Uighur Merana, Muslimnya Kemana?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Akhir-akhir ini marak kembali berita mengenai Uighur. Masalah Uighur ini menjadi deretan episode genosida abad modern selain Palestina dan Rohingya. Bahkan pada (24/12/2018) tahun kemarin, Perwakilan dari Tiongkok melakukan pertemuan dengan salah satu Ormas besar di Indonesia dalam rangka menjelaskan pada Indonesia bahwa tidak ada pembantaian ataupun penyiksaan yang ada adalah penjara bagi orang-orang radikalis serta separatis yang mencoba melawan pemerintahan Tiongkok, yang dipimpin oleh Xi Jinping.

Sekilas memang berita itu seperti ada benarnya, karena ketika perwakilan Indonesia yang diwakili oleh salah satu ormas besar di Indonesia berkunjung ke kamp yang katanya tempat pembantaian serta penyiksaan, terlihat suasana yang berbeda. Dimana tempat itu seperti sekolah yang mereka sebut sekolah “deradikalisasi”.

Ketika wartawan berkunjung terlihat bagaimana wajah para “tahanan” yang tersenyum, dan para gadisnya menyuguhkan tarian kepada para tamu yang notabene adalah wartawan yang ingin tahu kebenaran tentang kamp penyiksaan itu.

Sekilas tampak masalah selesai, ternyata pemerintahan Tiongkok mempunyai i’tikad baik dalam menangkal radikalisme di negaranya, dengan membuat “sekolah” bakat untuk mereka-mereka yang “katanya” pernah terpapar radikalisme. Jika hanya mengacu media yang membangun frame “kebaikan” Tiongkok, maka kita akan hanya melihat sisi luar atapun fatamorgana dari apa yang sebenarnya terjadi.

Menurut pernyataan BBC ketika mereka ingin meliput lebih dalam mengenai kamp yang disebut “sekolah” tersebut, banyak penjaga yang mengawasi dan melarang. Bahkan sama sekali tidak mengizinkan para wartawan untuk meliput hingga ke sisi dalam. Belum lagi pernyataan Gulbahar Jelilova seorang pebisnis dari Kazakhstan yang bisnisnya mengharuskan dia untuk singgah ke Tiongkok dan kazakhstan, pernah ditahan oleh pemerintahan Tiongkok selama satu tahun, dan dipaksa menunjukan identitas Tingkoknya walau sudah dikatakan dia bukan warga Tiongkok, tetap ditahan pada tanggal 22 Mei 2017, dan dia menceritakan bagaimana proyek “Re-education yang dilakukan disana.

Bahkan muslim Uighur ditempatkan ditempat yang sempit berisi 40 orang dan ditempat itulah mereka makan, buang hajat serta tidak boleh melakukan berbagai kegiatan ibadah, bahkan 17 jam dalam satu hari mereka diwajibkan duduk untuk melihat ke satu arah, jika cctv memantau ada kepala yang melirik ke kiri atau kekanan, mereka dianggap sedang shalat, dan tentunya akan dihukum atau disiksa.

Prof. Olsi Jazexhi, seorang pakar sejarah di Albania yang pernah berkunjung kesana menyatakan itu bukan “sekolah” seperti apa yang terlihat, apa yang mereka lakukan tidak lain karena ketakutan dan mereka akan disiksa jika tidak menuruti perintah dari pengawas-pengawas disana. Maka mereka diwajibkan melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak mau. Bahkan Olsi Jazxhi yang sudah banyak mendatangi tempat-tempat penyiksaan dan dia sebut tempat “gila” menyatakan kamp itu lebih mengerikan dari kamp konsentrasi yang pernah dibangun Nazi.

Itu hanya secuplik dari apa yang diketahui, kita tidak tahu semengerikan apa kamp konsentrasi. Selain dua tokoh tadi yang memberikan pernyataan-pernyataan mengenai pengalaman mereka melihat langsung kamp konsetrasi, masih banyak lagi yang penulis tidak ambil pendapatnya. Maka yang ingin penulis katakan, kemana muslim dunia terkhusus indonesia ketika melihat tragedi genosida terorganisir yang terjadi di Xinjiang?

Dunia Islam tak mampu menyelesaikan berbagai konflik, di negeri-negeri muslim, terutama Palestina, Uighur, Rohingya dan lainnya. Dunia Islam saat ini penulis berani katakan tidak memiliki taring dikancah International untuk meneriakkan keadilan kemanusiaan bagi muslim tertindas dimanapun berada. Entah apa yang salah? Apakah semua negeri Islam disibukkan dengan “dirinya” yang hanya memikirkan keuntungan dan apa yang di dapat untuk negerinya hingga lupa diplomasi politik untuk membangun peradaban kemanusiaan dinegeri-negeri tertindas?

Indonesia saat ini, tak mampu memiliki kekuatan apapun untuk menghalangi setiap penjajahan kemanusiaan, padahal di UUD 45 sangat jelas negeri ini menolak segala penjajahan di muka bumi, tapi malah bagai “ayam sayur” ketika dihadapkan pada persoalan penjajahan kemanusiaan dunia.

Bahkan yang lebih parah masih banyak yang mengatakan tidak ada masalah apa-apa di Xinjiang, dan bahkan ada yang mendukung pemerintahan Xi Jinping untuk membasmi separatisme, yang sebenarnya hanya topeng untuk menutupi genosida disana.

Kasus-kasus pembantaian seharusnya tak boleh terulang di era modern saat ini, tidak boleh lagi ada penjajahan di atas muka bumi. Tidak boleh terulang lagi pembantaian orang Indian oleh pendatang ke Amerika, pembantain Serbia terhadap warga Bosnia-Herzegovina, pembunuhan massal di Kamboja oleh Pol Pot dan lain-lainnya.

Ini tugas kita bersama, tugas umat muslim dunia terkhusus Indonesia yang harus peka dan lantang mengusahakan keadilan di dunia. Seharusnya umat muslim tidak boleh diam dan bersikap apatis dengan pembantaian-pembantaian yang ada, umat muslim harus melawan setiap penindasan di dunia. Tapi nyatanya negeri kita, Indonesia malah terlalu banyak memikirkan “dirinya” sendiri.

Tak peduli pada kezhaliman dunia, bahkan kita ikut berkomplot pada para pembantai, menyatakan dukungan dan bodohnya lagi tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap negara-negara yang membantai umat muslim, minimal memutuskan jalur kerja sama atau memboikot produk mereka. Negeri ini terlalu layu sebelum berjuang, terlalu bodoh untuk menyatakan perlawanan.

Negeri ini yang katanya muslim terbesar di dunia tapi tak nampak “kemusliman”nya ketika dibelahan dunia lain saudaranya di bantai habis-habisan. Dan inilah negeriku, negeri kosong arti makna pembebasan penjajahan di atas dunia, dan negeri muslim lemah yang takut dan tak berkutit pada pembantai umat manusia.

Penulis : Januari Riki Efendi
(Mahasiswa Pascasarjana UINSU Jurusan Pemikiran Politik Islam dan Pegiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini