Moderatisme Kebablasan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Moderat artinya mengambil jalan tengah, biasanya konsep ini sangat baik diterapkan ditengah-tengah masyarakat yang plural seperti di Indonesia saat ini. Moderat sejatinya adalah ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, baik berhubungan kepada masyarakat berbeda suku ataupun berbeda agama.

Konsep moderatisme ini mulai muncul dan terealisasi dengan di cetuskannya piagam madinah kala itu. Piagam Madinah sendiri diakui sebagai piagam yang pertama kali menguatkan sistem kenegaraan dan sistem yang menjaga pluralisme ditengah-tengah keberagamaan di suatu negeri.

Konsep moderat adalah hal yang lumrah, dan setiap orang terutama umat Muslim diajarkan untuk bersikap moderat kepada sesama manusia. Sebenarnya tulisan ini berkenaan dengan sikap-sikap masyarakat muslim dan elitis yang kadang bersikap kebablasan dalam memahami moderatisme.

Dalam dunia politik atau elitis negeri ini bersikap terlalu toleran dalam hal-hal kebijakan. Dalam bidang perekonomian misalnya, negeri ini terlalu moderat terhadap tiongkok dan membiarkan tenaga asing masuk kenegeri ini tanpa filter yang jelas.

Lalu lihat saja bagaimana lembeknya rezim ini terhadap pencuri-pencuri ikan di Natuna. Entah karena sudah terlalu bergantung atau apalah namanya. Lalu ada juga kasus penghinaan presiden yang dilakukan oleh anak keturunan Tiongkok, rezim bilang, cuma bercanda. Bayangkan jika yang melakukan rakyat berlobe dan tamatan santri, pastilah habis sudah rezim ini mencari-cari latar belakangnya. Inikah yang disebut moderat? Moderat kepada “cukong” dan kejam kepada rakyat?

Juga bagaimana moderatisme ini berlaku dalam hal hukum, hukum hanya milik mereka yang berkuasa, selebihnya hanya akan dikuras dan dipersulit. Moderat bagi penguasa dan kejam bagi rakyat biasa? .

Dalam hal stigmatisasi agama, kaum Islam taat lah yang tak pernah mendapat sikap moderat dari pemerintah, seperti kemarin telah dilarang bercadar, celana cingkrang karena itu dianggap representasi islam garis keras dan berpotensi teroris. Lalu bagaimana dengan wanita-wanita dikantoran yang menggunakan celana pendek dan pakaian ketat? Pemerintah tak ada masalah, karena ini enak dipandang. Hmm. Bukankah agama mengajarkan moral berpakaian, kenapa terlalu mempermasalahka ekspresi beragama? Sedangkan pakaian amoral dibolehkan saja.. Ini juga atas nama moderatisme.

Lalu penulis juga kurang menyukai konsep-konsep menyamakan agama dengan agama yang lain itu sama saja. Memang perayaan Natal dan Tahun baru sudah berlalu, tapi ini masih menggelitik penulis untuk menganalisis lebih dalam problematika keummatan saat ini. Penulis tidak masuk dalam ranah boleh atau tidak mengucapkan selamat natal dan tahun baru bagi umat muslim kepada non-muslim. Tapi yang peneliti kritik sikap sosial keagamaan yang kebablasan.

Penulis sebagai umat Muslim tidak melarang umat muslim lainnya untuk memasuki gereja, atau tempat ibadah lainnya. Karena Umar bin Khattab dan Aki bin Abi Thalib pun pernah memasukinya. Tapi yang ingin penulis jelaskan adalah, jangan mencampuradukkan akidah dalam hal perayaan. Banyak umat muslim yang ikut merayakan natal di gereja bahkan dengan sholawat dan tarian-tarian islami. Bukankah tak pernah diajarkan oleh pandahulu-pendahulu umat Islam dalam hal ini? Bahkan Nabi dan sahabat tak pernah mencontohkan.

Nabi Muhammad Saw, hanya bersabda tak boleh kita mengganggu ibadah umat lain, barangsiapa yang mengganggunya maka dia bukan dari umat Nabi, bahkan tak akan mampu mencium bau surga. Lalu, bagaimana mungkin umat Islam saat ini ikut berpartisipasi dalam hal perayaan, Inikah namanya moderatisme?

Seharusnya Gereja dan rumah ibadah lainnya itu dilindungi, dijaga, bukan ikut untuk ke dalamnya merayakan. Toh memasuki gereja pun karena ada satu hal yang memang mengharuskan, seperti jika gereja itu membutuhkan bantuan ketika banjir bandang misalnya, warga sekitar baik muslim atau tidak wajib ikut membantu membersihkan. Lalu tetangga nasrani kita mengundang kepesta pernikahan yang dilakukan di gereja, tentu kita boleh-boleh saja hadir dan datang, asal dengan ketentuan-ketentuan syariat yang benar, juga banyak sebab yang membolehkan asalkan tidak mengganggu akidah kita sebagai umat Islam, karena begitu sensitifnya dalam hal perayaan dan ritual agama lain jika dicampuri oleh agama Islam.

Moderatisme kebablasan ini akan sanfat berbahaya bagi Indonesia. Karena Indonesia yang majemuk memiliki keunikan dalam agama dan suku. Ini harusnya dijaga dan saling menguatkan. Rasul mengajarkan moderatisme sebagai pilar untuk jalan pertengahan ketika bergaul dengan yang berbeda baik dalam suku dan agama. Tentunya di dalam pemerintahan pun Rasul tak pernah bersikap moderat bagi pelaku-pelaku kejahatan.

Dari sinilah penulis merasa mengambil kesimpulan bahwa sikap-sikap moderat itu sangat dibutuhkan, tapi bukan yang kebablasan. Haruslah sesuai dengan aturan agama dan bernegara. Negeri ini sudah memiliki konsep Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, ini yang menjadi penguat dalam sistem ketatanegaraan. Sekali lagi, mari bersikap moderat. Tapi jangan bersikap kebablasan.

Penulis: Januari Riki Efendi, S.Sos (Mahasiswa Pascasarjana jurusan Pemikiran Politik Islam UINSU dan Pegiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini