Wahai Mahasiswa, Bacalah !!

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Judul diatas terinspirasi dari kisah Rasulullah Saw ketika menerima wahyu pertama kali di gua Hira’, tentu semua umat muslim tau dan mengerti bagaimana kisah itu berjalan dan bertutur di dalam kitab suci maupun hadist Nabi.

Ketika itu Nabi Muhammad dipeluk erat oleh Malaikat Jibril, dengan ucapan “Iqra’!” yang artinya “bacalah”. Tapi Muhammad Saw yang Ummi (Tak bisa baca tulis) membantah dengan mengatakan “apa yang harus aku baca, aku tak bisa membaca”. Lalu sang malaikat itu terus mendekap dan mengulang kata “iqra’!” itu hingga tiga kali sampai sang malaikat meneruskan dengan bacaan selanjutnya. Inilah cikal bakal wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Dari kisah ini penulis merasa heran, kenapa harus membaca? Kenapa tidak perintah ibadah yang diwahyukan pertama kali kepada Muhammad Saw.?

Dan penulis menganalisis, ternyata puncak dari segala apapun yang ada dimuka bumi ini adalah dengan “membaca”, bahkan Muhammad Saw yang ummi saja diperintahkan untuk membaca. Lalu, esensinya apa? Bukankah sampai matipun Muhammad Saw tak pernah membaca, dia diajarkan langsung oleh Tuhan, dan setiap wahyu yang diturunkan juga dibacakan oleh Jibril lalu diikuti oleh Muhammad Saw.

Tentunya ini menggelitik kita sebagai akademisi, atau intelektual. Dalam konsep keilmuan, untuk mengetahui ilmu itu ada tiga konsep. Yaitu normatif, rasional dan Empiris. Normatif bersumber pada kitab dan hadist, Rasional pada ilmu-ilmu yang menguatkan keilmuan itu, seperti filsafat, sains, fiqih, antropologi, astronomi, fisika dan lain sebagainya. Sedangkan empiris melihat realitas yang terjadi dan ini bisa dilihat pada sejarah dan pergerakan.

Pada konsep keilmuan diatas tidak akan diperoleh jika tidak menggunakan teori ataupun karya-karya ilmiah. Tentunya ini hanya diperoleh dari buku. Inilah yang menjadi realitas sejarah, bahwa peradaban keilmuan itu hanya dibentuk dengan kesadaran keilmuan, bukan kesadaran politik.

Dalam sejarah turunnya wahyu, tentunya sangat gampang mengatakan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, terbukti wahyu pertama pun diturunkan dengan konsep membaca, bukan ibadah. Karena dasar seluruh ilmu itu hanya dengan membaca, membaca buku, kitab atau bahkan membaca fenomena lingkungan. Bayangkan ketika wahyu pertama itu yang diturunkan adalah mengenai ibadah, tentunya sangat tidak menyenangkan menjadi beragama, karena tak menjunjung tinggi keilmuan, sedangkan ibadah itu pun harus menggunakan ilmu. Maka ilmu adalah tonggak sisi peradaban yang paling tinggi.

Bukan hanya dunia Islam, sudah jauh dari peradaban dunia ini tercipta budaya membaca sudah muncul dan eksis. Bagaimana peradaban persia, Yunani, serta Romawi kuno menjunjung tinggi keilmuan, bahkan para filsuf banyak lahir dari peradaban itu. Lalu, dalam sejarahpun sebejat-bejatnya Firaun pun dia mempunya perpustakaan yang luas untuk kerajaannya.

Apa yang dapat kita pelajari, bahwa jika ingin beradab maka hargai ilmu, dan perjuangkan keilmuan itu. Lantas apa hubungan kajian diatas dengan konteks mahasiswa saat ini. Penulis hanya ingin mengatakan, kebobrokan dunia mahasiswa dan birokrasi hingga sistem kepemimpinan yang notabenenya dilahirkan dari mantan-mantan mahasiswa adalah dikarenakan lemahnya pemahaman keilmuan dan peradaban.

Mahasiswa saat ini terkooptasi dengan pemikiran instan tanpa mau belajar dan memperbaiki literasi. Lihatlah, berapa banyak mahasiswa yang malas membaca, berapa banyak mahasiswa yang senang hura-hura. Atau berapa banyak mahasiswa yang sekedar menjadi alat untuk kepentingan kaum elit. Mahasiswa yang disebut kritis itu bukan yang sering berdemo tanpa esensi, tapi mahasiswa yang kritis itu mampu mengatakan tidak pada feodalisme, pragmatisme, nepotisme, dan kezaliman para elitis. Bukan senang duduk-duduk dengan mereka dan memikirkan transaksional kedepannya bagi dirinya.

Mahasiswa memang sudah membaca, tapi tak pernah mau membaca apa itu moral, tak ingin tahu konsep ketuhanan yang hakiki, maka ketika aksi dan demosntrasi minin esensi, selalu ada transaksi pada mereka kaum elit. Maka kapan akan terbentuknya peradaban yang baik jika mahasiswanya ikut berkomplot pada “penyamun” berdasi.

Ini akibat kesombongan mahasiswa pada kaum proletar, mahasiswa sebenarnya pada era setelah reformasi tidak pernah memperjuangkan apa-apa lagi karena habis sudah proyek perjuangan bernegara, maka hasil bacaan seperti buku-buku Tan Malaka, Soe Hok Gie, Che Guevara, Karl Marx dan buku-buku pergerakan lainnya, hanya dijadikan alat alasan untuk pemantik pergerakan saja, bukan untuk memang benar-benar memperjuangkan hak-hak rakyat.

Maka disini penulis menyatakan matinya nalar logis mahasiswa saat ini dikarenakan matinya jiwa intelektualitas dalam ranah pemikiran. Banyak mahasiswa begitu sombong pada buku, hingga hanya mau bergerak tanpa membaca. Inilah pernyataan “sampah” yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang mahasiswa, karena sejatinya mahasiswa agent of change, tapi sekarang mahasiswa lebih mirip agent of elit, perpanjangan tangan kaum elit dan penguasa demi memuluskan niat bejat mereka.

Adalagi mahasiswa apatis, yang menganggap tak penting lagi apapun kejadian di masyarakat, bahkan hanya memikirkan nilai-nilai kosong dari kelas. Padahal nilai-nilai itu ada di rakyat, bukan di tangan seorang dosen.
Padahal hanya ilmu lah yang akan membentuk peradaban yang baik, jika mahasiswa merindukan peradaban yang besar tanpa penindasan, maka mulailah dengan membaca.

Maka, penulis berpesan. Tak akan ada lagi Jibril yang akan memelukmu erat dan memaksamu membaca, tapi yang ada adalah peluk erat dirimu sendiri sampai engkau susah bernapas, lalu tamparlah dirimu agar kamu sadar, bahwa tak akan yang bisa kau ubah jika engkau tak berilmu. Maka, Wahai Mahasiswa, Bacalah !!

Penulis: Januari Riki Efendi, S.Sos (Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pemikiran Politik Islam UINSU dan Pegiat Literasi).

- Advertisement -

Berita Terkini