perjamuan yang membahas urusan dan kebijakan, serta keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat.

Karena itu pula terjadi kejahatan jual beli pengaruh kekuasaan, jual beli jabatan, birokrasi yang panjang, rumit dan tidak melayani dengan hati muncul begitu luar biasa. Terjadi pula korupsi sebagai tindak kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) di semua lapisan kepemimpinan, lintas eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka yang melakukan semua itu adalah orang-orang yang beragama dan bertuhan juga. Mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga.

Sastrawan terkemuka Indonesia, Taufiq Ismail (2003) dengan amat mengesankan telah menggambarkan betapa Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) telah menjadi persoalan utama bangsa Indonesia melalui Puisi panjangnya dengan judul: Jangan-Jangan Saya Sendiri Juga Malling. Puisinya juga menjelaskan bahwa betapa nilai ketuhanan tidak hadir di ruang-ruang publik.

Sejatinya, ide dan praktik pemisahan (total) agama dan negara itu menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin menjauh dari tujuan kemerdekaan Indonesia, “..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” karena jelas-jelas tidak lagi berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,…”.

Nilai Ketuhanan Sebagai Solusi

Agaknya, mengundang Tuhan dengan menghadirkan nilai ketuhanan menjadi solusi penting dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, bagaimana nilai ketuhanan harus menjadi landasan dan sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas dalam setiap perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Paling tidak ada tiga nilai ketuhanan yang bersifat universal bagi semua umat beragama, yaitu, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang dapat dijadikan sebagai nilai utama dalam perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Nilai-nilai kebenaran yang bersifat ontologis dan sosiologis mesti menjadi landasan bagi setiap warga bangsa Indonesia, terutama para penyelenggara negara dan pemerintahan dengan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu serta menghindarkan diri dari memiliki kepentingan (vested interest) yang bersifat pribadi, kelompok dan golongan dalam urusan-urusan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan nilai-nilai kebenaran itu, setiap warga bangsa Indonesia mesti memiliki tanggungjawab dan menjalankan hak dan kewajibannya untuk benar-benar merealisasikan tujuan dari Indonesia merdeka. Menjalankan tugas kesejarahannya dalam membangun suatu peradaban berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan (terpenuhinya hak-hak asasi warga bangsa) dengan menegakkan keadilan sehingga setiap warga bangsa menjadi manusia yang beradab, berupaya untuk bersatu secara nasional dengan ikatan bhinneka tunggal ika, dan meletakkan kedaulatan atau kekuasaan rakyat dengan menerapkan mekanisme musyawarah/mufakat dan kesemuanya bersumber pada nilai-nilai Ketuahanan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai kejujuran yang dimiliki oleh setiap warga bangsa juga diperlukan untuk berani memberikan penilaian secara jujur dan obyektif, serta mengakui pula apakah seluruh cita-cita dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara kita benar-benar menuju perwujudan kesejahteraan umum melalui suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila tidak atau belum, tentu saja upaya mewujudkannya menjadi perioritas dan amanat yang utama.

Mengundang Tuhan dengan menghadirkan nilai ketuhanan, yaitu kebenaran, kejujuran dan keadilan dalam perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara inilah yang menjadi solusi bagi bangsa untuk mewujudkan Indonesia menjadi negeri yang baik, dengan Tuhan yang maha pengampun, Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur (QS: Saba. 15).

Penutup

Mengundang Tuhan dengan menghadirkan nilai ketuhanan dimaksudkan sebagai suatu perwujudan dari kepedulian seluruh warga bangsa, terutama para penyelenggara negara dan pemerintahan untuk memberikan perhidmatan kepada setiap warga bangsa yang masih belum beruntung, dalam kondisi yang lemah dan tertindas, belum mendapatkan hak-hak asasi dan hak-hak konstitusionalnya untuk hidup sejahtera, layak dan bermartabat.

Kita tentu saja tidak ingin seperti Nabi Musa dan kaumnya Bani Israil yang kecewa ketika mengundang Tuhan dalam perjamuan makan pada hari Jum’at yang telah ditentukan, namun Nabi Musa dan kaumnya tidak menyambut kehadiran dan memberi perhidmatan kepada Tuhan yang datang dalam wujud lelaki tua yang lemah, papa, dalam kondisi kehausan dan kelaparan.

Tuhan memberi jawaban kepada Nabi Musa atas kekecewaannya dengan berfirman: “Aku bersama hamba-Ku itu, sekiranya kami memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berhidmat kepadanya berarti berhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan tidak minum. Tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku.”

Mohammad Natsir telah lama mengingatkan kita tentang perhidmatan kita dengan mengundang Tuhan melalui penerapan nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan adalah untuk meraih suatu kemenangan yang hakiki yaitu suatu kemenangan perjuangan yang tidak semata-mata karena tempat yang diduduki cukup banyak, atau kekuasaan ada di tangan. Tetapi hakikat kemenangan ialah apabila semua itu dipergunakan untuk menolong dhuafa dari nasibnya yang malang. Keluh mereka dapat terbujuk, air mata disapu dari muka, tangan yang menadah mengadukan nasib kepada Tuhan disambut dengan bimbingan: bila semua ini berganti dengan wajah baru sampai si lemah terlepas dari penderitaannya, di sinilah baru kita merasakan kemenangan baru kita peroleh.

Mengundang Tuhan dengan menghadirkan nilai ketuhanan (kebenaran, kejujuran dan keadilan) untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, sesungguhnya merupakan komitmen dan perhidmatan para penyelenggara negara dan pemerintahan dalam memenuhi hak-hak warga negara dengan benar, jujur dan adil. Suatu keadilan yang menurut Socrates tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Penulis: Wahyu Triono KS (Dosen FISIP Universitas Nasional dan Pengasuh Taman Pendidikan Al Quran Lembaga Edukasi Anak Didik Edukatif dan Religius (LEADER) Depok)

- Advertisement -

Berita Terkini