Banjirisasi Banjir

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Ahmad Arief Tarigan

MUDANews.com – BANJIR adalah air lebay. Peristiwa dimana aliran air berlebihan merendam daratan untuk sementara waktu. Air menumpuk di jalan raya. Mengalir melintasi ruang tamu rumah. Parit meluap dan sampah menumpuk membuncah ke halaman depan. Menghalangi jalan yang biasa dilintasi orang-orang. Aktivitas rutin keseharian terganggu. Barang elektronik dan kendaraan bermotor rusak terendam air. Produktivitas pun ikut menurun. Banyak waktu terkorupsi menghadapi banjir. Berbagai penyakit rentan menghampiri. Siapa bilang ini bukan musibah?

Sekarang ini era budaya populer. Masa dimana banyak hal demikian mudahnya tersebar dan dikonsumsi banyak orang tanpa hambatan latar belakang sosial-kultural. Jauh sebelum Vicky Prasetyo dengan Vickinisasi-nya populer di stasiun tivi swasta, ‘plesetisasi’ bahasa sudah ada. Begitu juga dengan hujan. Jauh sebelum banjir menjadi viral berita media massa atau komoditi kampanye politik pilkada, hujan sudah ada. Bukan barang baru. Tidak aneh sama sekali. Dari zaman dahulu kala sudah ada hujan air. Tetiba serasa aneh karena kian kemari, hujan seolah dianggap ‘musibah’. Anggapan ini muncul karena sehabis hujan muncul banjir. Kalau begitu, mari kita luruskan, hujan bukan musibah. Musibahnya ialah banjir air paska hujan menyirami bumi.

Kalau banjir adalah volume air berlebihan pada tempat tak semestinya, pertanyaannya sekarang: bagaimana menata air tersebut agar berada pada tempat sewajarnya? Saya tak berminat membahasnya dari sisi teknisisasi. Bukankah kemarin itu, pengerjaan perbaikan teknis saluran air massif dilakukan di banyak ruas jalan di kota Medan? Namun, faktanya ‘berbanding lurus’ dengan banjir yang terjadi di banyak jalan pula. Bukan meremehkan kerjaan teknis, tapi biarlah urusan begitu ditinjau para ahli berkompeten. Di sini, kita menelisiknya dari sisi pewacanaan budaya. Dari sisi kebahasaan yang sering diabaikan walau sejatinya menampilkan daya jangkau berpikir kita.

Ada peribahasa lama “Ala bisa karena biasa’. Awalnya coba-coba, terlampau sering jadi biasa. Tak ada masalah, semua biasa saja. Dari yang biasa ini kemudian statusnya meningkat menjadi kebiasaan. Kualitas nilai pun turut serta berubah. Dari kebiasaan yang biasa saja berubah makna menjadi sakral. Sesuatu yang wajib dan penting keberadaannya. Kalau tak ada, kurang lengkap rasanya. Ibarat sayur tanpa garam. Kurang pas. Kurang sedap. Kurang mantap. Kalau tak pas, tak sedap, ya tak mantaplah.

Semoga kita tidak sedang terbiasa dengan banjir. Tidak terbiasa pula bertindak lebay. Suka berlebihan merespon segala sesuatu hal. Sampai kehilangan fokus penyelesaian masalah. Memperbaiki drainasi air lebih mementingkan foto dan ‘marah-marahnya’ untuk dipublikasi media massa ketimbang kebutuhan teknis riil. Lebih mementingkan spanduk ‘buanglah sampah pada tempatnya’ plus foto selfi pejabat beserta Nyonya ketimbang penguatan sistem dan aplikasi pengawasan lapangan. “Marah, marah jugak! Selfi, selfi jugak! Banjir, banjir juga! Lebay kali ah!”

Membiasakan yang baik dalam kehidupan, siapa pula tak mau? Selain sesuai ajaran dan petuah lama, kebaikan hidup juga idaman semua. Walau banyak cara manusia menafsirkannya, tetap saja sama tujuannya: kehidupan yang baik. Saat membicarakan ‘kehidupan’ kita tentu sepakat ini bukan urusan satu atau dua orang saja. Ini tentang banyak orang, dari satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya. Orang-orang yang menjalani kehidupan bersama dan berinteraksi satu sama lain sesuai proporsi dan profesionalitas. Tidak perlu merumitkan masalah. Proporsional dan profesional. Selebihnya, silahkan lebay pada porsinya saja.

Penulis adalah Pegiat dan Pengamat Sosial Budaya

- Advertisement -

Berita Terkini