Terkait Mie Instan Mengandung Babi, Pengamat: Bukti Lemahnya Posisi Umat Islam

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Laporan: Dhabit Barkah Siregar

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Terkait penemuan mie instan impor mengandung babi yang dijual secara acak di Swalayan Maju Bersama, Jalan Kapten Muslim, Kecamatan Medan Helvetia, Akademisi Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Drs. Shohibul Anshor Siregar M.Si., pun menyayangkan hal tersebut.

Saat dikonfirmasi, Shohibul menjelaskan, kasus tersebut bukanlah hal yang pertama terjadi. Pengelola swalayan tidak memperdulikan hak konsumen masyarakat mayoritas (muslim) di Indonesia, khususnya di Medan. Padahal, hak konsumen sudah dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen.

Namun, masalah itu bukan hanya timbul dari pihak pengelola swalayan, maupun penyedia produk pangan saja. Akan tetapi, Shohibul mengimbau agar warga muslim seharusnya mampu bersaing dalam dunia industri pangan. Hal ini yang nantinya akan menjadi solusi timbulnya masalah serupa. Sebab, saat ini pelaku usaha penyedia pangan, baik swalayan maupun industri masih dikuasai masyarakat non-muslim.

“Kasus semacam ini sudah berulang lama di luar yang tidak diketahui publik. Apa masalah intinya? Umat Islam tak menekuni industri. Karena itu konsumsinya tergantung kepada industriawan. Faktanya mereka (pelaku usaha) non muslim. Lemahnya posisi umat Islam di Indoesia sudah sejak zaman kolonial Belanda,” terang Shohibul di kediamannya, Jalan Cendrawasih III No 339, Kelurahan Kenangan Baru, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Minggu (19/2).

Lanjut dikatakannya, di Indonesia, hanya pada saat pemerintahan Presiden Soekarno umat Islam itu mendapat perhatian khusus. Pada kepemimpinan Presiden RI lainnya, hingga kini, perhatian itu tampak mulai berkurang. Terlebih lagi, di rezim Presiden Jokowi.

Di masa kepemimpinan Jokowi, Islam sangat dikekang sebagai kekuatan politik pembangunan bangsa. Dan pada masa kepemimpinan Presiden sebelumnya, Islam seperti di pinggirkan dalam urusan politik. Hal ini juga berkaitan tumbuhnya pelaku-pelaku usaha penyedia pangan non-muslim.

“Tidak ada Presiden RI yang memiliki pemahaman tentang Islam selain Bung Karno. Bung Karno juga bukan seorang yang begitu suka melihat Islam tumbuh menjadi kekuatan politik, dan pola ini diikuti oleh semua presiden RI hingga Joko Widodo,” jelasnya.

Sehubungan itu, label halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi solusi untuk membedakan antara produk halal dan non-halal. Tetapi, label tersebut tidak bermanfaat secara signifikan. Itu dikarenakan upaya sertifikasi produk masih sangat minim lantaran Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki MUI masih terbatas.

“Sesungguhnya bukan tidak ada manfaat, namun sangatlah minimum upaya sertifikasi atas produk-produk industri makanan seperti yang dilakukan selama ini,” tutur Shohibul.

Karenanya, Shohibul kembali menegaskan, umat Islam harus bersaing dalam dunia perindustrian. Tidak hanya dalam lingkup nasional, umat Islam seharusnya mampu menguasai dunia industri internasional.

“Selagi umat Islam tidak mengambil-alih industri, akan akan terus mengalami masalah serupa ini,” tandasnya.

Diketahui pengelola Swalayan Maju Bersama, Jalan Kapten Muslim, Kecamatan Medan Helvetiah menjual produk pangan yang mengandung bahan non-halal di tengah-tengah wilayah mayoritas muslim tanpa memikirkan resikonya. Produk itu berupa mie instan impor asal Korea, kemasan (cup) bermerk ‘Kimchi’.

Dalam praktik penjualannya, pihak pengelola swalayan tidak menaruh mie itu pada rak khusus untuk memisahkan antara produk yang halal dan tidak. Pada penyusunannya, rak tempat produk itu tidak jauh dengan produk yang halal.

Kemudian, imbauan khusus dari pengelola mengenai kandungan babi pada produk juga tidak ada, hanya terdapat pada kemasan, tepat pada bagian daftar komposisi.

Sebelumnya, MUI Medan, melalui Ketua Lembaga Konsultasi dan Siyasah Syari’ah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan, Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum juga mengimbau, agar masyarakat muslim di Medan memboikot swalayan yang tidak dikelola secara bijak, seperti mengabaikan hak konsumen dengan menjual produk makan, minum dan obat-obatan yang mengandung bahan non-halal.

Dan juga, Hakim meminta warga muslim lebih berhati-hati dalam membeli produk. Terkhusus, saat membeli produk di swalayan yang dikelola oleh penduduk non-muslim.

“Kabarkan kepada umat Islam agar memboikot belanja di tempat itu sembari mendesak aparat menindaknya,” tegas Hakim melalui pesan singkat Whats App, Sabtu (18/2).

- Advertisement -

Berita Terkini