AGAMA SOLIDARITY VERSUS DISKRIMINASI, ‘Fungsi Agama Menuju Jalan Tuhan’

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Dr. H. Arifinsyah, M.Ag

MUDANews.com – Pada dasarnya semua agama mempunyai misi solidarity, apalagi Islam. Islam adalah suatu agama besar dan terkemuka di dunia, baik dipandang dari segi jumlah penduduknya dan terutama sekali dari segi pengaruh yang dimiliki ajaran-ajarannya terhadap tingkah laku, sikap dan pemikiran orang-orang yang percaya kepadanya. Ia bukan saja mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mencakup berbagai segi dan aspek kehidupan manusia dan hubungan antara sesamanya.  Islam muncul dan dapat dipertahankan karena membawa keselamatan umat sejagat dan menciptakan solidaritas tinggi terhadap komunitas lain. Di dalam Islam banyak dijumpai ajaran kasih sayang, toleransi, dan solidarity yang telah dibangun oleh peradaban profetik.  Artinya, agama itu hadir menyalamatkan dan meninggikan martabat manusia. Jika terjadi diskriminatif, pembantaian, pemusnahan komunitas, genosid entitas atas nama agama, sesungguhnya orang tersebut tidak beragama.

Fungsi agama adalah kaidah-kaidah pembebasan manusia dari kekerasan dan menuju jalan Tuhan.  Agama Islam sebagai agama universal membawa keselamatan dan kedamaian manusia lahir batin, kebahagiaan dunia akhirat di bawah bendera tauhid yang penuh dengan kasih sayang (marhamah). Jika ada yang mengatakan bahwa terorisme, anarkisme, saparatisme, dan sekarang gerakan ISIS yang massif itu adalah ajaran Islam,  tentu sangat keliru.  Sebab Islam menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminatif. Oleh kerenanya, jangan anda gegabah memberikan labeling negative pada suatu agama atau melakukan kriminalisasi simbol-simbol suci agama, jika anda tidak ingin dikatakan sebagai konflic maker.

Memang aneh, agama yang seharusnya membawa kedamaian, keselamatan dan membawa misi suci kemanusiaan, justru umatnya kok jadi bringas, menakutkan dan membawa bencana bagi manusia. Mengapa itu terjadi ?. Dalam komunitas Islam misalnya, hal itu terjadi karena etika yang dipakai bukanlah etika Alqur’an yang universal dan rahmatan lil ‘almin itu, tapi etika golongan, kelompok dan fanatisme mazhab tanpa alasan. Setiap golongan merasa bangga dengan dirinya. Disamping adanya konspirasi politisasi agama dan Islamophobia. Untuk menghindari hal semacam itu, kita buang etika golongan, dinasti atau etika ras, kita ganti dengan etika Qur’an. Etika Alqur’an sebenarnya; Innamal mukminuna ikhwatun. Artinya, orang beriman itu bersaudara, family dan satu keluarga yang saling membesarkan. Tidak hanya itu, Islam juga menghargai dan menghormati komunitas lain, asal tidak mengganggu dan mengancam eksistensinya. (QS. Yunus 99, Al-Mumtahanah: 8-9, al-Hujarat :13).

Di dunia global saat ini justru diperlihatkan keganasan dan kerakusan manusia terhadap sesama “homo homini lupus”, menjadi pemandangan yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan.  Satu kelompok membunuh kelompok yang lain secara saparatis tanpa prikemanusiaan.  Jika kita berpikir agak lebih jauh lagi, penyebabnya karena manusia itu belum dewasa dalam beragama. Beragama belum sampai pada posisi intellectual mutuarity. Menarik kalau dihubungkan dengan Islam, sepanjang sejarah orang Islam dikenal baik oleh kalangan Islam maupun non-Islam, toleransi sosialnya terhadap umat non-Islam begitu tinggi.  Benar apa yang dikatakan Betrand Russel, filosof Inggris terkenal, bahwa; penyebab pada seratus tahun pertama abad VII M. Islam berkembang dengan cepat adalah toleransi sosial “solidarity” nya terhadap umat yang beragama lain begitu tinggi yang tidak ada taranya dalam sejarah. Dalam seratus tahun saja kekuasaan Islam telah terbentang dari Spanyol sampai sungai Hindus.

Saat ini para ahli statistik dunia mencatat bahwa Islam perkembang pesat di dunia Eropa Barat. Seperti di Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman mencapai ratusan persen dalam sepuluh tahun terakhir. Mengapa hal itu bisa terjadi, apakah Islam di sana berkuasa, lalu dengan kekuasaannya memaksa orang untuk memeluk Islam ?. Tentu tidak. Karena yang berkuasa justru sebaliknya. Lalu mengapa umat Islam disana dari tahun ke tahun bertambah secara signifikan ?. Jawabannya adalah karena Islam itu agama fitrah, sesuai dengan pencernaan akal sehat dan hati nurani, serta mampu memberikan solusi terhadap berbagai kegelisahan spiritual. Sehingga banyak diantara mereka yang memilih Islam dan meninggalkan agama lamanya, karena mereka cerdas mempelajari Alqur’an yang rasional dan penuntun hidup menuju kebahagiaan lahir bathin.

Lalu kemudian, ketika umat Islam berkuasa apakah memaksakan keyakinannya kepada komunitas lain ?. Ha itu juga tidak akan terjadi, karena Islam dikembangkan melalui dakwah bil hikmah dan kesadaran tanpa paksa [QS. Al-baqarah: 256 dan an-Nahl:125].  Islam berkuasa  selama 6 abad di Spanyol, tidak satupun umat lain dipaksa untuk memeluk Islam, malah diberikan perlindungan. Tapi sebaliknya, ketika Spanyol dikuasai oleh agama lain, umat Islam diusir dari rumahnya dan dibunuh tanpa sisa, dan dipaksa mengkonversi keyakinannya, sungguh tragis.  Islam juga berkuasa lebih kurang 6 abad di India, Penguasa Mughal melindungi dan memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengamalkan agamanya masing-masing, sehingga sampai hari ini India tetap mayoritas agama non muslim. Artinya, jika Penguasa Islam saat itu melakukan pemaksaan tentulah India hari ini akan dihuni oleh mayoritas Islam, hal ini satu bukti bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan dan pemaksaan.

Demikian juga di Indonesia, Islam masuk dengan dawah kesadaran dan perdagangan, tanpa menopleng dengan penjajah. Walaupun Islam meyoritas di Indonesia dan boleh dikatakan berkuasa, tapi tetap menunjungi tinggi kemanusiaan, toleransi, kerukunan antarumat beragama.  Orang beriman diharuskan menghargai dan menghormati semua nabi utusan Allah, diharuskan bergaul secara baik dengan umat lain baik dalam tindakan, maupun perkataan, dan saling melindungi, menjaga keselamatan rumah ibadah setiap umat beragama, tidak menzaliminya, memelihara kehormatan semua umat beragama, hak hidupnya, memperbaiki masa depannya, hak hidup dan masa depan umat Islam sendiri. Dengan solidarity yang tinggi seperti ini akan menjadikan Islam sebagai agama pilihan masa depan.

Sejarah Peradaban agama-agama mencatat bahwa prasangka buruk dan tindakan diskriminatif terhadap Islam dan umat Islam, tak terpisahkan dari upaya umat lain untuk memisahkan Muslim dari akidahnya, melemahkan umat Islam, mengkompanyekan stigma yang merendahkan, dituduh intoleransi, lalu menguasai sumber ekonomi, dan bila perlu menggenosida Muslim dan mengusirnya dari tanah kelahirannya dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Islamofobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Islamofobia dapat juga didefinisikan sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan Muslim,” lalu kemudian mereka melakukan praktik diskriminasi terhadap Muslim. Padahal Islam itu agama damai, rahmatan lil ‘alamin, toleran dengan berbagai keyakinan dan menghargai heterogenitas. Substansi Istilah itu sudah ada sejak lama, boleh dikatakan sejak pecahnya perang salib, dan menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001.

Jika dicermati catatan histori dari Dr. Jerald F. Dirks dalam karyanya “The Abrahamic Faiths”. Secara Historisitas membuktikan bahwa pada awal abad ke-11 M Paus Urbanus II secara resmi mendeklarasikan perang Suci melawan umat Islam di Timur Tengah,  dan mengecap seluruh muslim sebagai ras terkutuk, sehingga menyulut fanatisme dan kebencian terhadap Muslim. Sepanjang abad ke-12 dan 13 terus digaungkan kebencian teradap muslim dengan lahirnya sebuah karya dari penyair Normandia yang kemungkinan ditulis oleh Turold “La Chanson de Roland” mempersonifikasikan muslim sebagai penjahat dan penyembah berhala. Yang kemudian menempatkan Nabi Muhamamd  sebagai pemimpin di kalangan jiwa-jiwa terkutuk yang menyebabkan stigma agama. Nabi Muhammad digambarkan terbelah dari kepala sampai pinggang dan mengoyak-ngoyak dadanya dengan tangannya sendiri.

Tidak hanya itu, pada abad 15 M di Spanyol ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus. Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh mayoritas masyarakat dunia setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).

Masih banyak peristiwa yang sama dalam perjalanan historisitas Islamofobia sampai di era modern dan saat ini. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana derita umat Islam di Bosnia dan Kosovo. Dunia menyaksikan pembantaian besar-besaran di Balkan, ketika musuh-musuh Allah Serbia melancarkan perang genosida terhadap umat Islam di Bosnia, sebagai pembersihan etnis, ratusan ribu dibunuh tanpa prikemanusiaan, dan jutaan orang diusir dari rumah-rumah mereka. Di awal mellenium ketiga ini juga masih terus terjadi Islamofobia. Di Amerika, Perancis dan di beberapa Negara Eropa lainnya melakukan penghinaan terhadap Islam, melarang umat Islam mengamalkan ajaran agamanya, dan mengadakan sayembara membuat karikatur Nabi Muhammad untuk menyudutkan Muslim. Di Myanmar, terjadi pembantaian dan pembunuhan etnis Rohingya yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan genosida. Sepantasnya mendapat kecaman dari dunia, sebab perlakuan pemerintah Myanmar dan sekelompok tokoh agama yang membenci etnis Rohingya sudah melanggar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.[jo]

Bersambung…..

Penulis adalah Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN SU

- Advertisement -

Berita Terkini