Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Histori Singkat)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: M Alwi Hasbi Silalahi

MUDANews.com – Bagi seorang muslim, Iman adalah bagian paling mendasar dari kesadran keagamaannya. Perkataan iman menjadi bahan pembicaraan di setiap pertemuan keagamaan, yang selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Dengan berhadapannya dunia islam dan dunia yahudi-kristen (Barat) sekarang ini, pembicaraan tentang kaitan antara iman dan ilmu dalam islam menjadi semakin sulit. Sedangkan seorang penganjur islam mengalami kesulitan menghadapi kenyataan betapa umat islam sekarang ini nampak seperti tidak mempunyai peranan apa – apa dalam ilmu pengetahuan.

Dalam peradaban Islam Klasik, terdapat semangat keterbukaan yang merupakan wujud nyata rasa keadilan yang diemban umat islam sebagai “umat penengah” (ummat wasath), seperti Firman Allah “dan demikianlah Kami (Tuhan) jadikan kamu sekalian umat penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia …………”. Nilai – nilai permanen itu adalah keseluruhan nilai dalam ajaran islam yang menjadi konsisitensi keimanan yang benar.

Bertrand Russel dalam pendapatnya tentang Orisinilitas dan Kontribusi Ilmuwan Islam, cenderung merehkan tingkat orisinilitas konstribusi islam di bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang kimia dan matematika. Kemudian para filosof klasik islam, betapa pun pengembaraan intelektualnya adalah orang – orang yang relegius. Al-Ghazali bukanlah orang pertama dan terakhir yang berusaha membongkar filsafat. Sebelumnya telah tampil beberapa sarjana dan pemikir yang berjuang membendung Hellenisme ke dalam sistem ajaran islam itu.salah satunya adalah “ilmu kalam”, suatu teologi dialektis islam yang dibangun dengan banyak meminjam unsur – unsur Aristotelianisme. Selain itu, Ibn Taymiyyah, dalam kritiknya terhadap logika formal ialah bahwa metode berfikir ala aristoteles itu tidak akan menemaukan kebenaran, karena ada klaim akan kebenaran universal itu di dunia. Baginya, kebenaran yang dicapai oleh logika formal tidak lebih dari hasil intelektualisasi (ta’aqqul) dalam otak / pikiran yang tidak selalu cocok dengan kenyataan di luar. Kebenaran hanya dapat diketahui dengan melihat kenyataan di luar itu. Ia juga banyak menggunakan metode empiris dalam mengembangkan pengetahuan mereka. Dari sini, hal – hal yang bersifat kefilsatan yang membentuk suatu pandangan dunia dan hidup menyeluruh sesungguhnya telah disediakan oleh pokok-pokok ajaran islam dalam Al Qur’an, yang oleh Iqbal disebut mengajarkan metode berpikir empiris.

Peradaban islam adalah yang pertama menginternasionalisasikan ilmu pengetahuan yang terjadi dalam 2 bentuk, yaitu pertama, sesuai dengan kedudukan dan tugas suci mereka sebagai umat penengah dan saksi atas manusia. Kedua, sejalan denagan keyakinan bahwa ajaran agama mereka harus membawa kebaikan seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.Kemudian, umat islam klasik menjadi pemimpin intelektual dunia selama 4 abad dengan puncaknya pada khalifah Harun Ar Rasyid (paham Al Sunnah) dan Al mi’un (paham Al-Mu’tazilah) putranya, yang secara berurutan memerintah dari tahun 783-933. Dimond mengatakan bahwa orang – orang muslim klasik itu membagi manusia dalam lingkungan kekuasaannya menjadi : 1) kelompok yang tertarik kepada ilmu pengetahuan (Yahudi, Yunani & Persi) 2) Kelompok yang tidak tertarik (Cina, Turki, Kristen). Permasalahan lain, disebabkan oleh suasana permusuhan antara kekhalifahan islam dengan kekaisaran Kristen Byzantium, orang – orang yahudi nampak lebih mengakomodasikan diri ke peradaban islam. Selain itu terdapat daerah netral yang di dalamnya semua golongan berpartisipasi secara bebas dan positif. Kemudian keemasan dan keruntuhan islam juga dirasakan oleh Bangsa Yahudi. Sebaliknya, kebangkitan Barat menimbulkan rasa amat tidak enak bagi muslimin. Tetapi yang lebih menderita adalah Yahudi, karena hal ini merupakan permulaan dari pengalaman mereka yang paling tragis sepanjang sejarah yaitu genosida oleh orang – orang Jerman Nazi. Terlebih lagi Munculnya Israel yang merupakan malapetaka bagi Yahudi.

Meskipun umat islam sekarang mundur / ketinggalan, maka hal itu tidak perlu menjadi alasan kesedihan yang berlarut – laruit, sehingga menghabiskan energi kita. Kaum musliminharus yakin bahwa potensi tetap hidup pada umat dan agamanya untuk sekali lagi maju ke depan, memimpin umat manusia sesuai dengan design Tuhan, untuk mengulangi peranannya sebagai pembawa kebaikan bagis seluruh alam. Demikianlah, maka kita harus mengambil tanggung jawab keadaan kita sekarang tanpa banyak menggantungkan nasib kepada orang luar selain Tawakkal kepada Allah SWT.[jo]

Penulis adalah Fungsionaris ICMI Muda Sumut sekaligus Wakil Sekertaris Karang Taruna Sumut.

- Advertisement -

Berita Terkini