Maulid Nabi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang istimewa. Pada bulan ini manusia terbaik, hamba Allah dan utusan Allah termulia dilahirkan di dunia, yakni Nabi Muhammad SAW.

Pada 1400 abad yang lalu, tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul Awal 576 M, baginda Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari pasangan Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah, r.a.

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah.

Menurut catatan Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa`id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad bahwa peringatan maulid pada saat itu dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat.

Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [al-Bakri bin Muhammad Syatho, I`anah at-Thalibin, Juz II, hal 364]

Peringatan maulid Nabi tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan inilah, sebagian kaum muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan mengklaim bid`ah pelaku perayaan maulid.

Menurut kelompok ini seandainya perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn Taimiyah, Fatawa Kubra, Juz IV, hal 414].

Al-Imam al-Suyuthi dari kalangan ulama’ Syafi’iyyah mengatakan:

هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

“Perayaan maulid termasuk bid’ah yang baik, pelakunya mendapat pahala. Sebab di dalamnya terdapat sisi mengagungkan derajat Nabi Saw dan menampakan kegembiraan dengan waktu dilahirkannya Rasulullah Saw”.

Hakekat Maulid Nabi.

Memang benar pemahaman tentang “Setiap perbuatan yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah adalah perbuatan bid`ah yang sesat dan pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka”
Hal ini sesuai dengan berlandaskan pada hadist berikut;

وإيَّاكم ومحدثات الأمور؛ فإنَّ كلَّ محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid`ah dan setipa bid`ah adalah sesat”. [HR. Ahmad No 17184].

Pemahaman Hadits ini bisa salah apabila tidak dikaitkan dengan Hadits yang lain.

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Siapa saja yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka dia ditolak.”
[HR al-Bukhori No 2697]

Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أمرنا dalam hadits di atas adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak diperbolehkan.
[Yusuf al-Qaradhawi, Bid`ah dalam Agama, hal 177]

Dengan demikian, maka makna hadits di atas:
“Barang siapa berkereasi dengan memasukkan sesuatu yang sesungguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu merupakan hal yang ditolak”

Dapat dipahami bahwa bid`ah yang dhalalah (sesat) dan yang mardudah (yang tertolak) adalah bid`ah diniyah.

Namun banyak orang yang tidak bisa membedakan antara ‘amaliyah keagamaan’ dan ‘instrumen keagamaan’.

Sama halnya dengan orang yang tidak mampu memahami format dan isi, sarana dan tujuan. Akibat ketidakpahamannya, maka dikatakan bahwa perayaan maulid Nabi sesat, bahkan membaca Al-Qur’an bersama-sama sesat dan seterusnya.

Perayaan maulid hanyalah merupakan “format”, sedangkan hakikatnya adalah bershalawat, membaca sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat Al-Qur’an, berdoa bersama dan kadang diisi dengan ceramah agama yang mana perbuatan-perbuatan semacam ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun Hadits.

Lafadz كل pada hadits tentang bid`ah di atas merupakan “lafadz umum yang ditakhsis”.

Dalam Al-Qur’an juga ditemukan beberapa lafadz كل yang keumumannya di takhsis.
salah satu contohnya firman Allah SWT:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَي

“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.
(QS al-Anbiya’: 30)

Kata “segala sesuatu” pada ayat ini tidak dapat diartikan bahwa “semua benda yang ada di dunia ini tecipta dari air”, tetapi harus diartikan sebagian benda yang ada di bumi ini tercipta dari air.

Ada benda-benda lain yang diciptakan tidak dari air, namun dari api, sebagaimana firman Allah dalam Surat :

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَار

“Dan Allah menciptakan jin dari percikan api yang menyala. Oleh karena itulah, tidak semua bid`ah dihukumi sesat dan pelakunya masuk neraka.”
(QS.ar-Rahman:15)

Bid`ah yang sesat adalah “bid`ah diniyah” yaitu meng-agamakan sesuatu yang bukan agama.

Adapun perayaan maulid Nabi tidaklah termasuk bid`ah yang sesat dan dilarang karena yang baru hanyalah “format dan instrumennya” saja.

Hukum Perayaan Maulid Nabi.

Berkenaan dengan hukum perayaan maulid, As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.

“Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, mengatakan:

وَالْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا.

“Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya. [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu An-Tushahha, hal. 340]

Dalam kesempatan yang lain, Al imam Asy syuyuti mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لَنَا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَالْاِجْتِمَاعُ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمَسَرَّاتِ

“Sunah bagi kami untuk memperlihatkan rasa syukur dengan cara memperingati maulid Rasulullah Saw, berkumpul, membagikan makanan dan beberapa hal lain dari berbagai macam bentuk ibadah dan luapan kegembiraan”.

Dari kalangan Hanafiyyah, Syaikh Ibnu ‘Abidin mengatakan:

اِعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ مِنَ الشَّهْرِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

“Ketahuilah bahwa salah satu bid’ah yang terpuji adalah perayaan maulid Nabi pada bulan dilahirkan Rasulullah Muhammad Saw”.

Setiap tempat yang di dalamnya dibacakan sejarah hidup Nabi Saw, akan dikelilingi malaikat dan dipenuhi rahmat serta ridla Allah SWT.

Al-Imam Ibnu al-Haj ulama’ dari kalangan madzhab Maliki mengatakan:

مَا مِنْ بَيْتٍ أَوْ مَحَلٍّ أَوْ مَسْجِدٍ قُرِئَ فِيْهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَفَّتِ الْمَلاَئِكَةُ أَهْلَ ذَلِكَ الْمَكَانِ وَعَمَّهُمُ اللهُ تَعَالَى بِالرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ

“Tidaklah suatu rumah atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi Saw, kecuali malaikat mengelilingi penghuni tempat tersebut dan Allah memberi mereka limpahan rahmat dan keridloan”.

Al-Imam Ibnu Taimiyyah dari kalangan madzhab Hanbali mengatakan:

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

“Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut, karena niat baiknya dan karena telah mengagungkan Rasulullah Saw”.

Merayakan maulid Nabi bisa menjadi wajib bila menjadi sarana dakwah yang efektif untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang terdapat banyak kemunkaran.

Al-Syaikh al-Mubasyir al-Tharazi menegaskan:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبَا أَسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَّ مِنَ الْاِحْتِفَالَاتِ الضَّارَّةِ فِيْ هَذِهِ الْأَيَّامِ.

“Sesungguhnya perayaan maulid Nabi menjadi wajib yang bersifat siyasat untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang membahayakan pada hari ini”.

Pada akhirnya, Tradisi merayakan maulid Nabi SAW merupakan bid’ah yang baik (disunahkan), meski tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi Muhammad, karena di dalamnya terdapat sisi mengagungkan dan kecintaan kepada Rasulullah.

Bahkan, hukum merayakan maulid bisa menjadi wajib bila menjadi sarana dakwah yang paling efektif untuk mengimbangi acara-acara yang membahayakan moral bangsa.

Perayaan maulid Nabi hanya formatnya yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Perayaan maulid Nabi merupakan bid`ah hasanah dan pelakunya mendapatkan pahala.

Dalil-dalil Perayaan Maulid Nabi.

Di antara dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian Ulama` adalah firman Allah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.”
(QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah.

Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة.

Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.

Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW.

Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi Muhammad SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW sangat dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
( QS.Yunus:58)
[Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7]

Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan bahwa:
“Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya.”
[Ibnu hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal 431]

Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].

Di setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia senang atas kelahiran Nabi, bahkan Abu Lahab memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah al-Aslamiyyah untuk menyusui Nabi.

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan:

قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

“Urwah berkata, Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, untuk kemudian menyusui Nabi. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi bahwa Abu Lahab mendapatkan siksa yang buruk. Di dalam mimpi itu, Abu Lahab ditanya. Apa yang engkau temui? Abu Lahab menjawab, aku tidak bertemu siapa-siapa, hanya aku mendapatkan keringanan di hari Senin karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah.”

Hadits ini juga disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, al-Imam Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail, al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah, al-Hafizh al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, Ibnu Hisyam al-Suhaili dalam al-Raudl al-Anuf, dan al-Imam al-‘Amiri dalam Bahjah al-Mafahil.

Meski merupakan hadits mursal, namun hadits ini tetap dapat diterima riwayatnya, sebab al-Imam al-Bukhari sebagai pakar hadits yang otoritatif mengutipnya dalam kitab al-Shahih, demikian pula para ulama, para penghafal hadits berpegangan pada riwayat tersebut.

Di sisi yang lain, hadits tersebut tidak berbicara halal-haram, namun berkaitan dengan sejarah, sehingga tetap bisa dibuat hujjah.

Perayaan maulid bukan terbatas seremonial atau perkumpulan biasa, namun dimaksudkan untuk memupuk rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Merayakan maulid adalah upaya untuk memperkuat hubungan kita dengan al-janab al-nabawi (sisi kenabian), sehingga rasa cinta kepada Nabi menjadi hal yang terpatri pada diri setiap Muslim.

Wallahu a’lam.
??☕

#Ngaji
#BersamaMawar

Penulis adalah Hindun Shalihah

- Advertisement -

Berita Terkini