Nilai-Nilai Ketakwaan Ramadan (Nilai Akhlak dan Kepemimpinan)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Nilai-nilai ibadah di bulan Ramadan yang sudah kita lakukan harus kita pertahankan hingga kita insya Allah bisa bertemu dengan Ramadan berikutnya, sehingga selalu ada magfirah, rahmah, dan fitrah (jiwa raga kita terus tersucikan) di antara Ramadan dengan Ramadan berikutnya. Inilah bukti betapa penting dan utamanya ibadah puasa Ramadan itu, sehingga di dalamnya terkandung dan terikut dengan sendirinya amalan-amalan yang mengiringnya, yaitu nilai-nilai ketakwaan Siyam Ramadan.

Prof. Mahmud Yunus dalam Tafsir Quran Karim-nya menjelaskan hikmah puasa Ramadan bahwa Allah telah mewajibkan puasa, yaitu menahan nafsu dari makan dan bersetubuh pada siang Ramadan, hikmahnya ialah untuk mendidik rohani dan budi pekerti. Orang yang suka menahan nafsunya, karena semata-mata mengikuti perintah Allah, niscaya akan terdidik mengingat Allah tiap-tiap waktu, serta malu kepada-Nya akan memperbuat dosa.

Oleh sebab itu, ia tidak suka memakan hak orang dengan jalan menipu atau korupsi, meskipun amat tersembunyi. Sedangkan memakan yang halal, kepunyaan dia sendiri dalam puasa, ia dapat menahan nafsunya, apalagi memakan yang haram, hak orang lain atau berbuat yang dilarang Allah. Dan lagi orang yang puasa itu, waktu ia merasa kelaparan, tentu ia teringat kepada fakir miskin, yang setiap hari merasa kelaparan. Dengan jalan begitu tertariklah hatinya untuk berderma kepada mereka. Jiwanya mengendalikan dirinya, yang halal saja dia bisa menahannya apalagi yang haram.

Jiwa kepemimpinanya dilatih selama sebulan. Kenapa satu bulan? Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya Emotional Spritual Quotient, menjelaskan bahwa prilaku manusia itu lahir karena adanya latihan dan pembiasaan, dan waktu yang diperlukan mendidik jiwa agar lebih baik diperlukan waktu sebulan. Kebiasaan yang baik dilakukan selama Ramadan diharapkan terus dilakukan setelah Ramadan. Dengan cara puasa nilai akhlak dan kepemimpinan terlatih, mengendalikan nafsunya, sehingga bisa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan keadilan.

Saat ini nilai kepemimpinan sangatlah langka di negeri kita, jangankan menjadi imam ‘adil, merebut kekuasaan saja sulit. Non muslim dengan segala cara ingin merebut kekuasaan dari tangan umat islam. Mereka tidak rela jika umat islam yang memimpin karena pasti kepentingan mereka terganggu. Jihad terbesar, dakwah terbesar, dan butuh nyali besar untuk bisa memimpin, berkuasa di negeri ini agar bisa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi saw bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Karena betapa hebatnya pengaruh kekuasaan itu, dengan berkuasa kemungkaran bisa lebih mudah untuk di cegah, kerusakan moral, dan watak penjajahan bisa dikendalikan.

Contoh dalam hal ini, Gubernur Jakarta Anis Baswedan – hanya modal tanda tangan (karena berkuasa), mampu menutup Alexis tempat hiburan yang merusak moral, begitu juga menyegel Reklamasi sebagai bentuk kepentingan aseng dan asing, bentuk penjajahan. Bandingkan dengan pengaruh dakwah hanya dengan lisan dan hati. Karena pengaruh yang besar dakwah dengan tangan ini, pantaslah jika pemimpin adil itu kelak di hari kiamat sebagai orang pertama dari tujuh orang yang di naungi Allah swt yang pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya.

Jadi, sangat heran bagi kita sebagai umat islam jika masih ada yang mengagumi, memilih, dan mengangkat pemimpin kafir yang Allah larang sebanyak 19 ayat dalam Alquran, bandingkan larangan berzina hanya 5 ayat, minum khamar 3 ayat, dan makan daging babi hanya 4 ayat. Jelas, bahwa ini bukan hanya sekedar imannya yang lemah dalam mencegah kemungkaran, bahkan justru membuat kemungkaran itu sendiri dan berbuat berdosa besar.

Kalau sudah non Islam yang berkuasa, jelas kita terjajah, tidak bisa lagi berbuat apa-apa, tanah kita menyewa, air kita beli, kita jadi babu di negeri sendiri yang alamnya seperti surga. Akankah kita mengulang sejarah yang seperti ini. Mana ada logika, yang bukan bagian dari kita (jika aseng-asing berkuasa) akan memperjuangkan hak-hak kita.
Jelas dan tegas Allah katakan dalam Alquran:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti milah mereka…” (QS. al-Baqarah/2: 120).

Bersambung ke Bagian 3 …

Oleh: Faisal Amri Al-Azhari, M.Ag

P. Berandan, 4 Syawal 1440 / 8 Juni 2019

- Advertisement -

Berita Terkini