[Profil] Dr. H. Arifinsyah, Berjuang Menempuh Pendidikan Hingga Menjadi Tokoh

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Laporan: Dian Rahmad

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai keorganisasian dan akademik sudah bukan hal yang baru baginya. Kehidupan yang tidak mudah telah ia jalani dan rasakan. Pahit manisnya hidup telah ia tempuh. Dengan tekad dan kemauan yang keras ia mendobrak keterbatasan dalam dirinya dan mampu melawan segala bentuk keterbatasan itu dengan segala potensi yang ada.

Dr. H. Arifinsyah, dilahirkan di sebuah Dusun kecil bernama Dusun Bambu, Kampung Medang, Kecamatan Medang Deras Kabupaten Asahan, sekarang Kabupaten Batubara, pada 9 September 1967. Dari sorang ayah bernama Syahroni Bin Idin dan seorang ibu bernama Nurkiah Binti Mahidi. Ia merupakan anak tertua dari 6 berseudara di antara satu perempuan dan 5 orang laki-laki.

Sejak kecil dibesarkan di kalangan petani kecil juga nelayan kecil yang berkaitan erat secara geografis dengan tempat tinggalnya yang dekat dengan pantai atau daerah pesisir. Dari keluarga yang sangat sederhana dan terkadang memprihatinkan tersebut ia dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai agama yang baik.

Ia bercerita bahwa dahulu rumah keluarganya sering dijadikan tempat belajar mengaji oleh masyarakat kampung yang atas inisiatif orang tuanya untuk menyediakan tempat di rumahnya yang sederhana.

“Kalau orang kampung itu, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya jarang-jarang, bisa dari satu rumah ke rumah lain 100 meter jaraknya. Jadi kalau mau mengaji ke rumah kami itu malam-malam orang kampung membawa obor. Saya sering duduk di sebelah ayah saya waktu mereka mengaji, sehingga terbangunlah sama saya kebiasaan membaca Al-Quran itu,” ia mengisahkan.

Dari nilai-nilai keagaman yang baik itu ia pun mulai bergaul dengan para mualim di dusunnya. Maka seiring berjalannya waktu ia pun semakin terbiasa dengan nilai keagamaan yang kuat.

“Ayah saya mualim, di samping sebagai nelayan, malam-malam juga memimpin perwiritan di kampung itu, saya ikut tahlil dan dulu saya dilatih membaca di situ. Kemudian mengaji kitab tauhid. Bahwa dari kecil saya terbiasa dengan nila-nilai keislaman, tingkat religiusitas itu tinggi karena orang tua saya menanam itu dari kecil,” ungkapnya.

Begitulah keseharian Dr. Arifinsyah semasa kecil dengan penuh kesederhanaan namun tetap mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang dianggap luhur. Ia mengaku, dalam hal perekonomian keluarga, selalu terpenuhi secukupnya dengan hasil kerja ayahnya sebagai nelayan.

Namun seketika kehidupannya mulai berubah dan dirasa semakin sulit ketika ayahnya meninggalkan keluarga tercintanya untuk menemui sang maha pencipta di usia yang masih muda. Di usia 37 tahun, ketika Arifinsyah beranjak memasuki usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia telah kehilangan seorang ayah.
“Waktu SMP, waktu meninggal ayah, di kampung tak ada SMP negeri, yang ada hanya sekolah swasta. Jaraknya 20 km dari rumah, baru jumpa SMP negeri. Saya nggak sanggup kalau harus masuk SMP swasta, karena pakai bayar. Waktu zaman Soeharto sekolah itu gratis, buku gratis. Jadi saya testing, SMP Negeri Pare-Pare, dari rumah pergi sekolah naik sepeda dengan jaraknya 20 km pergi 20 km pulang,” ia mengisahkan.

Sejak saat itu segala kebutuhan kehidupan dalam keluarganya ia tanggung berdua bersama dengan ibunya. Dalam usianya yang seharusnya ia fokuskan untuk belajar dan bermain layaknya anak-anak seusianya, iapun tetap menempuh pendidikan dan bekerja keras agar tetap bertahan hidup dengan kondisi tanpa ayah. Mulai dari menerima upah sebagai pemanjat kelapa, mengupas kelapa hingga kelapa menjadi ‘koprah’.

Dari kerja kerasnya itu, setiap gandeng (dua butir) kelapa ia menerima upah sebasar Rp. 5. Dari uang tersebut ia mampu membantu keluarganya membeli minyak lampu (minyak tanah) satu liter yang digunakan sebagai alat penerangan karena pada masa itu, di tahun 70-an, dusunnya belum dialiri listrik.
“Ingat saya satu gandeng itu 5 perak, 5 perak waktu itu sudah bisa beli minyak lampu 1 liter, tahun 70 an, kondisi kampung kami itu tak ada listrik kalau sudah malam hari, gelap, mau kemana pun takut,” kisahnya lagi.

Di samping itu ia juga ikut membantu ibunya berladang (berkebun). Ia membersihkan lahan, mencangkul sementara ibunya menanam.

“Kalau mamak saya keladang saya juga ikut keladang, hanya membajak aja, membersihkan, mencangkul, nanti mamak yang menanam. Pulang sebentar kami masih memasak lagi, siap memasak bawa lagi ke ladang. Di ladang kami bakar-bakar ikan asin. Kenapa ikan asin? karena saya seminggu sekali kalau libur menjala (menangkap) ikan di pinggir sungai. Ikan belanak itu, sekali bawa banyak, di jemur dan di asin. Itu untuk stok seminggu, sangking susahnya. Nah itu kayunya dari mana? Dari pelepah kelapa, kita geret dari hutan, dijemur sama serabut-serabut itu kita jemur. Itu lah kita buat untuk alat masak. Kadang abu itu naik, jadi kalau ikan asin itu kita masak ikutlah abu itu kita makan ,” Arifinsyah mengisahkan kenangan yang dianggapnya sangat indah sekaligus mengharukan itu.
Ia juga sering mengalami beberapa hari tidak memakan nasi dan hanya memakan ubi rebus sebagai pengisi perut agar tidak kelaparan.

Waktu terus berjalan, hingga ia mamasuki usia remaja, ia pun memasuki masa SMA. Ia pun selalu memegang teguh perkataan ibunya yang hingga kini tetap menjadi motifasinya ketika ia mengalami kebuntuan dan kejenuhan dalam menempuh pendidikan, yang sekaligus membuatnya haru. Ibunya pernah memesankan padanya untuk tetap menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
“Sekolah lah kau jangan sampai dibodohi seperti kami, kau sekolah, kau pintar, kau sonang (senang/bahagia, red.) nggak miskin kayak kita sekarang,” katanya menyebutkan perkataan ibunya, dengan hampir meneteskan air mata.

Dengan motivasi kuat itulah ia kemudian melanjutkan pendidikannya di sebuah SMA negeri satu-satunya yang ada di daerahnya kala itu dengan mengikuti seleksi yang ketat. Di sekolahnya yang baru ia mulai menempuh prestasi yang dapat dikatakan cukup membanggakan orang tuanya. Tak hanya selalu menjadi juara kelas, ia juga selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstra di sekolahnya.

Di tahun 1987, ia pun menyelesaikan studinya di SMA. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat ingin melanjutkan jenjang pendidikannya seperti yang pernah dipesankan oleh ibunya. Namun kondisi pada masa itu, akses informasi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan sangat tertutup, disamping ia juga harus memikirkan biaya yang tentu tak sedikit jika ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah.

Namun Allah SWT menjawab doa dan keinginannya yang sangat keras untuk melanjutkan cita-citanya. Suatu ketika, di dusunnya ia menjadi ketua panitia dalam acara Maulid Nabi Muhammad. Sebagai ketua panitia, ia berkesempatan memberi kata sambutan di depan para hadirin yang menghadiri acara tersebut.
Karena tergolong orang yang dianggap penting, sebagai ketua panitia, ia pun duduk di antara Ustad dan undangan khusus. Di antara undangan khusus tersbut ia pun berbincang-bincang ringan. Sampai pada suatu pembicaran, salah seorang ustad menanyakan tentang pendidikannya. Dan ia pun menjelaskan bahwa ia telah tamat SMA.

Ustadz tersebut bertanya kepadanya mengenai apakah ia ingin melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

“Kamu sudah tamat SMA?,” tanya ustad tersebut

“Ya, alhamdulillah sudah pak,” jawabnya

“Kenapa nggak lanjut kuliah? Kamu pandai mengaji?,” lanjut ustad penasaran dengan Dr. Arifinsyah.

“Alhamdulillah bisa pak, udah biasa juga,” jawabnya malu-malu.

“Ya udah, kamu berangkat ke Medan, nanti jumpa saya di sana,” kata ustad hingga mengejutkan Arifin.

Ia pun terheran-heran kebingungan bercampur bahagia karena mendapatkan tanda-tanda bahwa ia akan dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, lalu bertanya, “di mana itu pak? Saya tidak tahu”.

Dengan berbekal semangat, ia pun pulang ke rumah dan menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Namun ada hal yang hampir membuatnya patah arah ketika ibunya merasa sangat khawatir akan kondisinya yang akan pergi jauh meninggalkan kampung halaman dengan kondisi yang serba terbatas.

Namun karena tekadnya sudah bulat untuk menempuh pendidikan yang tinggi ia pun berhasil meyakinkan ibu tercintanya untuk tetap mendukung dan mendoakannya agar dapat menjadi orang yang besar dan sukses di hari depan.

Ia pun berangkat ke Kota Medan dengan berbekal doa, harapan, rasa bangga serta air mata ibunya. Tak sampai di situ, orang-orang di kampungnya pun serta merta menyertainya dengan penuh harap, ada juga yang mencemooh.

Dengan mengantongi alamat Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara (IAIN-SU)- sekarang Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)- yang diberikan oleh ustad yang dijumpainya pada acara maulid Nabi Muhammad yang dengan singkat mengubah perjalanan hidupnya, ia pun berangkat ke Medan seperti yang ia rencanakan.

“Dulu ada mobil indarayaman namanya, sekali pergi sekali pulang. Ustad itu kasih alamat IAIN. Yang disiapkan dari rumah itu beras sama ikan asin. Waktu itukan tak ada hp (handphone), kontak tak ada, gak tau saya mau ke mana, tapi saya tempuh saja. Pergilah saya macam mau ke Mekah, datanglah orang sekampung, ada yang menghina juga. Jalan kaki untuk dapat angkot, dapat lah indaryaman, waku itu dari Kuala Tanjung ke Medan, di tempuh hampir satu hari, karena ngak bisa kencang mobil indrayaman itu,” kisahnya kepada MUDANews.com.

Singkat cerita, ia pun tiba di Medan dengan rasa bingung dan was-was. Beberapa hari mengalami kondisi terlantar, sempat tinggal dan membantu-bantu membersihkan masjid, dan akhirnya ia sampai di kampus tujuannya dengan bantuan seorang senior di IAIN-SU.

Kehidupan perkuliahannya pun mulai berjalan. Ia mulai menjalani aktifitas perkuliahan di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Study Islam IAIN/UIN-SU pada tahun 1987. Namun bukan berarti semua berjalan mulus. Ia juga sempat mengalami kebingungan akan persoalan tempat tinggal, uang kuliah dan lain sebagainya.

Bahkan pada semester ke empat, ia sempat hampir tidak dapat melanjutkan perkuliahannya dikarenakan persoalan biaya. Ia sempat mengatakan kepada Dekan bahwa ia tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak sanggup membayar uang kuliah yang dibebankan pada waktu itu sebesar Rp 33.000.

Namun sekali lagi Allah berkehendak lain, ia kembali diberi kesempatan untuk dapat melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Hal ini dikarenakan ia merupakan mahasiswa yang berprestasi sangat baik, dan hal ini telah diketahui oleh Dekan Fakultas pada masa itu. Ia pun diberi beasiswa untuk melanjutkan kuliah geratis dan ditambah dengan uang saku, dengan status mahasiswa berprestasi.

Disamping aktivitas perkuliahannya yang padat dan penuh prestasi ia juga masih dapat membagi waktunya dengan berorganisasi. Ia mengaku bahwa ia memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa yang dianggapnya mampu memberi proses belajar yang baik.

“Tahun 87 saya diajak senior maperca, semester satu saya udah masuk HMI. Tahun 88 saya Latihan Kader (LK 1), tahun 89 saya LK2 dan tahun 90 saya ikut Senior Course (SC). Akhirnya saya dinyatakan resmi jadi instruktur penuh HMI pada tahun 91,” kisahnya tentang keorganisasiannya di masa kuliah.

Dengan tepat waktu, selama 3 tahun 8 bulan, iapun menyelesaikan kuliahnya dengan predikat lulusan terbaik ditahun 1991. Ia menceritakan bahwa ketika pada acara pengukuhannya sebagai sarjana, juga dihadiri oleh Menteri Agama pada masa itu dan berpidato mengenai kesempatan bagi lulusan terbaik, termasuk dirinya untuk dipromosikan sebagai dosen.

Dengan penuh kebanggaan ia pun pulang ke kampungnya dengan dada yang lapang disambut meriah oleh seluruh keluarga dan kerabatnya, tak terlepas orang-orang yang awalnya mencemooh juga ikut merasakan kemenangannya.

Ketika itu ia pun sering dipanggil sebagai penceramah di kampungnya. Ia bercerita, ketika ia menerima honor dari hasil berceramah, dan pulang dengan menghadiahkan uang hasil ceramahnya kepada ibunya. Namun dengan perasaan haru ibunya pun menolak pemberiannya itu. Dan ibunya pun berkata, ”bawalah kembali uang mu ke Medan, mamak doakan kau sukses”. Sembari kembali menahan air mata, iapun menceritakan kisahnya yang kembali menjadi motivasinya hingga dapat berjuang hingga kini menjadi salah satu calon Profesor.

Dengan kembali mendapat dorongan dari ibunda tercintanya, ia pun kembali bertarung di Medan. Selanjutnay ia pun menjadi dosen dan sempat ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Keagamaan Fakultas Ushuluddin dan Study Islam IAIN-SU pada tahun 1994 dan kemudian memutuskan untuk mengakhiri masa lajang dengan menikahi Hj Nuraida.

Melanjutkan jenjang pendidikan S2-nya pada tahun 1997. Dan kemudian menamatkan studi S2 tersebut dengan waktu yang tidak lama, di tahun 1999. Selanjutnya ia pun melanjutkan jenjang pendidikannya lagi pada tahun 2008 hingga mendapat gelar Doktor (Dr) di tahun 2010.

Hingga kini ia pun banyak memegang posisi penting dalam beberapa organisasi, diantaranya adalah sebagai Sekretaris Jenderal Forum Kerukunan Umat Beragama Sumatera Utara (FKUB Sumut), Ketua Forum Pembaharuan Kebangsaan Sumatera Utara, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin Study Islam UIN-SU, Ketua Yayasan Pendidikan Islaiyah, dan masih banyak lagi beberapa posisi penting yang dijalaninya pada organisasi lain, baik dalam bidang akademi maupun non akademi.

Tak sampai di situ, sebagai seorang akademisi tulen ia juga banyak menghasilkan karya pemikiran berupa buku. Adapun hasil karya pemikirannya tersebut diantaranya adalah, Pluralisme Kontemporer (2003) penerbit Cipta Pustaka Bandung, Tema Pokok Agama Studi Perbandingan Islam dan Kristen (2006) penerbit Alhijri Jakarta, Dialog Global Antar Agama (2009) penerbit Cipta Pustaka, Peta Group Kerukunan Beragama Di Sumatera Utara (2011) penerbit Cipta Pustaka, FKUB dan Resolusi Konflik Mengurai Kerukunan di Sumatera Utara (2013) penerbit Cipta Pustaka, Multikultural Kebangsaan dangan pengantar oleh Akbar Tanjung (2013) penerbit Cipta Pustaka, dan masih banyak lagi buku yang ia terbitkan di samping ia juga menerbitkan jurnal yang terakreditasi nasional dan internasional.

Hingga kini iapun menjadi salah seorang tokoh kerukunan umat beragama bersama dengan FKUB yang digerakkannya. Dan ia juga tetap menjadi seorang akademisi yang matang mengingat gelar Profesor akan melekat pada diri dan namanya.

Sebagai seorang akademisi dan tokoh kerukunan umat beragama, ia juga kerap melakukan penelitian mengenai kondisi kerukunan antar umat beragama di Sumatera Utara. Sebgai seorang tokoh kerukunan umat beragama pun ia menilai bahwa Sumatera Utara adalah daerah yang sangat kondusif.

Dengan nilai-nilai keagamaan yang baik dan pendidikan yang mumpuni, saat ini ia menjalani aktivitas yang sangat padat dengan berbagai peran yang diambilnya dalam membina kehidupan umat, khususnya umat beragama di Sumatera Utara dan menjadi tokoh yang selalu didengar dan diperhitungkan di kalangan akademisi dan pegiat kerukunan antar umat beragama.[am]

- Advertisement -

Berita Terkini