[Cerpen] Dalam Bayang Dalam Kenang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Sugih Hartono

MUDANews.com – Tak mungkin rasanya aku akan melupakan betapa indahnya bukit ini. Bukit yang ditumbuhi rerumputan, pepohonan dari yang kecil sampai yang besar berderet memanjang dan menjulang, bunga-bunga yang tumbuh dengan sendirinya, mewangi dan berwarna warni. Menambah cantiknya bukit itu. Hampir setiap senja hari aku duduk di beranda bambu rumah rakit ibuku, yang dibuat oleh bapak lima tahun lalu. Di danau ini, semua hidupku terlukis disini. Menggumpal menjadi romantika yang kurasa begitu indah. Kenanganku selalu terjemput ketika aku dalam gamang, Itu semua menjadi obat paling mujarab. Rakit-rakit yang berjajar rapi seperti gerbong-gerbong kereta. Tangguk yang terpasung membisu menanti ikan-ikan bersambang ria padanya. Lalu sampang-sampang kecil yang hilir mudik atau berberbondong-bondong menuju rumah rakit sepulang dari menangkap ikan, juga melakukan aktifitas kehidupan. Ah aku lupa pada rumah rakit itu, ya tentang daun-daun rumbia, juga anyaman bambu sebagai dinding itu, tungku-tungku yang mengepul dan aroma tempoyak ikan yang dimasak ibu-ibu di rumah rakit itu.

Di waktu sore, anak-anak mandi bersama teman-temannya, merenangi danau ini tapi tak begitu jauh, dipinggir-pinggir rumah saja. Tawa-tawa kecil mereka membuatku selalu rindu. Kecipak air yang jernih yang ditawu oleh tangan-tangan mungil mereka, aku hanya tersenyum dalam kenangan masa kecilku yang sama seperti mereka. Berberapa ibu-ibu mencuci pakaian atau sedang menyauk air dengan jun-jun* sedang lalu dibawa masuk kedapur.  Anak-anak yang bersiap mengaji berjalan meniti jalan rakit menuju rumah darat, ya rumah pembesar negeri ini ia dulunya seorang pedagang dari negeri seberang, kami biasa memanggilnya Syeh. Beberapa gadis yang mungkin berhalangan mengaji nampak membantu ibu bapakknya menyiang ikan atau membantu mengemasi barang bawaan bapaknya masing-masing. Dan aku, hanya tandus diriuhnya aktivitas itu di sini.

“Abang sedang apa?” suara lembut dari balik pintu terdengar menyapaku, langkahnya berdecak menuju luar pintu.

“Ah sedang menikmati sore Tin” jawabku sembarik membalikkan mukaku menuju sumber suara itu.

Ia perempuanku, Aisyah As Syarifah tetapi aku suka memanggilnya Tin, aku juga tidak tau mengapa aku memanggilnya Tin, ada rasa nyaman saja ketika ku sebutkan nama itu untuk dia. Ia mendekatiku yang sedari tadi duduk di beranda bambu ini, kemudian duduk dan membiarkan kaki juga kainnya menggelantung dan berenang dicumbuan air.

“Coba kau pandang itu Tin” ujarku sembari menjulurkan telunjukku mengarah ke perbukitan yang seolah sedari tadi memperhatikanku dengan senyum indahnya.

“Hmmm…” ia tak membalas, hanya berdehem dan memejamkan matanya, menghembuskan nafasnya perlahan dan menariknya perlahan pula.

“Apa yang kau rasakan Tin” tanyaku

“Segar” jawabnya

Lalu aku mengikutinya beberapa lama.

“ Dulu bukit itu hutan belantara, meskipun tak semuanya, di atas sana ada singga sana maha raja negeri ini, tak begitu jauh tetapi cukuplah membuat ngilu kaki ketika berjalan” gumamku perlahan.

“Iya bang, dulu ketika Tin masih kecil, Tin pernah di ajak bapak keliling bukit itu, Tin tak tau apa maksud bapak waktu itu, yang jelas Tin merasakan kebebasan dan ingin mengulanginya lagi kala itu”

“Pernah beberapa kali Tin kabur dan ingin pergi menjemput kebebasan tapi yah begitulah, ah tetapi akhirnya Tin bisa juga melakukan aksi itumeskipun Tin tau jika ketahuan apa hukumannya” tambahnya berkisah

“Ah cerita itu sudah sering kau ceritakan padaku Tin”

“ Di balik kebengalanku itu, ada sekelumit kisah yang begitu membekas diingatan bang”.

“Tentang tepian danau itukah? Atau taman Raja?” jawabku memancing senyum simpulnya yang selalu membuatku tenang.

“Ah…abang…, kedua-duanya ialah ingatan yang selalu kuulang karena memberiku hidup dan merasakan kebebasan bang”

“Ceritakan lagi hai manisku”

“Hmm” jawabnya tersipu

“Aku hanya ingin kembali dan merasakan keindahan itu”

Ia tak menjawab, hanya memandangiku lekat-lekat, tanpa membuang senyum mungil yang ah membuatku mabuk, raut manja itu sungguh begitu anggun.

***

Suatu siang.

Bukit itu, aku melepaskan lelah dipinggiran danau, sambil melihat rumah bapak dan emak yang mengapung di pojok danau ini. Meskipun dekat aku tak bisa pulang, mungkin hanya sesekali. Mungkin sampai aku tua atau gugur dimedan perang tak bisa kembali kerumah bapak, aku penjaga tepatnya prajurit yang diambil untuk mengabdi di kerajaan ini, awalnya dengan senang hati karena itu cita-citaku semenjak kecil, tapi aku kadang ingin pulang menghabiskan waktu bersama bapak dan ibu di rumah rakit itu.

Seperti biasa aku bergantian dengan teman sesama prajurit jaga untuk istirahat, kini giliranku istirahat. Karena aku tak begitu suka dengan kongko-kongko di pendopo, lalu aku pergi untuk mencari ketenangan di dalam belantara, aku lebih suka suasana itu. Menyusuri jalan, pohon-pohon, tak jarang aku menggoda burung-burung yang resah mencari pasangannya atau karena dikagetkan oleh bajing-bajing kecil. Aku hanya tersenyum. Sampai tak sadar sudah sampai pinggiran danau, aku dapat melihat rumah-rumah rakit terutama rumah bapak dan ibu. Beberapa menit aku terpaku, pandanganku masih menuju objek yang sama, pikirku ngambang.

“Aku rindu pulang” gumamku

“Mengapa kau tak pulang” sebuah suara menyahut, kulihat sekeliling tempatku berdiri tak ada sesiapapun.

Kemudian aku mencari tempat untuk merebahkan badan, kudapati akar-akar yang menggelantung di tepi bukit itu, lalu turun saja aku dan mulai merebahkan badanku di akar itu. Begitu badan telah bersandar, angin menggoda dengan indahnya, hampir saja mataku kalah bertarung dengan rayuan sepoi itu.

“Tak jadi pulang?”

Suara itu muncul kembali, kontan saja aku kaget dan penasaran, lalu berdiri dan mencari siapa gerangan yang bersuara tak berupa itu, di bawah pohon yang agak condong, seorang perempuan duduk bersipuh, dengan tengkuluk berwarna kuning keemasan membenamkan kepalanya. Wajahnya tak begitu terlihat hanya sebagian saja, berdagu runcing, bibirnya berwarna merah, tirus, berkulit kuning kemerah-merahan bersih sekali.

“Kamu siapa” tanyaku

“Tidak-tidak siapa-siapa” jawabnya pelan

Tatapannya tak mampu memandangku, mungkin takut atau mungkin memang pemalu. Sepertinya aku pernah melihatnya namun ntah dimana.

“Mengapa ada disini? Ini belantara, sangat berbahaya untuk perempuan sepertimu” gumamku

“Tidak, tidak mengapa” jawabnya halus sekali

Melihat pakaiannya itu, sebenarnya sudah terlihat bahwa ia mungkin saja keluarga pembesar namun aku tak ingin menebak-nebak.

“Maaf tuan, apa tuan ini keluarga ndalem?” tanyaku hati-hati

Perempuan itu mulai mengangkat wajahnya pelan, lamat-lamat mataku mengamati wajahnya keseluruhan, aku hanya bisa tertegun dan menelan ludah karena kecantikkannya.

“Memangnya kenapa?” jawabnya balik bertanya.

Kontan saja aku tersungkur, “ya benar dia adalah orang ndalem” batinku

“Maafkan saya tuan, saya lancang pada tuan” ucapku terbata-bata

“Aku bukan tuanmu, aku tak suka di panggil tuan atau tuan putri, aku ingin bebas bersama siapa saja”

“Maaf tuan, bukan saya membedakan tetapi itu memang tradisi tuanku”

“Sudahlah, tidak usah begitu, kau tak salah, aku yang membuntutimu sejak di persimpangan jalan disana tadi”

“Mengapa kau kemari?” tambahnya

“Maaf tuanku saya kemari biasa untuk melepaskan lelah dan menghibur diri”

“Sudahlah tak usah kau panggil tuanku, panggil saja namaku, Aisyah”

“Sungguh teramat tak sopan kiranya, bila saya harus memanggil nama tuanku”

“Tak usah dihiraukan” ucapnya singkat.

Beberapa waktu kekakuan itu berlangsung, namun ia meyakinkan dan menginginkan dipanggil nama saja. Akhirnya aku menyerah, meski canggung masih menyelubung dihatiku.

“A…Aisyah, mengapa mengikutiku?”

“Aku bosan di ndalem, aku ingin menghirup udara bebas”

“Ah di ndalem lebih menyenangkan, banyak orang diluaran ingin sekali menjadi orang ndalem

“Tidak, tidak sama sekali, mereka hanya melihat sebatas pandangan saja”

“Kenapa begitu? Bukankah memang sangat menyenangkan di ndalem, apa yang kita inginkan selalu kita dapatkan?

“Bila hanya dipandang sebatas itu, maka jawabnya benar. Namun seekor burung juga ingin terbang bebas menikmati keindahan alam. Sangkar memang menyenangkan tapi menyimpan kesesakkan pula.” Jawabnya lirih

“Kademangan mana?”

“Pulau pandan”

“Kerabat Sultan?”

“Ya begitulah, kerabat sesama manusia”

Aku diam, seketika pikiranku melayang ke pulau Pandan, ya rasanya aku pernah ketempat itu dulu bersama bapak ketika aku ikut menyauk ikan disungai Batanghari, atau ketika menunggu para saudagar yang datang dari negeri seberang. Barisan kapal dagang, saling menambat dan menukar barang-barang dagang. Dari mulai salah satu jalur masuk itu ada bangunan yang sangat megah, kokoh sekali, beberapa orang tampak serdang khusu’ bersipuh atau sedang berbincang ditempat itu. Bangunan itu dijaga Makara Kala yang gagah juga menyeramkan. Bapak bilang masih ada yang lebih indah dari bangunan itu, ya Taman Raja yang bertengger tak jauh dari jalur-jalur itu. Bapak selalu bercerita tentang itu sebagai hiburanku sebelum tidur, atas kepiawaian bapak bercerita aku sangat ingin melihat langsung bangunan itu dan Taman Raja. Saat ini aku menjadi seorang prajurit dari salah satu Taman Raja itu, tapi aku rindu pada rumah rakit bapak, rumah rakit yang membesarkanku sebenarnya.

“Hei…” tegurnya.

Aku kaget, rumah rakit hilang, dan pulau pandanpun hilang seketika.

“Malah melamun kamu Gus”sapanya yang mengagetkanku

“Ah maafkan saya, saya sedang terbawa pada ingatan masa kecil dan tempat-tempat yang diceritakan bapak dahulu. tentang pulau pandan, taman raja, dan kampung bambu, meskipun saya belum pernah menetap di kampung bambu itu.” Jawabku

“Akupun belum pernah kesana, meski dekat, aku ada disini pun karena aku melarikan diri, bila tidak mungkin kita tak jumpa”

“Hah… melarikan diri?”

“Iya aku kabur dari pengasuhku, seperti biasa rutinitas harian, aku ingin keliling taman lalu aku menghilangkan jejak dengan bersungut saat pengasuhku sedang silap, aku lari semampuku. Dipersimpangan tadi kulihat seseorang melintas lalu aku ikuti, pasti di ndalem sedang heboh”

Aku terdiam karena ketakutan.

***

Pulau Pandan

Pagi itu aku harus mengawal tuan utama sowan saudaranya di Pulau Pandan, sepanjang jalan mataku tak lepas dari dedaun yang memanggil-manggilku, gemerisik yang membisik, memanggil cerita bapak tentang pulau itu meskipun telah beberapa kali datang kesana, kurasa tak pernah ada rasa kebosanan. Aku bisa melihat bukit tempatku biasa melepaskan lelah sembari memandangi rumah rakit bapak, kapal-kapal yang berdesak, sampan-sampan yang seolah berpacu merumuni kapal dagang untuk sekedar membawa bawarang atau membawa penumpang. Pemandangan itu ialah ornamen yang luar biasa dipikiranku. Lulu lalang perahu dan beberapa kapal menuju kampung baru, ada pula yang melaju ke arah barat dan menghilang ditelan bukit itu. Kanal-kanal seperti ular menggeliat bersisikkan kapal. Kini aku telah sampai dibangunan megah itu, memang benar kata bapak, indah sekali.

“Sriwijaya” batinku

***

Solok

Aku kembali kebukit itu, ingin menatap semuanya kembali tapi semua hilang, rumah bapak, tangguk yang tinggal hikayat, kapal-kapal tinggal pakal-pakal. Bukit tempatku melepaskan resah, tinggal batang kering saja. Aku berderi dipinggiran itu seperti biasa, memandangi hamparan tanpa batas, tak ada lagi perahu lalu lalang, disudut timur tinggal perkampungan kumuh, kanal yang menjadi wc umum, sarang nyamuk, aku berlari ke taman raja tak ku jumpai Makara Kala, bahkan banguna yang gagah itu tinggal reruntuhan tanpa nyawa, lebur dihapus musim.

Ku panggil Tin yang juga Aisyah, istriku, tak lagi disisiku. Air yang pernah mengulum kaki dan kainnya, buram. Buram semua. Tubuhku tiba-tiba lemaas tak sadarkan diri, semuanya hilang.

“Hai bangun!”

Sebuah suara memekakan telingaku membuat aku tergagap, mataku kusibakkan, tapi pandanganku tak menemukan apapun semuanya telah berubah.

“Ironis” gumamku lirih, bangkit dan bergegas pergi.

- Advertisement -

Berita Terkini