Menghargai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Islam sangat menghargai budaya lokal. Karenanya, banyak kekhasan yang dimiliki sejumlah daerah yang kian memperkaya khazanah Islam itu sendiri.

Para ulama dulu sudah membahas tentang lokalitas pendapat. Misalnya, kita tahu dengan tafsir al-Qurthubi. Al-Qurthubi itu sebetulnya nama dari kota dari Cordoba di Spanyol. Karena beliau itu tinggalnya di kota Cordoba, maka diarabkan menjadi Qurthubi.

Jadi tafsir Al-Qurthubi itu sebetulnya tafsir Cordoba. Jadi nama beliau itu di belakangnya ditulis nama daerahnya.

Salah satu kebiasaan ulama klasik adalah mengasosiasikan diri mereka dengan daerah asal atau tinggalnya. Jadi, hal biasa kalau para ulama klasik itu mengasosiasikan diri dengan daerahnya tinggal.

Ulama-ulama Indonesia yang turut mengasosiasikan dengan daerah asalnya adalah seperti apa yang dilakukan oleh Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi al-Bantani, dan masih banyak lagi.

Kota-kota yang disebutkan di belakang nama para ulama tadi kalau digabung itulah namanya “Nusantara”.

Para ulama dalam kitab fiqih klasik biasanya mengasosiakan diri mereka mulai dari mazhab, teologi, hingga daerah. Baca saja kitab-kitab klasik, nanti akan disebut namanya, kemudian mazhabnya, kemudian teologinya, baru kemudian disebut daerahnya.

Nah, merupakan hal biasa ketika mengasosiasikan sebuah pemikiran dengan lokalitas.

Kenapa ini semua terjadi?
Karena memang sejak awal masalah lokalitas atau adat setempat itu diperhitungkan dalam Islam.

Banyaknya penceramah yang kerap membahas masa-masa jahiliyah sehingga muncul pandangan bahwa apa saja yang berasal dari masa jahiliyah itu adalah hal yang jelek. Hal ini tidak bisa dibenarkan jika mau menilik pada tarikh tasyri’.

Ketahuilah bahwa tidak semua hukum-hukum maupun tradisi jahiliyah itu dihapuskan oleh Nabi Muhammad. Tradisi yang baik diterima, bahkan diadopsi.

Jadi sejak awal Nabi Muhammad hadir itu tidak anti terhadap “lokalitas daerah”.

Selain itu, saat ini masih banyak orang yang menganggap harus mengikuti contoh dari Nabi dan para sahabat di Madinah dan tidak boleh dari yang lainnya. Hal semacam ini sudah pernah dibahas oleh para ulama terdahulu, sebab perbedaan lokasi dan tempat tinggal turut menentukan perbedaan istinbath hukum.

Jadi kalau sekarang ulama’-ulama’ NUsantara punya tradisi “bahtsul masail” yang kemudian mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan yang lain karena mempertimbangkan lokalitas, ya tidak perlu heboh karena para ulama terdahulu sudah berdebat karena hal itu.

Begitu pula tradisi yang ada di suatu daerah. Imam Syafi’i juga menggunakan budaya atau ‘urf’ untuk menentukan hukum dari suatu permasalahan yang ada. “Al-adah muhakkamah” yang berarti semua adat istiadat bukan hanya diterima, tapi juga bisa menjadi sumber hukum.

Keunikan dari cara dakwah ulama’ dalam menyebarkan Islam di Nusantara bisa dibilang santai (Damai, bro!!) Nggak usah narik-narik otot, mata melotot, menghina, mencaci maki, menghujat dan mengecam sesuatu yang dianggap berbeda, namun langsung mengena sehingga mudah diterima masyarakat.

Dakwah para penyebar Islam di lndonesia itu santai. Mereka tidak merasa sedang berada ditempat ‘dakwah’, tabligh akbar, majelis taklim atau sejenisnya, namun mengikuti arus dengan merubahnya pelan-pelan tapi pasti.

Orang-orang kampung diajak kendurenan, diajak ngopi, yang sakit dijenguk dan di “suwuk”. Meskipun terlihat hanya seperti ngobrol, ngopi, kenduren, tapi hasilnya nyata. Masyarakat langsung merasakan hasilnya dan damai-damai saja.

Siapapun yang ketika berdakwah tidak mau dan tidak mampu mengerti akan “rasa dan budaya”, sebetulnya membuat jalan hidayah bagi objek dakwah menjadi tertutup.

Ulama’, ustadz atau siapapun yang dakwah tidak mengerti kultur, rasa, dan budaya, sebetulnya merekalah sendirilah yang menjadi hijab bagi turunnya hidayah, dan inilah sebetulnya penyebab orang non Muslim justru menjadi Islamophobia.

“Al-Islam mahjubun bil Muslimin dalam artian Islam terhalang dakwahnya penyebabnya karena perilaku sebagian umat Islam itu sendiri.

Atas dasar itulah, cara dakwah NUsantara selalu menjaga keharmonian antara tiga elemen, yakni keislaman, kemanusiaan (basyariyah), dan kebangsaan (wathaniyah).

Selain menjaga keharmonisan dalam hal tersebut, dalam berdakwah juga dengan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sebab jika keadaan suatu negara dalam keadaan tidak stabil, dakwah agama juga akan terganggu.

Berislam dengan cara yang bisa mengancam keutuhan bangsa, berislam dan berdakwah dengan cara yang bisa membahayakan kedaulatan negara itu bukanlah pilihan yang bijak. Sebab jika negara sampai ruwet, agama juga akan ruwet.

Substansi agama adalah ketulusan. “Ad-din an-nashihah”. Yang bukan ketulusan itu dagelan, yang bukan ketulusan itu hanya sandiwara.

Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
??☕

#Mengkaji
#BersamaMawar

Penulis : Hindun Shalihah

- Advertisement -

Berita Terkini