Tahun Baru

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Waktu terus mengalir dan tanpa terasa kitatelah sampai di ujung waktu dan perpisahan itupun tak mampu dielakkan lagi.

Waktu pergantian tahun masehi untuk kesekian kalinya telah ada di pelupuk mata.

Detik menuju menit, jam, hari, bulan, hingga tahun senantiasa bergerak maju yang berarti semakin bertambah pula usia kita.

Memang, polemik tahunan kembali beredar di setiap detik-detik menuju pergantian tahun baru masehi.

Muara polemiknya fatwa hukum yang simpang-siur antara kubu yang mengharamkan dengan yang membolehkan peringatan tahun baru Masehi.

Sebagai pertimbangan sebelum memilih fatwa hukum, perlu diurai tiga ‘benang kusut’ yang tampaknya menjadi penyebab pro-kontra fatwa.

Benang kusut pertama:
Asumsi kata ‘Masehi’ dengan Yesus, sehingga tahun Masehi dipandang sebagai tahun Kristen.

Kata Masehi ini didukung bukti historis bahwa kelahiran Yesus dijadikan landasan penetapan tahun 1 Masehi, yang pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM.

Asumsi ini identik dengan asumsi bahwa pohon cemara sebagai pohon natal.

Implikasinya, ketika asumsi bahwa Yesus melekat pada kata ‘Masehi’, maka fatwa hukum yang dikeluarkan adalah haram merayakan tahun baru Masehi, karena dinilai tasyabbuh (menyerupai) agama lain.

Benang kusut kedua:
Jika asumsi tersebut dihilangkan sebagaimana kasus pohon cemara bukanlah pohon natal, meskipun digunakan sebagai pohon natal, maka fatwa hukum yang dikeluarkan adalah boleh merayakan tahun baru Masehi.

Perlu dipahami juga bahwa pohon tidak beragama. Maka pohon Cemarapun tidak beragama. ??

Persoalannya sederhana, perhitungan tahun hanya ada dua model.

? Pertama:
Kalender Matahari yang didasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi).

? Kedua:
Kalender Bulan yang didasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan).

Kalender Matahari dianut Tahun Masehi, sedangkan Kalender Bulan dianut Tahun Hijriah.

Pada dasarnya, pembagian waktu merupakan sebuah konsep abstrak yang diciptakan oleh manusia dengan menghitung perputaran bulan dan matahari dari hitungan detik, menit, jam, sampai dengan hitungan milenium yang berdurasi 1000 tahun.

Dalam tradisi berbagai agama, waktu tertentu terkait dengan berbagai perayaan dan ritual yang biasanya telah ditetapkan dalam waktu tertentu seperti pelaksanaan puasa dan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.

Konsep waktu dalam masyarakat industri dan jasa berguna untuk menghitung produktifitas yang dicapai.

Karena itulah, waktu dikatakan sama dengan uang.

Dalam perspektif manajemen, rentang waktu digunakan untuk membuat perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi serta target yang ingin dicapai.

Umat Islam memiliki kalender Hijriyah yang didasarkan pada perputaran bulan untuk menentukan pelaksanaan berbagai peribadatannya. Sementara itu, Indonesia menggunakan kalender Gregorian atau Masehi yang berakar dari tradisi Barat untuk menentukan berbagai aktifitas kegiatan pemerintahan resmi. Karena itu, di Indonesia terdapat dua kali peringatan tahun baru, yaitu 1 Muharram dan 1 Januari.

Dua-duanya merupakan hari libur nasional.

Masyarakat menyikapi dua peringatan ini dengan cara yang jauh berbeda. Tahun baru Hijriyah diperingati dengan menggelar berbagai pawai keagamaan, dzikir, atau doa bersama sementara peringatan tahun baru Masehi selalu identik dengan hal-hal yang sifatnya hura-hura.

Meskipun pada awalnya peringatan tahun baru 1 Januari juga terkait dengan sebuah tradisi keagamaan di Barat, tetapi kini di Indonesia dan banyak tempat lain di dunia, peringatan ini telah mengalami sekulerisasi.

Bahkan, telah banyak melanggar nilai-nilai agama secara umum seperti pesta mabuk-mabukan atau indikasi meluasnya seks bebas pada malam tahun baru itu.

Sekalipun awalnya peringatan tahun baru Masehi hanya diperingati terbatas di perkotaan atau kalangan tertentu, kini gaung peringatan tahun baru 1 Januari semakin meluas ke seluruh penjuru negeri dengan kampanye besar-besaran oleh industri hiburan terutama melalui stasiun TV.

Sesungguhnya para pemilik modal berusaha mengkapitalisasi berbagai perayaan, baik yang sifatnya keagamaan atau nonkeagamaan untuk mereguk keuntungan.

Dalam perayaan tahun baru, mereka juga berusaha menjual kemeriahannya. Sayangnya banyak yang kegiatan yang dijual ini tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan keagamaan. Bagi banyak pengusaha, yang paling penting adalah keuntungan.

Di luar itu, bukan urusan mereka. Kelompok bisnis dan industri tertentu berusaha memanfaatkan momentum peringatan tahun baru ini untuk memaksimalkan keuntungan. Industri minuman keras dengan berbagai cara mengajak masyarakat untuk menikmati tahun baru dengan mabuk-mabukan sebagai bentuk ekspresi kemeriahan.

Industri hiburan mengajak masyarakat berbondong-bondong ke lokasi tertentu, tentu dengan membayar uang, untuk menikmati hiburan selama liburan.

Fenomena dan tantangan ini sesungguhnya bukan hanya terkait dengan Muslim tetapi juga terkait dengan ajaran agama lain.

Ajaran moral dan agama samawi melarang adanya perzinaan dan mabuk-mabukan atau hura-hura secara berlebihan.

Inilah yang menjadi keprihatinan para ulama. PBNU meminta agar peringatan tahun baru menjadi sarana untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri.

Bersambung…

Penulis adalah Hindun Shalihah

 

- Advertisement -

Berita Terkini