Secangkir Kopi Untuk Semangat Literasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sudahkah teman-teman pembaca minum kopi hari ini? Sudah. Mantap, pasti sudah kamu temukan kenikmatan setiap kali menyeruput. Yang belum, silahkan seduh, atau pesan di kafe terdekat biasa kamu nangkring.

Mungkin banyak teman-teman pembaca bertanya mengapa aku selalu menulis tentang kopi atau selalu ada kopi…kopi…kopi…pokok e kopi.

Sebenarnya ingin sih menulis banyak tentang politik, seputar olahraga, seputar musik, seputar gosip-gosip hari ini dan atau bidang-bidang lainnya. Tapi, kemampuanku belum mencukupi untuk menuliskannya. Jika pun ada, itu masih sederhana sekali. Belum terlalu dalam, seperti dalamnya hatiku padamu, kopi.

Perlu teman-teman ketahui bahwa aku bukanlah ilmuwan kopi, seorang Barista atau seorang pengusaha kopi. Bukan, aku bukan semua itu. Aku hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kopi yang aku baca dari berbagai literatur. Selebihnya adalah kecintaan pada kopi, jadilah aku seorang kopiphilia (pecinta kopi) juga seorang penikmat kopi.

Jika kita bahas-bahas pengetahuan tentang kopi, bukan pada ilmu budidaya kopi, bukan pula tentang kopinya itu sendiri, tapi tentang historisisme kopi itu se alur dengan perjalanan peradaban umat manusia. Histori kopi ini jangan hanya dipandang secara komoditas saja. Histori kopi tidak lepas dari bagaimana literasi di dunia.

Dalam dua pendapat, kopi ini ditemukan 3000 tahun yang lalu atau sekitar tahun 1000 SM. Ditemukan di benua Afrika oleh Bangsa Etiopia. Pendapat kedua mengatakan, ditemukan di Yaman oleh seorang ulama pada abad ke-8 M. Terlepas tahun berapa sebenarnya kopi ditemukan, kita tarik kesimpulan bahwa kopi ini sudah lama ada seiring perjalanan peradaban umat manusia di berbagai tempat.

Kopi jaman dahulu adalah kopi minuman para elit. Dikatakan elit bukan karena kaya, tapi hanya segelintir orang yang dapat menikmatinya. Di Eropa, diakibatkan karena harganya dibuat mahal. Di Timur Tengah, kopi ini banyak diminati oleh para ulama-ulama untuk menguatkan zikir di malam hari, dan berpikir serta menjadi teman saat berdiskusi tentang banyak hal.

Panjang sekali jika kita kaji-kaji tentang sejarah kopi ini, dari Afrika hingga sampai di berbagai tempat hingga ada di daerah kita. Kopi ini pernah mengalahkan minuman bir sebagai minuman terfavorit di benua Eropa. Hingga sampai saat ini kopi menjadi komoditas tinggi diantara 50 komoditas lainnya.

Sedikit pengetahuan untuk kita, kata “Kopi” yang kita gunakan saat ini di Indonesia pertamanya berasal dari bahasa Arab Qahwah (baca:Qohwah) yang artinya kekuatan. Kenapa dikatakan kekuatan, karena kopi ini menuman yang berenergi tinggi.

Kemudian kata Qahwah ini berubah di menjadi “Kahveh” yang berasal dari bahasa Turki. Selanjutnya berubah menjadi “Koffie” dalam bahasa Belanda, “Coffee” dalam bahasa Inggris, “Café” dalam bahasa Perancis, “Kaffee” dalam bahasa Jerman, dan “Caffè” dalam bahasa Italia.

Jadi apa hubungannya kopi untuk semangat dalam dunia literasi? Sebagaimana judul tulisan ringan ini.

Ibarat makanan ringan, seperti gorengan, tidak nikmat rasanya pabila tanpa cabe atau sambel. Demikian pulalah dalam berliterasi, tidak nikmat tanpa kopi. Mengapa demikian?

Membahas sedikit tentang literasi, secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin; “Literatus”, yang artinya orang yang belajar, dan “Literacy” dalam bahasa Inggris. Nah, kita sebagai orang yang belajar, kopi sangat dibutuhkan agar daya tahan belajar kita kuat. Memang, ini tidak berlaku pada semua orang. Akan tetapi juga, pengakuan ini telah banyak didengar.

Sebagaimana dikatakan seorang ulama, Ibnu Tayyib. Ia mengatakan bahwa kopi sangat bermanfaat bagi seorang santri atau penuntut ilmu. Dalam tarikhnya yang berbunyi: “Kopi adalah penghilang kesusahan wahai pemuda / Senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari ilmumu / Kopi adalah minuman orang yang dekat dengan Allah di dalamnya ada kesembuhan bagi para pencari hikmah di antara manusia.”

Seiring dengan perkembangan peradaban kopi menjadi minuman para politisi, budayawan, sastrawan, wartawan, akademisi hingga pegiat literasi lainnya.

Pegiat literasi yang berhubungan dalam dunia baca, tulis-menulis serta budaya belajar lainnya tidak bisa melepaskan dari kopi. Setidaknya, “ngopi” menjadi judul bagi pegiat literasi walaupun nyatanya dia tidak minum kopi.

Sesar tidak sadar ini sudah menjadi budaya. Dalam kegiatan literasi kopi menjadi hal yang lumrah ditemukan. Bahkan saat ini, “Ngopi” telah banyak menjadi semboyan atau slogan dalam dunia pembelajaran atau literasi.

Literasi yang berhubungan dengan konteks kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung, hingga menyelesaikan masalah pekerjaan, keluarga dan masyarakat pada tingkat keahlian yang dimiliki. Dengan hal ini, kopi mennjadi minuman yang menjadi pendukungnya. Lagi-lagi, asumsi ini tidak kita berlakukan secara paksa bagi setiap orang. Akan tetapi, banyak hal ini kita temukan dalam masyarakat.

Berbicara serasa menjadi nikmat saat ngopi. Membaca serasa nikmat dan tahan lama saat minum kopi. Berdiskusi bertambah seru dengan adanya kopi. Menulis menjadi pekerjaan mudah dengan bantuan konsentrasi pikiran karena kopi yang merasuk ke dalam saraf-saraf pikiran kita. Pikiran penat menjadi ringan saat minum kopi. Ketika otak perlu inspirasi (kopi) kita butuh minum kopi.

Ketika tulisan sederhana ini nanggung dan teman-teman pembaca ingin lagi, lain kali kita lanjutkan. Kopi….mana kopi?

Salam literasi!
Seduh dan seruput kopimu kawan!

Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini