Biaya Naik Haji, Seabad Yang Lalu 100 Gram Emas ?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Nusantara – Laporan jurnalistik pertama tentang haji (1903) yang ditulis Dja Endar Moeda, wartawan asal Padang Sidempuan, menyimpan data menarik dari sudut numismatik, budaya uang dan ekonomi perjalanan haji. Saya sedang mengumpulkan benda benda numismatik berkaitan dengan tema haji ini dalam rangka membuat “Galeri Sejarah Haji.” Saya ingin berkonsultasi dan mewawancarai teman-teman numismatik yang memiliki pengetahuan tentang ini.

Dja Endar Moeda dalam koran Bintang Hindia 1903 (sebagai mana dihimpun Suryadi dalam Buku Hendri Chamber-Loir, 2013) menulis :

“Jika kita hendak pergi ke Mekah, maka baiklah uang belanja ditukar dengan uang mas Inggris (pond-sterling). Uang ini boleh diperoleh di segala kantor bank. Tukarannya f 12.50 à f 12.60. Faedahnya terlalu besar: pertama uang ini ringan, kedua tukarannya dengan ringgit burung di Mekah lebih banyak. Sekurang-kurangnya satu uang mas ditukar orang dengan 10 ringgit burung. Jika ditukar dengan uang mas Belanda, maka tukaran f 10 di Mekah hanya 8 ringgit burung saja.”

Uraian ini memperlihatkan ada 3 jenis uang yakni Poundsterling Inggris, Ringgit Burung dan Uang Emas Belanda yang dikenal jamaah haji sebelum berangkat.

Lantas selama di Mekkah ada jenis uang lain sebagaimana nampak dalam kutipan berikut :

“Pada hari nan kedua di Jeddah, maka wakil syekh itu menggerakkan kita pergi ziarah ke makam Siti Hawa; waktu itu bergunalah bagi kita wang ayam, yang akan disedekahkan kepada penjaga makam itu dan kepada orang miskin. Kalau kita tukarkan di sana 1 ringgit maka kita peroleh Cuma 200 atau 150 duit ayam saja. Tetapi kalau ditukarkan di Tanah Darat, yaitu di Bukit Tinggi maka dari f 2.50 kita mendapat 1200 atau 1500 duit ayam. Duit ayam ini sangat perlu di Mekah dan Madina.”

Biaya Naik Haji, Seabad Yang Lalu 100 Gram Emas ?
Uang Ringgit Burung

Dalam uraian ini Dja Endar Moeda memasukkan satu jenis uang lagi yakni wang ayam atau duit ayam. Dalam uraiannya kadang dia mengganti ganti istilah wang, oeang, duit, ringgit. Dja memperkenalkan kurs mata uang yang berlaku dan mengisaratkan kurs yang menguntungkan jamaah haji bila menukarnya di tanah air (Tanah Darat) Bukit Tinggi.

Dja Endar menyebut di Mekkah yang dipakai adalah uang Ringgit Nona. Katanya :

“Harga ringgit nona lebih-kurang hanya 2 ringgit burung; satu ringgit burung 30 atau 32 gurus; satu gurus 2 halala; dan satu halala 4 atau 5 duani”.

Berapa biaya naik haji masa itu? Kata Dja Endar Moeda di tahun 1903 :

“Di dalam lima tahun yang telah lalu cukuplah belanja pulang balik ke Mekah f 500, tetapi sekarang jumlah ini tidaklah memadai. Sekurang-kurangnya hendaklah orang mempunyai f 750. Lebih baik jika kita ada f 1000.”

Agaknya yang dimaksud Dja dengan F itu adalah uang Poundssterling Inggris. Jika ini benar maka menurut data, 1 gram emas masa itu adalah 7,1 F. Jadi jika dikonversikan ke emas , 750 F itu sekitar 100 gram emas. Menarik jika dihubungkan dengan berapa harga karet, lada, pinang, gambir, damar dan komodi lain para pekebun masa itu.

Biaya Naik Haji, Seabad Yang Lalu 100 Gram Emas ?
Poundsterling Inggris

Uraian ini memperlihatkan sekalipun masa itu di bawah jajahan Belanda, uang Gulden Belanda tidak populer. Inilah antara lain yang membuat Belanda risau dan melakukan gerakan Guldenisasi dengan membuka kantor De Java Bank di berbagai daerah. Di Sumatera Utara De Java Bank dalam rangka Guldenisasi itu di buka di Medan, Tanjung Pura, Tanjung Balai dan Pematang Siantar. Berikut saya tampilkan beberapa uang lama yang beredar masa itu di Sumatera Timur, sebagian uang ini koleksi pribadi, sebagian milik kolektor numismatik juga ada di Museum Uang Sumatera. Siapa tahu ada diantara pembaca yang leluhurnya pernah naik haji dan masih menyimpan uang ini. Eloklah kita berbagi.

Dalam sekeping uang, ada kisah sejarah yang besar dan sangat menentukan pada zamannya. Dalam sekeping uang, ada sejarah politik, ekonomi dan budaya yang penting. Uang adalah penanda zaman, yang sayangnya diabaikan dalam penulisan sejarah nusantara.

Penulis : Dr. Phil. Ichwan Azhari M.S.
sejarawan, pengajar dan ahli filologi (filolog) , Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatra Utara

- Advertisement -

Berita Terkini