Mengenang Sedih Situs Minyak Pangkalan Brandan, World Heritage Ombilin SawahLunto

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Langkat – Selama 2 hari ini (26-27 Juli 2019) saya berkunjung ke Sawahlunto, situs yang baru saja ditetapkan Unesco sebagai warisan dunia (World Heritage) dalam sidangnya di Azerbaijan tanggal 6 Juli 2019.

Sejak tahun 2002, Walikota Sawahlunto (Subari Sukardi) memiliki visi yang cerdas ke depan, memanfaatkan warisan sejarah kotanya sebagai aset masa depan. Pasca penutupan tambang batubara, Sawahlunto bakal menjadi kota mati. Penduduknyapun pernah tinggal 13 ribu jiwa. Dengan visi sang walikota dan teamnya dan diikuti walikota walikota sesudahnya, aset masa lalu dijadikan pijakan membangun masa depan : bangunan bangunan bersejarah dijaga, dirawat dan dicegah dari penghancuran. Suara sejarahwan didengar dengan khitmat, perusahaan dan instansi pusat yang terkait dengan heritage didatangi dan diyakinkan dalam program besar berkelas dunia.

Hasilnya World Heritage itulah. Kota yang lebih kecil dari Binjai itu kini mempunyai 107 cagar budaya dan tiap tahun bertambah terus, lalu ada 10 museum dan akan bertambah mencapai puluhan (bayangkan Pemko Medan yang tak punya satupun Museum. Lalu team ahli cagar budaya TACB Medan yang dibiarkan Pemko mati suri).

Di tengah tengah berbagai bangunan dan peninggalan heritage yang menggiurkan dan meneteskan air liur ngiler sejarah ini, bagaimanapun saya tak bisa lepas pada tragedi kemanusiaan yang dialami para pekerja tambang. Saat saya berada di lobang bekas penggalian batubara di kedalaman 63 meter, saya mencium aroma kisah penderitaan. Saya mengejar kisah itu, kisah tentang derita, kemelaratan, pertikaian, di lubang lubang yang pengap. Juga bukti tentang “Orang Rantai”, pekerja tambang yang bekerja dengan kaki di rantai. Rantai rantai itu dipajang di salah satu museum.
Saya mencoba mencari teks kisah tentang tragedi kemanusiaan ini dan belum ketemu. Saya mencari syair, novel, tentang tema ini tapi belum berhasil.

Mengenang Sedih Situs Minyak Pangkalan Brandan, World Heritage Ombilin SawahLunto
Museum Tambang Ombilin

Saya ke Museum Goedang Ransoem (dapur umum tempat masak 3900 kg beras tiap hari untuk 7000 pekerja tambang) dan dibelakang museum saya melihat tumpukan nisan tanpa nama, tanpa identitas apapun selain nomor. Nomor itu menyimpan identitas siapa yang dimakamkan, tapi makamnya sudah entah dimana. Nomor siapa? Kelak studi arsiplah yang bisa mengungkapnya. Nisan nisan tanpa nama ini disiapkan untuk museum Orang Rantai di penjara Belanda dekat lobang tambang yang pertama dibuka. Sawahlunto dibangun dengan mendatangkan pekerja dari berbagai penjuru, beragam, etnik dan ras datang ke sini. Ada Jawa, Batak, Madura, Sunda dan belasan etnik lainnya, menyebar dan mengkonstruksi satu budaya tersendiri dengan bahasa yang khas Sawahlunto.

Para pekerja tambang ini semacam alas kaki dari tubuh kolonialisme dan kapitalisme dunia : Batubara yang mereka pacul dari dinding bukit keras di lorong lorong yang gelap dan pengab itu telah memutar ribuan mesin mesin pabrik, menggerakkan ribuan kapal kapal melayari dunia, memberikan kesejahteraan bagi jutaan orang.

Mengenang Sedih Situs Minyak Pangkalan Brandan, World Heritage Ombilin SawahLunto
Rumah Kreatif Sawahlunto

Warisannya adalah Sawahlunto yang berlubang, hancur hancuran, porak poranda dan bangunan bangunan tua seperti rumah hantu. Tapi kini ada banyak museum dan 107 cagar budaya, world heritage yang prestisius itu dan bakal hadirnya jutaaan wisatawan yang tidak terlalu lama lagi : menggerakkan perekonomian rakyat dari runtuhan puing sejarah.

Dan lalu, wahai situs tambang minyak Pangkalan Brandan (walau ultah Pertamina dirujuk ke sini) yang lebih tua dari situs Ombilin, situs eksplorasi minyak tertua kedua di dunia, yang selama lebih 1 abad mengalirkan jutaan barrer minyak dan uang ke kas Belanda, kesultanan Langkat dan pemerintah RI, bagaimana nasibmu kini? Puluhan bangunan bangunan tua yang dihuni hantu, bertonton besi tua berkarat dengan puluhan tangki tangki minyak raksasa, ribuan meter pipa, kota yang redup tanpa semangat. Tanpa cagar budaya, apalagi museum.

Kota kecil ini, memimpikan seorang pemimpin lokal secerdas Walikota Sawahlunto. Mimpi di atas mimpi!

Penulis : Dr. Phil. Ichwan Azhari M.S.
sejarawan, pengajar dan ahli filologi (filolog) , Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatra Utara

- Advertisement -

Berita Terkini