Membangun Kecerdasan Spiritual Untuk Ketentraman Hidup

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jember – Paradigma tentang diri manusia selalu hidup dalam ruang lingkup Intelegensia Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang kemudian dijadikan acuan untuk meraih hakikat hidup yang sejati. Tiga kemampuan dasar ini dimiliki oleh setiap insan yang hidup di dunia ini.

Pertama soal kemampuan kognitif manusia, telah berhasil berwujud prestasi dalam urusan dunia profesi dan elektabilitas di mata publik. Tidak sedikit lagi manusia berprestasi disebabkan oleh kecerdasan intelektual sebagai bukti konkrit aplikasinya. Kemampuan untuk menghadirkan harapan dalam hidup kita telah include juga didalamnya yang disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ialah soal membangun kreativitas, integritas, berpikir merdeka, visi, arti kerja keras dan daya tahan, terhadap diri individu.

Dua hal ini menurut sebagian tokoh telah cukup untuk sekedar meraih popularitas kehidupan dunia, kehidupan materi dan untuk memperoleh penghargaan dari orang lain. Sebut saja Dale Carnagie. Disisi lain terdapat kecerdasan spiritual yang menjadi pondasi kesuksesan kecerdasan intelegensia dan kecerdasan emosi, namun seringkali diabaikan dan dianggap tidak terlalu berperan untuk kesuksesan hidup.

Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna, yaitu kecerdasan yang menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Mengutip dari analisis Ary Ginanjar Agustian bahwa kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia.

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ dan EQ secara komprehensif dan transedental. Kecerdasan spiritual mendorong munculnya kecerdasan emosi dan intelegensia yang kemudian menciptakan kehidupan manusia yang sukses dan bahagia serta tentram.

Hasil survei psikologi di Amerika mengatakan bahwa manusia yang kekayaannya berlimpah, mempunyai kedudukan penting dan manusia yang kehidupannya terpenuhi secara materialis cenderung untuk mempunyai gangguan psikologi berupa ketidaktenangan dalam menjalani kehidupannya. Mereka berpendapat bahwa sejauh ini belum bisa menemukan hakikat hidup itu seperti apa, dan sebenarnya tujuan hidup dan harta berlimpah itu untuk siapa.

Kenapa tidak bahagia dengan kedudukan yang tinggi? Bahkan seolah-olah hidup itu menjadi tidak jelas. Hal ini disebabkan ketidakmampuannya membangun kecerdasan spiritual dalam perjuangan hidupnya. Dilanjut dengan seseorang yang hanya menjadi buruh tani semasa hidupnya, dengan upah yang hanya cukup untuk kebutuhan dasarnya saja, namun telah mencapai ketentraman hidup dan selalu merasa bangga dengan apa yang diperolehnya. Dia memaknai profesinya buruh tani sebagai bentuk pengabdian terhadap Tuhannya, sebagaimana tujuan diciptakannya manusia, yaitu untuk mengabdikan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Apapun perintah oleh pemilik modal selalu dia turuti dan tepati karena dia telah mempersepsikan bahwa itu adalah pengabdiannya terhadap Tuhan. Kategori ini termasuk orang yang sukses membangun kecerdasan spiritual dalam hidupnya.

Kedua sampel tersebut kiranya mampu menjelaskan bahwa kita sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi pada diri kita. Kita lah penanggungjawab utama atas sikap yang kita ambil, bukan lingkungan kita.

Diri kita sendiri sebenarnya penentu pilihan tersebut. Itulah kecerdasan spiritual yang akan membawa kita terhadap hakikat hidup yang benar, yakni senantiasa berorientasi pada kebenaran. Karena tujuan hidup bukan cuma soal materalis dan penghargaan sebagaimana di sampaikan oleh Dale Carnagie, melainkan untuk mencapai ketentraman hati berdasarkan hakikat hidup yang sebenarnya. Disini kebahagiaan hidup terjamin.

Membangun kecerdasan spiritual acapkali gagal dilaksanakan oleh sebagian manusia, sebab manusia seringkali membuat bantahan rasional terhadap kehendak hati. Menjalankan kehendak hati sejatinya akan tiba pada bentuk prilaku yang benar, dan kebenaran yang mutlak adalah Allah SWT. Manusia lahir ke dunia ini dengan fitroh yang artinya suci sebagaimana diterangkan dalam surat Ar-Ruum Ayat 30 yang artinya manusia yang hidup selalu berada pada kebenaran pencipta selama manusia mengikuti kata hati, sebab hati yang fitroh pasti berorientasi terhadap kebenaran, dan setiap manusia memiliki itu.

Sebagaimana diterangkan oleh HR. Al-Bukhari dan Muslim “ Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”. Maka kecerdasan spiritual ialah bagaimana mengikuti kehendak hati dalam setiap memilih makna hidup. Yang akan membawa pada hakikat kehidupan sebagaimana tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk menyembah pada pencipta. (Lihat QS. Adz-Dzariyah 51;56).

Menurut Robert K Cooper, hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikirkan menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.

Ketidakmampuan manusia membangun kecerdasan spiritual dalam kehidupan mereka disebabkan oleh belenggu pikiran yang mempengaruhi hati untuk bertindak diluar kehendak hati mereka sehingga ketentraman belum mereka raih.

Belenggu itu menurut Ary Ginanjar Agustian yakni prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding, dan fanatisme, yang membuat manusia selalu mengesampingkan kehendak hati.

Seseorang melihat orang lain memakai celana cingkrang dan bercadar kemudian di justis barisan radikal dan dianggap islam garis keras, padahal sejatinya hati seseorang tersebut tidak berkata begitu, namun karena sudah muncul prasangka negatif maka kehendak hati tidak terealisasi, proses memaknai sesuatu kepada yang lebih luas telah gagal dan pada saat yang bersamaan kecerdasan spiritual sudah gagal pula untuk di aplikasikan, begitupala dengan ketentraman hidup belum juga bisa diraihnya. Itu konsekuensi logisnya.

Maka untuk mencapai kehendak hati yang suci sebagai pedoman hidup perlu untuk membersihkan belenggu tersebut dari diri kita.

Membangun kecerdasan spiritual diperlukan sebuah kesungguhan untuk memahami suara hati fitroh, atau nilai-nilai dasar spiritual (Inner Values). Perlu disadari bahwa dorongan suara hati fitroh adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisah-pisah. Pemahaman dan pemaknaan suara hati fitroh sebaiknya tidak dengan mengambil sepotong atau sebagian sesuai selera pribadi saja, tidak pula dengan mengabaikan sifat-sifat yang lain. Selain itu sifat-sifat Allah itu juga mesti diawali dengan proses penjernihan hati menuju keadaan yang suci dan bersih. Segala keputusan yang kita ambil, jika dilandasi dengan hati fitroh maka akan menemukan kebijaksanaan dan kepercayaan diri.

Proses pengambilan keputusan ini adalah proses dinamis ketika kita dihadapkan pada beragam dorongan hati. Untuk mendapatkan suara hati fitroh, gunakanlah spiritual wisdom milik-Nya sebagaimana dipaparkan dalam Al-Qur’an; “Allah memerintahkan berbuat adil, melakukan kebaikan dan dermawan terhadap kerabat. Dan Ia melarang perbuatan keji, kemungkaran dan penindasan. Ia mengingatkan kamu supaya mengambil pelajaran.” (QS An-Nahl 16;90).

Manusia yang mampu membangun kecerdasan spiritual dalam hidupnya bisa mengetahui hakikat hidup dan tujuan diciptakannya manusia untuk apa, dan arah perjuangannya kepada siapa, sesuai dengan yang dimaksud oleh sang pencipta. Sehingga wujud hidupnya ialah ketentraman sejati, ketengan abadi dan senantiasa dikelilingi oleh prilaku terpuji, meskipun badai silih berganti mengujinya.

Penulis: Ahmad Ma’mun (Mahasiswa IAIN Jember sekaligus Aktivis HMI Cabang Jember).

- Advertisement -

Berita Terkini