Pemimpin Harus Dekat Dengan Ulama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh;M. Roni l Secara umum data temuan riset menunjukkan bahwa ada kontestasi di ruang public di Indonesia Antara dua orientasi pandangan keislaman, yaitu orientasi islam politik (islamisme) dan orientasi islam kultural. Tingkat penerimaan dan keterpengaruhan masyaraat terhadap paparan islam diruang publik, dan terakhir hubungan islam di ruang publik dengan demokrasi, dan keterkaitan pemimpin dan ulama.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan,

“Ada dua golongan di antara umat manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah seluruh manusia, dan apabila kedua golongan itu rusak maka rusaklah seluruh manusia, yaitu ulama dan umara” (HR. Abu Nu’aim ).

Para ulama merupakan sosok yang menjadi representasi dari kebenaran sejati. Mereka adalah penyambung lidah para nabi yang mampu mengungkapkan makna agama yang hakiki. Menerangkan persoalan syariat sesuai dengan tuntunan ilahi. Menjaga keutuhan agama dari penyelewengan para pembenci. Membimbing umat ke arah jalan yang Allah ridhai. Karena itulah, mereka layak mendapatkan kehormatan sebagai pewaris para nabi.

Islam dapat tegak dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan negara bila antara ulama dan umara (penguasa) saling menghormati dan menghargai serta bekerja sama dengan niat ikhlas untuk kebaikan umat seluruhnya. Para ulama harus di tempatkan pada posisi dan kedudukannya sebagai pembina umat. Ulama mempunyai tugas utama melakukanTafaqquh fid diin (memberikan pemahaman tentang agama) dan memberikan peringatan kepada masyarakat serta membimbing umat dengan petunjuk-petunjuk ilahiyah (ketuhanan).
Dalam islam, seorang pemimpin sering diistilahkan juga dengan ulil amri, yaitu orang yang memegang kendali urusan umat.

Dalam Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Ketika menafsirkan makna ulil amri dalam ayat di atas, para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada dua pendapat utama yang mereka ungkapkan: Pertama, makna ulil amri adalah umara’ atau para penguasa. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Hurairah, Zaid ibnu Aslam, as-Suddiy, Muqatil dan Ibnu Abbas dalam satu riwayat. Kedua, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama (para ulama). Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas, Jabir ibnu Abdillah, Hasan Bashri, Abul Aliyah, Atho’, an-Nakha’i, adh-Dhahak dan Mujahid

Mari kita lihat sebaliknya, bersamanya ulama dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin, kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitulah Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur rasyidin-pun masih mengikuti konsep yang sama yaitu, pemimpin dan ulama dalam satu pribadi. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah ulama sekaligus umara pada waktu yang sama. Dari sini kita dapat memahami, bahwa kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa umat atau masyarakat Insya Allah akan aman, beriman dan sejahtera, apabila mempunyai pemimpin yang berjiwa ulama, atau ulama yang menjadi pemimpin. Karena ulama adalah pemimpim yang harus memiliki jiwa yang amanah, adil, jujur, profesional serta pengabdian untuk umat. Juga seorang pemimpin haruslah terbuka, karenanya akan memberikan andil yang positif guna mendewasakan masyarakatnya.

Berperilaku seperti ini menunjukkan bahwa menjadi pemimpin yang siap dikoreksi, dikritik, dan dikasih masukan guna kemajuan bersama. Jika hal ini dilakukan, maka akan terbentuklah suatu komunitas yang harmonis, sehingga menjadi masyarakat yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, untuk menuju masyarakat yang maju. Dan kita berharap semoga melalui pesta demokrasi yang kita hadapi dalam tahun 2018 ini kita berharap proses ini mampu melahirkan pemimpin dan ulama yang saling berdampingan. Wallahu A’lam.Red/MN

- Advertisement -

Berita Terkini