Dialog Kader HMI dengan Mahasiswa Ateis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Alkisah, duduk dua aktivis mahasiswa di tempat biasa mereka ngopi. Mahasiswa pertama, sebutlah namanya Bogel, dan mahasiswa kedua, sebutlah namanya Tongat.

Bogel dan Tongat sudah bersahabat cukup lama, sejak mereka masuk kuliah. Mereka satu fakultas dan jurusan. Akan tetapi, walau satu fakultas dan satu jurusan, pilihan organisasi mereka berdua berbeda. Bogel memilih aktif di HMI, sedangkan Tongat aktif disebuah organisasi yang banyak orang bilang berhaluan kiri.

Walau mereka berbeda organisasi, hal itu tidak pernah membatasi mereka. Walau mereka beda keyakinan; satu yakin dan yang satu lagi tidak yakin, mereka tetap bisa ngopi sambil berdiskusi.

Sama seperti biasanya, saat mereka ngopi, banyak hal yang mereka bicarakan. Dari hal-hal yang ringan hingga yang berat.

“Gel, aku mau nanya lah ini samamu.” Mulai Tongat setelah menyeruput kopinya sambil menyulut sebatang rokok.

“Hmm.” Jawab Bogel cuek sambil mengutak-atik hpnya.

“Dengarlah aku ngomong.”

“Iya, aku dengar.”

“Ah, kau fokus kali sama hpmu.” Tangan Tongat dengan cepat merampas hp Bogel. Akan tetapi, kecepatan itu sudah terbaca Bogel. Alhasil, hp itu tetap utuh di tangan Bogel. “Gel…”.

“Iya, aku dengar.” Suara keras Bogel. Serasa sudah mengetahui seperti apa pertanyaan Tongat.

“Baiklah, kalau kau dengar. Coba jawab pertanyaanku ini.”

Bogel hanya melihat sebentar kemudian fokus lagi dengan hpnya. Mungkin Bogel lagi ngebucin via chat WhatsApp.

“Gel…”

Bogel diam saja.

“Gel…”

Belum lagi hilang gelombang suara Tongat, “Iya Tongat……”

“Jawablah pertanyaanku.”

“Apa yang mau kujawab. Pertanyaanmu aja blom ada.” Bogel tetap fokus ngebucin.

“Oh, iya ya. Aku belum mengajukan pertanyaan. Kan pertanyaan yang tak bisa dijawab itu adalah pertanyaan yang belum diajukan.” Tongat cengar-cengir malu.

“Hmm…” Bogel kemudian menarik sebatang rokok kemudian fokus lagi dengan ngebucinya.

“Ah, ngebucin aja kau. Gimana mau diskusi ini.”

“Pala kau ngebucin.” Protes Bogel. “Aku lagi baca ini.” Lanjutnya.

“Iya, baca. Baca chat adek itu.”

“Pala kau adek itu.” Bogel gondok.

“Berarti bukan adek itu. Kasian kali kau.”

“Kok, kasian?” Tanya Bogel.

“Jomblooo. Hahahaha.”

“Sukamu.” Bogel judes

“Kan dah kubilang dekati si….” Suara Tongat terpotong.

“Baaaacooot.”

“Hahahaha” Tongat tertawa terdahak-dahak. Mereka sempat menjadi iklan perhatian.

Bogel tetap buang muka dari Tongat.

“Ini aku serius, Gel. Aku mau nanya terkait kalian yang percaya sama rukun Islam. Yang rukun pertama, kalau tak salah itu bunyinya kira-kira bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.”

“Truss.” Tanggap Bogel tanpa menoleh.

“Maksudnya begini…”

“Kan kau juga pernahnya percaya itu dan waktu kecil kau hapal.”

“Iya, tapi dulu. Gak tau akan balik lagi ke sana.” Kata Tongat.

Melihat Bogel diam tidak menanggapi, Tongat meneruskan bertanya lengkap dengan rasionalisasinya. “Jadi begini.” Tongat membenarkan posisi duduknya. “Di kalimat itu kan ada kata bersaksi. Bersaksi itu kan apabila dilihat dan di dengar dengan mata kepala sendiri. Ini, bagaimana bersaksi bahwa Tuhan itu ada padahal tidak dilihat oleh mata kepala sendiri? Bla….bla….bla…”

Setelah Tongat selesai bertanya dengan rasionalisasi lengkap serta berbacot-bacot, Bogel meletakkan Hpnya di atas bungkos rokok aktivis, Surya (Suara Rakyat).

“Udah? Cukup?” Tanya Bogel.

Tongat ngangguk-ngakguk.

“Penafsiran bersaksi dalam keyakinan itu tidak harus seperti bersaksi sebagaimana dalam pengertian biasa atau dalam hukum.”

“Trus?”

“Kalau aku jawab nanti pake ayat-ayat Qur’an yang lain nanti, pasti kau tak puas.” Jawab Bogel.

“Ya, itu kan untuk kalian. Aku tak puas dengan itu.” Tegas Tongat.

“Gini aja ngat.” Bogel menyeruput kopinya. “Aku mau tanya samamu, Ngat.”

“Kok malah kau yang nanya?”

“Mau jawaban yang memuaskanmu gak ini?”

“Oke…oke… Kau mau nanya apa?” Tongat tak bekutik.

“Kau yakin gak dengan Papa sama Mamamu bahwa mereka berdua orangtuamu dan kau anak mereka?”

“Yakinlah, cemmananya kau.”

“Yakin?” Bogel memastikan.

“Seribu kali itu aja pertanyaanmu pasti jawabannya tetap sama.”

“Oke, mantap.”

“Kok, mantap?” Kening Tongat pun berkerut mengalahkan jeruk purut.

“Nah, karena kau yakin bahwa kedua orang tadi adalah orangtuamu dan kau yakin bahwa kau adalah anak mereka, aku mau nanya.” Bogel lagi-lagi menyeruput kopinya hingga tetes terakhir sebelum mengajukan pertanyaan. “Kau saksikan gak saat mereka membuatmu atau merencanakanmu. Bagaimana gayanya, berapa lama waktunya, di mana tempatnya, dan bagaimana mana sensasinya?” Bogel sedikit tersenyum.

Tongat diam seribu bahasa. Ia tahu kemana arah dan apa maksud dari pertanyaan Bogel itu. Bogel kembali meraih hpnya. Tongat menyantap gorengan yang sudah lama terhindang.

Tidak semua yang disaksikan harus dilihat dengan mata kepala sendiri. Bersaksi adanya Tuhan, landasannya adalah keyakinan dan atau keimanan. Tidak perlu pengujian secara empiris, sebagaimana Tongat menginginkannya; persaksian yang langsung di lihat oleh mata.

Semoga cerita di atas dapat dipahami dan bermanfaat. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan. Terimakasih.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Litetasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini