Menyambut Tahun yang Baru, dengan Stok “Otak” Lama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tahun Baru Masehi (01/01/20) sebentar lagi akan di rayakan oleh berbagai kalangan, baik muda, ataupun tua, dengan berbagai latar belakang agama. Tahun Baru menjadi momen yang dinanti-nanti setiap orang dimuka bumi ini sebagai perayaan setahun sekali. Esensi Tahun Baru harusnya adalah Resolusi bagi mereka yang berpikir menggunakan nalar. Mengaktifkan “otak”nya untuk menjadi lebih baik kedepannya.

Nalar sendiri memiliki artian aktivitas pikiran yang bisa membedakan baik dan buruk, serta memilih pikiran yang baik ataupun positif untuk dijadikan landasan bertindak dan berperilaku. Kembali pada masalah Tahun Baru dan Resolusi. Resolusi adalah berisi janji-janji terhadap diri sendiri dengan memikirkan peningkatan apa yang harus dilakukan di Tahun mendatang. Inilah yang selalu dipikirkan orang pada akhir tahun demi kebaikan dirinya. Tetapi dari kebanyakan manusia yang merayakan “ritual” Tahun Baru, ternyata lebih banyak kaum Skeptisisme, yang hanya ingin merayakan malam Tahun Baru tanpa berpikir rumit soal hidup kedepan.

Inilah yang menjadi problematika di dalam diri umat manusia saat ini, terkhusus di Indonesia. Perayaan Tahun Baru hanya “ritual” terompet serta petasan juga layaknya kaum pagan yang bersorak-sorak menyembah api serta jam besar untuk dianggap begitu sakral pergantiannya. Penulis berpendapat dalam nalar dan logika yang benar, seharusnya perayaan Tahun Baru ini tidak terlalu penting dirayakan, bahkan tidak terlalu penting di anggap ada. Contoh : Kenapa harus merayakan Tahun Baru? kalau toh besok tingkahmu sama. Kenapa merayakan Tahun Baru? kalau toh negeri ini sama saja kebijakan politiknya. Kenapa harus ada Tahun Baru kalau nyatanya hanya malam Hura-Hura dan senang-senang semata?

Inilah permasalahan kebanyakan orang, semangat menyambut Tahun Baru dengan stok “Otak” lama, atau tak ada kemajuan dalam berpikir. Banyak pemuda menganggap Tahun Baru sebagai malam kesenangan semata, selepas itu Nothing. Pemerintah juga ikut-ikutan latah dengan memfasilitasi acara Tahun Baru, Presiden dan Kepala Daerah dimasing-masing tempat menyambut Tahun Baru bersama warganya dengan gegap gempita, ada konser, bazar dan lain sebagainya. Lalu apa? Tidak ada.

Jika berbicara resolusi pun, tak perlu menunggu pergantian. Setiap orang harus melakukan hal-hal baik setiap bergantinya hari. Dan setiap perubahan bulan dan waktu. Fenomena Tahun Baru pun tidak menyisakan moral yang baik bagi anak bangsa, banyak perzinahan, Narkoba disana-sini, minuman keras serta perilaku-perilaku amoral dilakukan dalam satu malam. Inikah hal yang dianggap Tahun Baru menyambutnya dengan tingkah yang membuat Tuhan marah? Ini kriteria yang “Otak”nya masih belum baru.

Otak yang baru adalah mampu menalar perilaku baik dan buruk, dan memilih yang baik. Jika setiap otak orang yang merayakan Tahun Baru ini juga ikut Baru, maka tak ada lagi perayaan sekedara Hura-Hura, tak ada lagi Perzinaan, Narkoba maupun Minuman keras. Juga jika otak pemerintah yang “latah” ikut memfasilitasi malam Tahun Baru terbaharui tentunya kebijakan-kebijakan kedepan lebih baru, dan tak ada lagi ketimpangan antara si miskin dan si kaya. Kesehatan Murah, serta pendidikan gratis. Ternyata otak pemerintahlah yang paling keras membatu tak mau berubah kearah yang baru.

Inti dari tulisan yang penulis tulis, adalah tak apa merayakan Tahun Baru asal dengan kesederhanaan, menganggap malam Tahun Baru itu sama seperti malam-malam lainnya hanya perbedaannya adalah perubahan Tahun saja, hingga harus ada peningkatan di Tahun Mendatang. Setiap orang pasti memiliki Resolusi, maka jalankan resolusi itu, konsisten.

Berhenti menganggap Tahun Baru itu malam hura-hura serta pesta, itu bukan bentuk peradaban yang baik. Tapi hanya akan menghancurkan peradaban kedepannya. Malam Tahun Baru harusnya diisi dengan tangisan, karena memikirkan dosa baik dosa individu ataupun dosa pemerintah kepada rakyatnya, dan berjanji untuk memperbaikinya di tahun mendatang. Pergilah ke Masjid, untuk berdzikir, pergilah ke altar gereja untuk meminta damainya Yesus, memohonlah pada Budha serta Krishna di Vihara maupun Kuil untuk meratapi dosa-dosa sembari memikirkan reinkarnasi buruk yang terjadi jika menyia-nyiakan hidup.

Inilah bentuk “Otak” yang terbaharui, meratap pada Tuhan, dimasing-masing agama. Bukan hura-hura dan melakukan dosa dalam satu malam. Jika ritual hura-hura itu menjadi patokan dalam menganggap kesuksesan malam Tahun Baru, bagaimana perasaan Tuhan yang engkau sembah yang tak suka hambaNya berlaku dosa? Mari renungkan, tangisi dan bermuhasabah. Tahun Baru adalah Tahun dimana merubah pola tingkah laku dan perbuatan bukan hanya satu hari, seminggu atau sebulan. Tapi untuk setahun penuh bahkan untuk selamanya. Mari upgrade “otak” anda yang lama dengan “otak” anda yang baru.

Penulis : Januari Riki Efendi, S.Sos
(Mahasiswa Pascasarjana UINSU Jurusan Pemikiran Politik Islam dan Pegiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini