Mungkinkah Salah Ketik?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Kini kita kembali lagi dihadapkan dengan rancangan produk hukum yang kontroversial. Belum lagi kering ingatan kita tentang beberapa produk hukum kontroversial tahun lalu, kini kembali muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Beberapa pasal yang termuat di dalam RUU tersebut menjadi bahan perhatian, kajian dan kritikan banyak kelompok masyarakat. Baik dari kelompok akademisi hukum, aktivis buruh atau pekerja, jurnalistik dan beberapa kelompok yang merasa diberatkan dalam RUU yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Dari kalangan pekerja merasa keberatan dengan dihapuskannya Pasal 59 yang ada dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengenai tata cara perjanjian kerja waktu tertentu antara pengusaha dan pekerja. Dengan penghapusan pasal tersebut Pemerintah dinilai memberikan kesempatan pengusaha untuk memberlakukan sistem outsourcing atau kontrak tanpa batas. Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai penghapusan pasal tersebut di Omnibus Law Cipta Kerja amat merugikan pekerja, sebab pengusaha tidak lagi membayar pesangon kepada pekerja yang dipekerjakannya secara sistem kontrak. (Media Indonesia, 19/02/2020).

Penolak pasal kontroversial dalam RUU Omnisbus Lawa Cipta Kerja tersebut pun rupa-rupanya hanya datang dari kelompok pekerja atau buruh. Lembaga Pers juga ikut mengkritik dan menanggapi RUU tersebut. Bahkan, langsung menyatakan sikap penolakannya karena Pemerintah diduga ikut campur tangan mengatur pers sebagaimana masa Orde Baru dahulu. Penolakan dari kalangan pers ini pun langsung disampaikan oleh Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi. Ia mengatakan niat campur tangan pemerintah mengatur pers terlihat dalam pasal 9 dan 12 dalam RUU tersebut. Menurutnya pasal 9 memuat ketentuan perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara pasal 12 mengatur perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, penanggungjawab secara terbuka. (Republika, 19/02/2020).

Sungguh aneh memang melihat produk hukum di negara kita ini. Selalu ada aturan hukum yang tumpang tindih. Contoh terbaru ini seperti RUU Omnisbus Law Cipta Kerja yang hendak diajukan mengatur tentang Lembaga Pers, padahal sudah ada payung hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 199 Tentang Pers. UU ini menjamin kebebasan pers dan tidak ada campur tangan Pemerintah di dalamnya. Bahkan, hal yang paling “gila” dalam RUU Cipta Kerja tersebut diatur sanksi pidana denda yang naik 400 persen dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.

Sanksi tersebut, salah satu Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Gading Yonggar Ditya, menanggapi urgensi kenaikan denda hingga 400 persen. Ia berkata sebagaimana yang dimuat dalam Harian Republika (19/02), “Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi untuk mendidik.”

Selanjutnya, pasal lain dalam RUU Omnisbus Law Cipta Kerja yang mengundang kontroversi yaitu adanya pasal yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat mengubah Undang-Undang (UU). Atau dengan kata lain, Presiden lewat PP yang dibuatnya dapat merubah UU. Sungguh hal ini sangat bertentangan dengan hierarki perundang-undangan Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Nah, selain kita menemukan ada rancangan produk hukum yang tumpang tindih, dari fenomena ini kita temukan ada aja rancangan peraturan perundang-undangan yang saling kontroversi.

Yang mengandung kontroversi dalam RUU tersebut mungkin masih ada lagi jika benar-benar dikaji. Seiring berjalannya waktu sampai nantinya diajukan ke DPR RI bisa jadi ditemukan lagi. Pertanyaannya mengapa yang seperti ini sering terjadi di negara ini? Bukankah orang-orang yang menangani terkait hal itu merupakan orang-orang yang yang diamanahkan berdasarkan kualitasnya di bidang hukum? Apakah salah ketik atau ada unsur lain?

Benarkah Salah Ketik?

Seiring derasnya kritikan dan tanggapan yang menyebar di berbagai media dan dari khalayak ramai, pihak Pemerintah pun melakukan sebuah klarifikasi. Susiwijono Moegiarso yang saat ini menjabat Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, memastikan tidak ada ketentuan demikian. Ia mengatakan bahwa tetap mengikuti hierarki perundang-undangan.

Kita cermati pendapat Susiwijono tersebut, sangat bertentangan dengan Draft RUU Omnisbus Law Cipta Kerja yang sudah banyak dibaca publik. Nyata-nyata ada pasal demikian yang mengatur bahwa Presiden dengan produk hukumnya dapat merubah UU. Jika tidak tertulis tidak mungkin menjadi bahan kajian dan salah satu pasal yang mengundang kontroversi.

Yang paling membuat kita tersenyum lagi mendengar pernyataan klarifikasi yang datang dari seorang Pakar Tata Negara sekaligus pernah menjadi Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, dan saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD. Ia mengatakan, “Itu hanya salah ketik sebenarnya.” Nah, perkataan ini sangat bertentangan dengan perkataan Susiwijono di atas tadi.

Dari perkataan yang berbeda tersebut, maka muncul pertanyaan dasar apakah yang dikatakan Mahfud MD bahwa terjadi salah ketik pada Bab XIII Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut?

Sungguh perkataan Mahfud MD tersebut sangat tidak masuk akal mengingat sistematika penyusunan kalimat dan kata-katanya. Bahkan diketahui bukan hanya satu ayat, tapi ada tiga ayat yang bermakna atau saling menguatkan satu sama lain dalam Pasal 170. Jika itu salah ketik pasti ditemukan salah huruf atau atau ada yang kurang hurufnya.

Klarifikasi Mahfud bahwa salah terjadi salah ketik, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai ada yang aneh. Sebab, pasal itu terdiri dari tiga ayat yang isinya terkait satu sama lain. Ia berkata, “Saya bilang aneh saja. Karena salah ketik itu biasanya, ya satu ayat okelah salah ketik. Tapi, kalau salah ketiknya satu pasal dan sistematis, itu kan aneh. Sistematis itu kan terkait satu sama lain. Berarti, kan tidak seperti salah ketik. Bagi saya sih itu tidak salah ketik, tapi dicoba-coba tapi gagal.”

Nampaknya memang demikian. Ada sekelompok orang yang menyusun draft tersebut mau mencoba. Nyatanya masih ada pengamat hukum dan sekelompok masyarakat yang teliti dan kritis mau mengkaji serta mengawasi produk hukum yang berbau busuk.

Penutup

Logika sehat akan mengatakan bahwa itu bukan salah ketik, kecuali yang mengatakannya tidak berlogi sehat. Jika pun ia berlogika, dapat dipastikan logikanya berada di bawah tekanan dan tidak merdeka. Akibat unsur kepanatikan kepada penguasa dan tidak pro-kebenaran suara kejujuran pun tidak keluar.

RUU Omnisbus Law Cipta Kerja tersebut dibawa ke persidangan DPR RI harus benar-benar diawasi dan meneliti apakah ada pasal-pasal busuk atau pasal-pasal titipan yang merugikan rakyat Indonesia. Dan kiranya bukan hanya RUU yang demikian saja, RUU yang lainnya harus benar-benar diawasi oleh masyarakat, jangan sampai ada regulasi yang tidak pro-rakyat dan tidak pro-keadilan. Kita harus menolak setiap regulasi yang menyengsarakan rakyat.

Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumatera Utara)

- Advertisement -

Berita Terkini