Banjir Menenggelamkan Medan : Pemko Medan Tak Punya Arsip Untuk Belajar Dari Kekeliruan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Tadi malam (15.9.2018) saya terjebak banjir di Taman Budaya Medan. Seluruh ban mobil saya nyaris tenggelam di parkiran dan sanggar berlantai keramik tempat saya akan pameran digenangi air. Sambil menunggu hujan reda , usai menyelamatkan berbagai koleksi di lantai (antara lain berbagai tembikar saya dari 15 provinsi, tiang rumah kuno berumur 1000 tahun) sayapun terduduk menggulung celana, saya cari dan edit postingan saya tentang banjir Medan pada 2016 yang lalu di fb ini.

Sekurangnya ada 5 buku tentang sejarah banjir di Jakarta, satu level disertasi (Dr. Restu Gunawan, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa). Ini memperlihatkan bahwa sejarah banjir sudah masuk ranah ilmu pengetahuan. Medan sendiri saat hujan, makin hari makin banyak areal yang tenggelam. Tinggal tunggu waktu seluruh kota lumpuh tenggelam jika pengelolaan banjirnya masih tambal sulam dan musiman. Selama ini Pemko Medan mengatasi masalah banjir tanpa mau belajar dari masa lalu pengeloaan banjir di Medan.

Saat Kota Medan didirikan, pindah dari Labuhan Deli ke kawasan sekitar Lapangan Merdeka akhir abad 19, salah satu alasannya adalah masalah banjir. Labuhan Deli tidak bisa dikembangkan sebagai kota moderen karena selalu dan terancam banjir. Untuk itu Medan didirikan sebagai kota anti banjir dan dipilihlah lokasi yang berdekatan dengan dua alur sungai (Sei Deli dan Sei Babura) yang bisa mengurai banjir dengan cepat. Para desainer awal Kota Medan tidak mau mengulang Batavia yang evolusi kotanya selalu banjir sejak zaman J. Pieter J. Coon 1621.

Sebagai kota baru bergaya 100 persen peradaban kota Eropa maka Kota Medan sejak didirikan telah melibatkan ahli ahli pengelolaan banjir dari Belanda. Sepuluh tahun sejak Medan diresmikan sebagai kota (1 April 1909) Pemko Medan zaman Belanda ini dengan melibatkan berbagai pakar dari Eropa, telah memiliki dokumen pengelolaan banjir yang menakjubkan. Medan tidak akan seperti Batavia, Medan kota anti banjir 200 tahun ke depan. Jalur jalur riol berbagai ukuran dan diberbagai kedalaman seperti lorong lorong rahasia dibangun di bawah tanah Kota Medan.

Dalam dokumen di Belanda itu saya lihat Medan dibagi dalam 4 sektor saluran pembuangan air, dengan berpuluh kilometer riol meliuk liuk panjangnya, di desain sebelum kota lumpuh ditenggelamkan banjir. Saya lihat riol riol ini dibangun benar benar dengan ilmu pengetahuan modern lintas disiplin, menggunakan data curah hujan, debit sungai, topografi dan geologi tanah.

Tidak hanya dikeluarkan biaya membangunnya yang besar tapi saya lihat juga disiapkan dana jutaan gulden untuk perawatan dan pengawasan yang serius dalam rangka menjadikan Medan kota anti banjir, Paris Van Sumatra. Termasuk telaah aspek aspek perubahan sosiologis dan antropologis warga sebuah kota moderen di daerah kolonial.

Medan bukan dikelola oleh, dan dihuni mereka yang datang dari dan berselera kampungan. Ini kota moderen, dihuni oleh orang orang modern dari berbagai penjuru dunia. Banjir merupakan aib besar bagi kota ini, makanyalah mereka tak main-main dalam menciptakan Kota Medan sebagai kota modern anti banjir.

Itu dulu.

Sekarang? Sudah sejak beberapa tahun lalu saya mengusulkan Pemerintah Kota Medan dapat kiranya belajar dan melihat kembali jaringan jaringan anti banjir ketika Medan di desain sebagai kota modern berkelas Eropa. Apa yang masih bisa dimanfaatkan apa yang bisa dipelajari? (Termasuklah riol MUDP 1980 an ?)

Tapi saya yakin dokumen arsip penting kota ini 100 tahun yang lalu, Pemko Medan tak punya. Jangankan 100 tahun lalu, peta riol raksasa MUDP (Medan Urban Developmen Projek) tahun 1980 an saja di Arsipda Medan tak bisa tunjukkan. Teringatlah pada 2013 yang lalu ketika Walikota Rahudman Harahap saat banjir melanda memanggil kepala terkait, dan menanyakan mana peta lama riol raksasa MUDP, dijawab, “gak ada, belum pernah lihat, nanti dicari”.

Saya pikir jangan jangan salah satu mulut riol raksasa MUDP itu ada di Sei Deli depan kantor Walikota, dan tak setetes air keluar dari situ saat Medan banjir.

Pada zaman Belanda ada Dewan Kota Medan yang benar berfungsi. Apa yang dilakukannya banyak dimuat dalam media Belanda yang terbit di Medan sebagaimana ditunjukkan sejarahwan Dirk Buiskol. Dirk pun pernah saya undang beberapa kali ceramah di Unimed tentang tatakelola Kota Medan di masa Belanda. Sewaktu saya mengunjungi dan menginap di rumahnya di Belanda, getaran rasa kecewa Dirk atas pembangunan Medan tanpa perspektif historis itu sangat terasa.

Banjir Menenggelamkan Medan : Pemko Medan Tak Punya Arsip Untuk Belajar Dari Kekeliruan
Dirk Buiskol sejarahwan Belanda ahli sejarah Kota Medan, sering memberi masukan bagaimana Medan menjadi kota Bermartabat tanpa menghilangkan identitasnya. Sepertinya dia patah arang melihat hancurnya warisan sejarah di Medan. Diskusi saat saya menginap di rumahnya di Belanda 2010. Alangkah baiknya jika Pemko Medan memanfaatkan pengetahuan dan arsipnya dalam memperbaiki Kota Medan berbasis kearifan sejarah

Pak Walikota dan wakilnya pak Nasution Akhyar, dan jajaran pejabat termasuk DPRD nya, bagaimana mungkin anda bisa memanfaatkan data sejarah Medan yang kaya, termasuk strategi mengatasi banjir ini? Bukankah arsip sejarah Kota Medan pun tak dipedulikan, badan Arsipda pun amburadul isinya, kantornya pun hanya semacam gudang belakang stasion Pinang Baris sana?. Padahal Medan bukan kota baru kemarin pagi dibangun. Medan sudah didesain sebagai kota anti banjir sejak zaman kolonial, tapi pengelola kota ini tak punya arsip sejarah banjir kota.

Akhirnya tiap kali Medan dilanda banjir keluh kesah tanpa refleksi pun terjadi.

Penulis : Dr. Phil. Ichwan Azhari M.S.
sejarawan, pengajar dan ahli filologi (filolog) , Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatra Utara

- Advertisement -

Berita Terkini