Tiket Gratis Nonton Bau Amis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sesuatu yang menyenangkan dan disukai siapa sih yang tidak mau? Apalagi itu didapatkan dengan gratis. Tapi jangan salah menduga dan mengira-ngira serta menerima, yang menyenangkan, juga yang di sukai belum tentu baik. Yang dikasih gratis pasti ada maksud tertentu. Pepatah lama berbunyi, “ada udang di balik batu”. Kalau pepatah kita waktu SMA dulu berbunyi, “ada udang di balik bakwan”. Hihihi

Dalam hujan yang gerimis ini, aku coba menuliskan sepatah dua kata, kalau dipatah-patahkan jadi banyak, sebuah celotehan yang menggebu-gebu dalam asa dan logika. Asa dan logika yang melihat mirisnya kondisi mahasiswa saat ini, terkhususnya di Sumut, terkhususnya lagi di Medan.

Mengapa begitu dan apa sebab-musababnya? Sepertinya pertanyaan ini sudah banyak yang mengetahui jawabannya. Melihat dari judul tulisan ini sepertinya sudah banyak yang ngerti hendak seperti apa tulisan ini. Walaupun demikian, tak puas rasanya jika tidak menumpahkannya dalam tulisan. Sedikit-banyak tulisan ini mungkin ada manfaatnya. Mungkin juga ada yang tak suka, apalagi mereka agen-agen tiket nonton gratis tentang sebuah film ecek-ecek dan pencitraan.

Baik, tulisan ini aku mulai dengan sebuah cerita. Entah teman-teman suka membaca cerita atau tidak tak dapat aku paksakan. Mudah-mudahan cerita ini lebih menarik dari film ecek-ecek dan pencitraan itu. Walau tak dapat tiket gratis supaya ngebucin terasa romantis, tapi tulisan ini mudah-mudahan dapat membuat teman-teman terhibur, dan agen-agen tiket nonton gratis itu kabur. Selamat menikmati ceritanya!

“Di suatu daerah, hidup sekelompok hewan berpikir yang dididik dan diajari teori-teori ilmu pengetahuan di suatu kandang tempat mereka hidup. Setiap hari mereka mendengarkan orang-orang pintar dan disuguhi ilmu pengetahuan yang tak setiap hewan berpikir mendapatkannya. Katanya mereka adalah kaum terdidik dan berilmu pengetahuan.

Singkat ceritanya, ada hewan berpikir lainnya yang memiliki tugas dan fungsi untuk seharusnya melindungi dan menjaga mereka, tapi nyatanya malah membuat mereka seperti hewan tak berpikir. Mereka dipukuli dan dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang menurunkan statusnya sebagai hewan berpikir. Tidak hanya satu hewan berpikir yang mendapat perlakukan keras, ratusan hewan berpikir lainnya dikurung. Bahkan menelan korban hingga hewan berpikir itu mati. Pelaku pembunuhannya entah bagaimana sekarang. Tidak ada tindak lanjutnya.

Selang beberapa lama kemudian, hewan-hewan berpikir itu dipanggil kembali. Ditarik beberapa perwakilan yang dianggap tokoh hewan-hewan berpikir itu, padahal tokoh itu menokoh. Tokoh-tokoh yang menokoh itu diberi ratusan lembar kertas. Tiket itu ternyata adalah tiket nonton gratis film ecek-ecek dan pencitraan. Anehnya, mereka yang dipukuli dan ada yang hingga mati, mereka pula yang disuruh dan dikasih tiket nonton gratis. Filmnya kebalikan apa yang pernah mereka rasakan. Nampaknya film itu akan membuat amnesia.

Tidak sedikit yang menerimanya. Dan si tokoh-tokoh yang menokoh itu mendapat keuntungan di bawah kandang. Cukup-cukup makan rumput dan daging segar. Yang lainnya, setidaknya pernah ke tempat nonton mewah sambil ngebucin sama betinanya. Biar terlihat keren. Mungkin begitulah kira-kira.

Syukurnya masih ada juga yang sadar apa maksud pembagian tiket nonton gratis itu. Ia tolak tiket gratis itu, lebih baik nyari rumput yang halal dan daging yang halalan toyyiban. Mencari sumbangan atau pemberian yang halal lagi tidak mengikat.

Tak perlu tiket-tiket gratis, apalagi bau amis. Otaknya gak mau dicuci dengan film ecek-ecek dan pencitraan. Herannya, biasanya kalau mau nonton hewan-hewan berpikir itu datang sendiri karena filmnya berkualitas, kali ini ada tiket dikasih gratis, itu film atau film-filman yang menghabisi dana perkandangan? Apakah karena tak ada kerjaan lagi? Tokoh-tokoh yang menokoh itu pun sibuk cari penonton. Ah, tak ada malu. Kaumnya dipukuli, dia malah memperbaiki citra si pemukul. Apa tak tokoh munafik itu namanya?”

Cukup sekianlah cerita yang tak jelas ini. Semoga tidak bermanfaat, supaya teman-teman tak kecewa. Kalau bermanfaat, berarti aku ucapkan terimakasih.

Sikap kritis dan mau menganalisis sesuatu akan membuat kita susah dibohongi. Tapi jika ingin selalu dibohongi, bahasa anak Medannya; ditokoi, berlaku apatis dan hedonislah. Akan kita ketahui nanti apa yang akan terjadi pada kita sendiri.

Sebagai seorang manusia yang memiliki nalar, jika diaktifkan maka itulah yang memlnunjukkan bahwa kita masih manusia. Jika tidak, maka berarti kita hanya segumpal daging yang membalut tulang tanpa esensi seorang manusia.

Tajamkan logika kita, agar kita tahu betapa banyaknya kebohongan dan kemunafikan berkedok agama, sosial, ilmu, dan berkedok lainnya. Peduli jika ada kepentingan dirinya dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umat manusia. Sekali lagi, tajamkan logika agar kita mengetahui orang-orang munafik disekeliling kita.

Akhirulkalam, tiket gratis itu bau amis. Jangan sampai kita terpengaruh sehingga membuat kita amnesia. Nyawa kawan kita yang telah hilang beberapa bulan lalu, harus selalu kita ingat dan renungkan serta kirimkan doa. Teman-teman kita yang luka karena dipukuli jangan sampai kita lupakan.

Jika kita temukan tokoh yang menokoh itu membagikan tiket gratis, katakan bahwa kita masih ada kegiatan yang lebih penting daripada nonton film ecek-ecek dan pencitraan itu. Kalau pun mau ngebucin, rendah kali derajatnya karena gratisan. Mau ngebucin tak pala harus menggadaikan idealisme dengan selembar kertas tiket gratis atau selembar kertas cap dua bapak-bapak.

Sekianlah dulu celoteh ini. Jika suka dengan tulisan ini, silahkan dibagikan ke teman-teman yang lain supaya tidak terkena virus tiket gratis bau aamis. Kalau gak suka, cukup pada tulisan ini saja. Karena aku ingin berkawan denganmu. Jika tak mau, Bondan Prakoso kan berkata; ya sudahlah![]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut)

- Advertisement -

Berita Terkini