Indonesia Bukan Negara Besar, Tapi Ada 95 Puisi Situs Sejarah Yang Hancur

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Nusantara – Kalau negara besar dimaksudkan adalah negara yang merawat dan menyelamatkan warisan sejarahnya sebagai aset masa depan, maka Indonesia bukan (belum?) lah negara seperti itu. Ada berapa ribu situs sejarah yang dibiarkan hancur, ada berapa juta benda yang diperkirakan cagar budaya yang rusak, hilang atau lari ke luar negeri?

Lelah meneriakkan ini, juga di situs Kota Cina Medan Utara. Kemarin (03/11/2019) ada 70 an orang datang, para penyair dan penggiat sastra : mereka berkumpul, meluncurkan buku puisi, menerbitkan dan membacakannya untuk situs Kota Perdagangan dunia yang lelah dan porak poranda ini. Penggagasnya Tsi Taura nama pena Dr. T. Suhaimi Idris, seorang penyair juga, yang kadang disebut jaksa penyair, bukan hanya karena pekerjaannya, tapi juga karena dia memang jaksa yang mampu menginterogasi kebisuan, termasuk kebisuan satu situs sejarah.

Dia kumpulkan energi dan uang, bertahun-tahun, dia ajak teman teman penyair untuk menyuarakan kegelisahannya tentang ketidak pedulian pada masa lalu.

Tahun 2010 penyair ini dengan sejumlah intel mendatangi museum Kota Cina, menyaksikan apa yang saya kerjakan di situs itu. Saya tunjukkan diri saya sekedar sebagai pemulung , memungut apa saja kepingan masa lalu yang bisa dipungut, yang tercampakkan sejarah, merawatnya, menyusun dalam rak rak yang bersahaja di bangunan berdinding tepas, beratap nipah dan berlantai tanah, waktu itu.

Lalu saya bercerita tentang kejayaan yang sirna, kota yang hancur lebur oleh serangan musuh di masa lalu dan serangan ketidak pedulian di masa kini. Dia mendengar dengan takzim. Lalu dia dan para intelnya pulang dan esoknya mengirim puisi yang indah tentang situs ini. Saya terkesima. Puisi lebih punya daya gugah dibanding karya ilmiah sejarah yang kering.

Buku puisi yang digagasnya ini berisi 95 puisi dari 49 penyair : baris demi baris seperti pahat yang hendak mengukir kembali kota kuno yang penuh misteri ini. Dengan puisi kemarahan dan kerinduan diekspressikan. Masa lalu yang hilang itu terasa hidup kembali. Inilah salah satu sajak Tsi Taura di buku “1000 Tahun Jejak Peradaban Kota Cina (Yang Mengeram dari Yang Terpendam)”

SITUS KOTA CINA (02)

Lama sudah aku tak menyinggahimu
Reruntuhan kerajaan kerang
Cagar budaya seperti tercibirkan

Dulu tercetus Situs Kota Cina
Sejarah meradang
“Bukan itu namaku”
Dan kau berbisik:
“Kota kecil yang indah”

Aku terharu
Sajakku di dinding serpihan bangunan melayu tua
Dirawat sang datu
Batu penanda
Aku pernah menabur benih cinta di sini

Seperti dulu
Kini pun sang datu menuntun kami berkeliling museum
Semangat berapi-api
Bertutur lentur sejarah terabaikan

Wahai sang raja kota
Jangan buldozzer singgah di sini
Meruntuh angan warisan niskala
Tak apa engkau tak singgah
Walau laksamana Cengho yang begitu jauh meringan langkah

Air danau mulai mendaki
Bakau dan rumbia menatap sendu
Burung rimba menggelatuk
Kunang-kunang memadu kasih
Putri hijau meratap di kejauhan

Sang datu jangan surut selangkahpun
Biar seribu pertempuran berdentum

(Paya Pasir, 25 Februari 2018)

Buldozer memang benar benar pernah datang, dan meluluhlantakkan sisi runtuhan candi, tempat para empu pandai emas merangkai perhiasan. Para pejabat membisu, pura pura tak tahu, berdalih ini itu. Saya melawan nya, tidak sendirian, tapi dengan tabuhan gendang perang dari puisi puisi sahabat saya ini. Buldozer berhenti. Kumpulan puisi diluncurkan. Tiang cagar budaya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya kementrian pusat dipacakkan. Puing harapan dari kehancuran kota kuno muncul dari bait bait puisi.

Penulis : Dr. Phil. Ichwan Azhari M.S.
Sejarawan, pengajar dan ahli filologi (filolog), Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatra Utara

- Advertisement -

Berita Terkini