Makam Serdadu Jepang, Bernama Tengku Yahya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan  – Ya, sang waktu tadi malam (16.8.2019) mengantarkan saya ikut prosesi Malam Renungan di Makam Pahlawan Jalan Si Singamangaraja Medan yang diselenggarakan Pemprovsu. Tepat jam 00.00 acara dimulai mengirim doa bagi para pahlawan atau yang dianggap berjasa pada bangsa dan negara yang dimakamkan di situ. Disebut berbagai elemen dan jumlahnya tiap elemen berapa ratus yang dimakamkan di situ. Diantaranya ada yang disebut “pahlawan yang tidak dikenal” berjumlah sekian.

Saya tunggu tunggu apakah ada disebut di situ ada dimakamkan juga 21 tentara Jepang yang membelot dan membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ah tak ada disebut. Mungkin masuk dalam elemen “pahlawan yang tidak dikenal”.

Di kegelapan malam dengan lampu obor yang dipasang di makam itu, saya coba coba mencari Nisan Tengku Yahya, muallaf serdadu Jepang yang membantu perjuangan kemerdekaan RI. Tengku Yahya aslinya bernama Tsushima Mayasuki, lahir di Ibarigi Jepang pada 3 Maret 1918. Mengapa dia memakai nama dan gelar Melayu?

Saya dipergoki eks mahasiswa saya yang sudah menjadi guru sejarah di SMA 13 Medan yang malam tadi membawa siswanya ke malam renungan itu.

Lalu saya teringat postingan lama saya si FB ini tahun 2016. Dengan sedikit editan saya posting ulang dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI.

HADIAH JEPANG DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI : MENGINGAT 21 TENTARA JEPANG DI TAMAN MAKAM PAHLAWAN MEDAN

Ini episode dalam sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlupakan. Di Sumatera Utara dan Aceh ada 80 orang serdadu Jepang yang membantu perjuangan bersenjata dalam perang kemerdekaan 1945-1949. Diantaranya 21 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jalan Si Singamangaraja Medan. Untuk seluruh Indonesia jumlah tentara Jepang yang “menyeberang” membantu Indonesia dalam perang kemerdekaan ada 324 orang. Historiografi resmi Indonesia senyap, alpa tak menceritakan mereka.

Kisah ini saya dapatkan berawal dari Masatahi Ito yang sempat menjadi mahasiswa saya di jurusan Antropologi Sosial pasca Sarjana Unimed tahun 2010-2011. Dia kandidat doktor dari Nihon University Jepang yang dititipkan Prof. Usman Pelly pada saya karena Ito sebelum promosi doktor diharuskan kuliah bahasa dan kebudayaan Indonesia selama setahun di Medan. Menjelang kepulangannya ke Jepang saya tugaskan dia ceramah tentang penelitiannya dengan topik “Keturunan dan Kebudayaan Jepang di Medan” pada 18 Maret 2011 di Pascasarjana Unimed (berita ceramah dapat diakses di internet lewat koran Medan Bisnis, dan Sumut Pos 18.3.2011).

Menjelang ceramah itu saya minta pada Ito dapat kiranya saya dipertemukan dengan nara sumbernya, salah satu keturunan serdadu Jepang yang ada di Medan. Tak diduga Ito langsung membawa Bapak Johan Sato (putra tentara Jepang Shichiro Sato) ke kantor saya di prodi Ansos Pasca Unimed dan dari percakapan saya dengan pak Johan saya rasakan kegetiran pak Johan ketika bicara tentang sejarah ayahnya dan kawan kawan ayahnya yang katanya tidak ditulis dalam sejarah Indonesia.

Terharu pada kisah pak Johan Sato, saya utuslah saat itu mahasiswa bimbingan saya, Eviliana Sari menulis skripsi dengan tajuk “Peranan Orang Jepang Pada Perang Kemerdekaan di Sumatera Utara (1945-1949)” , memawawancarai pak Johan Kato dan informan lainnya, dan mengungkap sekeping hadiah Jepang terlupakan dalam perang kemerdekaan RI. Penelitian dan penulisan lanjutan tentang ini dilakukan tahun 2016 untuk diterbitkan menjadi buku.

Ke 80 orang Jepang yang membantu perjuangan kemerdekaan RI di Sumut dan Aceh itu di samping melatih para pejuang dibidang penggunaan senjata dan strategi perang termasuk pembuatan peluru serta bom juga ikut bertempur. Djamin Gintings termasuk pahlawan nasional RI yang mengaku di pengungsian dia dibantu Inoe Teksuro dalam membuat peluru, merubah bom menjadi dinamit dan di pedalaman membuat pabrik peluru berproduksi 500 butir perhari. Juga pejuang Bedjo yang pasukannya memiliki senjata paling lengkap di Medan, mengaku sangat dibantu oleh Shichiro Sato dan teman teman Jepangnya dalam perang Medan Area.

Kita, dalam faham Semangat 45 nasionalisme Indonesia, sejak SD harus diajarkan : “Kemerdekaan Indonesia Bukan Hadiah Jepang” (walaupun paradoks juga anak anak kita hafal siapa yang membentuk dan apa bahasa Jepangnya BPUPKI, PPKI, dan rumah Laksamana Maeda tempat perumusan naskah Proklamasi malam 17 Agustus).

Lalu setelah kita dewasa haruskah kita tutup mata terhadap banyaknya “bantuan” Jepang dalam mencapai kemerdekaan Indonesia? Padahal para pejuang dan pahlawan kita, termasuk pengurus makam pahlawan sajapun mengakui peran dan jasa mereka. Dari 21 yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Medan , 14 menjadi muallaf, masuk Islam, termasuk Tengku Yahya itu.

Makam Serdadu Jepang, Bernama Tengku Yahya
TSUSHIMA MASAYUKI ( TENGKU YAHYA) dan HIDEO TERUYAMA (AHMAD MARKUS)

Sisi buruk masa pendudukan Jepang di Indonesia sudah banyak ditulis. Tapi adilkah kita terhadap masa lalu, saat jasa dan bantuan mereka tidak kita nilai ada, dalam penulisan dan pembelajaran sejarah kita?

Penulis : Dr. Phil. Ichwan Azhari M.S.
sejarawan, pengajar dan ahli filologi (filolog) , Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatra Utara

- Advertisement -

Berita Terkini