Demi Kepentingan, Lahan Agama Ditumbalkan Penguasa Hipokrit

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Lhokseumawe – Tentu, Kebebasan praktik ber-Agama menjadi cita dari setiap visi negara manapun, demi menciptakan Negara yang kondusif yang berkeadilan tanpa memihak bahkan mendiskreditkan.

Sebagaimana manusia hendak mendaki gunung, mencapai puncak itu adalah tujuan, maka dibebaskan memilih cara dan upaya manapun asal tujuan sampai dengan selamat.

Dengan begitulah, Tuhan membebaskan Manusia memilih kepercayaan/keyakinan manapun untuk menuju Tuhan, namun tak bisa dikesampingkan, bahwa Tuhan Juga telah memberikan kisi-kisi keyakinan mana yang bisa selamat dan berhasil mencapai-Nya.

Menurut Prof. Dr. Quraish Syihab (Ulama Terkemuka Indonesia/Pakar tafsir Al-Misbah) mengatakan Perbedaan-perbedaan itu adalah keniscayaan, itu adalah rahmat Tuhan.

Menurutnya, dalam perbedaan-perbedaan tersebut, Islam mengajarkan sebuah prinsip yang disebut dengan kalimatun sawa. Prinsip tersebut merupakan titik temu sehingga satu sama lain bisa bekerja sama.

Tak hanya berbeda antara agama 1 dengan lainnya, bahwa dalam lingkup agama satu, didalamnya juga terdapat perbedaan satu sama lain, contohnya : Agama Mayoritas di Indonesia (Islam Misalnya) yang Rasulullah SAW sendiri menjelaskan didalamnya ada perbedaan, yang kita ketahui bahwa dalam Islam ada 4 madzhab yang populer masing masing punya pemahaman nya sendiri namun tetap di landaskan dalam Al-quran dan Sunnah.

Justru, perbedaan yang ada dalam Islam itu memang telah di paparkan oleh Allah dan Rasul-Nya, namun tetap sesuai aturan dan tuntutan, karena sejatinya perbedaan itu adalah Rahmah.

Namun perbedaan itu seolah di ciderai dan di patahkan, yang mana Baru baru ini ada surat edaran oleh salah satu Pemerintah Daerah di salah satu provinsi yang dikenal Arif dan cinta toleransi, surat edaran itu berisikan larangan mengadakan pengajian selain dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber dari hukum Mazhab Syafi’iyah.

Pastinya, Surat edaran ini memicu adanya intoleransi antara paham satu dengan yang lainnya, bahkan menjadi indikator perpecahan dalam internal agama itu sendiri.

Moral dan etika seorang pemimpin disini patut di pertanyakan, saat banyak nya masalah ekonomi dan sosial di satu daerah itu, dari masalah pengadaan Rumah fakir miskin, pembelian transport yang bukan prioritas rakyat dan lainnya, tapi malah dirinya bersembunyi di balik surat edaran itu yang dinilai mencuri hati umat.

Ini bagian dari hipokrit, atau biasa disebut dengan hidup dalam kepura-puraan demi meredam gejolak rakyat soal permasalahan daerah itu sendiri.

Hipokritnya, kompetensi yang seharus nya di lakukan tapi tidak dijalankan, yang menjadi tugas dan wewenang para Majelis Ulama malah ia lakukan, yang justru kebijakan Surat edaran (SE) justru memperkeruh sesama rakyat dan umat ber-Agama.
Sungguh, pemimpin seperti ini tega mempropaganda rakyat nya sendiri.

Penilaian yang timbul, seyogyanya agama hadir memberikan jaminan keamanan melaksanakan ibadah, justru edaran itu menimbulkan kegaduhan di hati umat.
Sungguh lahan Agama dijadikan instrumen penguasa, demi melindungi diri dari masalah dan gejolak yang ada.

Aturan, pada dasarnya memberikan jaminan keadaan (Nicholo Machiavelli dalam bukunya ‘Politik kerakyatan’), tapi aturan melalui surat edaran itu justru merusak ketenteraman, yang bahkan bisa di anggap sebagai cara menumbalkan agama, demi meredam masalah.

Rakyat yang minoritas takut mengkritik edaran itu, pasti mendapat
Kecaman dari pengikut madzhab A (sebagai terbanyak) yang nanti di anggap tidak aswaja, atau wahabi yang bahkan di klaim bisa jadi Syi’ah.

Inilah yang dikatakan sebagai pemicu keretakan rakyat itu sendiri, akibat pemimpin salah masuk kamar, ambisi ambil kebijakan dibalik carut-marut nya permasalahan.

Surat edaran semacam itu pun dapat batal demi hukum, sebagaimana dalam azas hukum dikenal ‘lex superiori derogat legi inferior’ (Hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Dengan hal itu kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan interpretasi dari falsafah pancasila lebih tinggi dari aturan manapun di Indonesia ini, termasuk surat edaran itu.

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945).

Dan tidak ada alasan pemberlakuan surat edaran yang bersifat diskriminatif, apalagi hanya permasalahan yang khilafiyah, yang masing-masing punya alasan pembenar sesuai tuntutan imam Madzhab itu sendiri.

Di tulis oleh :
Arwan Syahputra
Mahasiswa Hukum, Unimal Aceh

- Advertisement -

Berita Terkini