Melihat Paripurna

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Ahmad Arief Tarigan

MUDANews.com – PARIPURNA, satu kata yang harfiahnya berarti ‘lengkap’ atau ‘menyeluruh’. Paripurna berakar dari Sanskrit. Kata ini lazim digunakan pada peristiwa politik semacam ‘sidang paripurna DPR’. Namun, sebelum melanjutkan, mari kita letakkan ia pada posisi kebahasaannya. Bahasa sebagai alat pertukaran pesan saya sedang tak ingin menyampaikan pesan tentang kancah perpolitikan.

Tema ini sudah lama didiskusikan para pegiat kebudayaan. Biar lebih sering terdengar lamat-lamat, entah karena apa. Bisa jadi karena tema kebudayaan dianggap kurang penting atau dalam istilah Pak Menteri tergolong ‘second class’. Apa pun alasannya, terserahlah. Selama bukan malah para pegiat kebudayaannya sendiri yang mengeksklusifkan diri sebagai ‘kaum moralis’ berbudaya.

Saat bersekolah di institusi pendidikan formal, kita sering mendengar ‘Kebudayaan Nasional’. Pada banyak kegiatan yang diselenggarakan, pemerintah atau swasta, tema ini pun sering diperdengarkan. Kebudayaan Nasional sebagai ‘puncak-puncak kebudayaan’ yang mencirikan identitas sebuah bangsa, demikian intisarinya sering diulang-ulang. Nasionalitas kebudayaan dari sebuah bangsa bernama Indonesia yang dideklarasikan secara politik pada tahun 1945.

Menyinggung tulisan saya sebelumnya tentang paradigma, pernyataan ‘puncak-puncak’ tak lebih dari ahistoris dan kekeliruan apabila diamini sebagai sesuatu yang final. Kebudayaan adalah proses menyejarah yang berlangsung terus-menerus selama manusia itu ada. Apalagi terma ‘puncak-puncak’ dianalogikan seperti ‘gunung-gunung’. Ini lebih fatal lagi karena menyejajarkan hal-ihwal kebudayaan dengan hirarki politik-kekuasaan. Ada yang di atas dan ada yang di bawah. Walau dihadirkan jamak ‘puncak-puncak’ ketimbang ‘puncak’ saja tetap kurang tepat mengingat kompleksitas kebudayaan yang ada. Kekeliruan ini berakar dari cara pikiran mendekati peristiwa kebudayaan. Cara berpikir politis sehingga mengerdilkan hakikat kekayaan budaya itu sendiri. Ini bertolak belakang dengan klaim ‘kekayaan budaya Nusantara’ sebagaimana sering digaungkan itu.

Kita mahfum dan wajib berempati pada ruang dan waktu kala itu. Saat dimana energi para pendahulu kita demikian terkuras untuk mendirikan sebuah bangsa. Bangsa yang berdiri atas sokongan keberagaman masyarakat Nusantara. Ada kebutuhan konsolidasi politik berbagai pihak di tengah ancaman asing yang tak rela kita menjadi sebuah bangsa mandiri. Syukur dan terima kasih tak terhingga kepada para pejuang yang telah berhasil memerdekakan dan mempersatukan kita sampai hari ini.

Sekarang ini, mengabaikan perdebatan wacana kebudayaan sebagai pengayaan perspektif mengandung kontradiksi tersendiri. Di era teknologi informasi abad 21 ini, tak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Semua terbuka. Kita sepantasnya mengelola dialog kebudayaan konstruktif, kritis dan representatif. Bukan sebaliknya, meminggirkan kebudayaan atas nama integrasi bangsa dan pendekatan kekuasaan. Bila peminggiran terus dilakukan, sama saja memperlemah fondasi kebangsaan kita sendiri.

Di sinilah relevansi ‘melihat paripurna’. Saya katakan ‘melihat’ bukan ‘mengamati’. Untuk ‘melihat’ tidak diperlukan keahlian khusus atau status formal tertentu. Sebab kita semua bagian sekaligus subjek kebudayaan. Yang diperlukan hanya kemauan berempati untuk melihat. Berbeda dengan ‘mengamati’ yang memerlukan minat dan penyediaan waktu khusus. Melihat paripurna, secara menyeluruh. Melihat delapan penjuru mata angin, atas-bawah, kiri-kanan. Dari ujung rambut sampai ujung kaki Nusantara. Cukup melihat semampunya saja dan semoga dari proses melihat itu tumbuh sikap apresiasi dan rasa syukur. Tidak sulit, sedikit pun tidak. Selama ada kemauan, apa yang sulit?

Penulis adalah Pengamat dan Pegiat Sosial Budaya

- Advertisement -

Berita Terkini