Terkait Mie Instan Mengandung Babi di Swalayan Maju Bersama, MUI Medan Angkat Bicara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Laporan: Dhabit Barkah Siregar

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Terkait temuan mie instan impor mengandung babi, membuat sejumlah masyarakat Medan, khususnya beragama muslim lebih berwaspada membeli produk mie instan.

Sepintas, di Swalayan Maju Bersama, Jalan Kapten Muslim, Kecamatan Medan Helvetiah mie instan bermerk ‘Kimchi’ itu tampak seperti mie instan biasa. Namun, setelah dicek lebih teliti, di kemasan (cup) luar mie itu, tertera bahan dasar pembuatan mie. Termasuk imbauan berbahan babi.

Akan tetapi, pengelola swalayan menjual mie tersebut secara acak, tanpa ada rak khusus yang memisahkan antara mie halal dan non-halal. Juga, imbauan khusus mengenai produk mengandung babi. Sehingga, hal ini akan berdampak kepada pembeli beragama muslim yang tidak teliti.

Sehubungan itu, Ketua Lembaga Konsultasi dan Siyasah Syari’ah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan, Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum mengimbau masyarakat muslim di Medan agar lebih hati-hati dalam membeli produk mie instan, terkhusus mie impor yang dijual di swalayan yang dikelola oleh penduduk non-muslim.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara hukum. Di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pada Pasal 1 ayat 3, kemudian Pasal 29 ayat 1 berbunyi, negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa (YME). Selanjutnya, di ayat 2 UUD 45, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut kepercayaannya itu.

“Peran negara harusnya mewujudkan alinea ke-4 pembukaan UUD 45,” kata Hakim melalui panggilan seluler, Jum’at (17/2) sore.

Karenanya, setiap hak warga dijamin dalam UUD 45, termasuk penyediaan pangan. Terlebih dalam Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, Pangan dan Kesehatan. Dalam hal ini, penyediaan pangan bagi masyarakat muslim dijamin dalam UU RI No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Pemberlakuan UU itu, berhubungan dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemerika Halal (LPH) pada 17 Oktober 2014 lalu. Namun hingga kini, kelembagaan yang disyaratkan sebagai pengawas JPH itu belum berjalan efektif. Sebab, lembaga-lembaga di bawah kewenangan BPJPH masih sangat minim Sumber Daya Manusia (SDM).

“Namun hingga hari ini kelembagaan yang disyaratkannya sebagai pengawas JPH itu belum terisi orang-orangnya, baik di pusat apalagi di daerah. Lembaga itu bernama Badan Penyelenggara JPH dan Lembaga Pemeriksa Halal. Pasal 64 UU JPH disebut, BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 tahun sejak UU ini diundangkan, jadi limit waktu itu paling lambat 17 Oktober 2017, tersisa waktu 8 bulan lagi. Pasal 4 UU JPH menegaskan, produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Namun, Pasal 4 itu baru efektif berlaku 5 tahun,” jelas Hakim melalui panggilan seluler, Jum’at (17/2) sore.

Karena masih dalam masa transisi, sambung Hakim, UU JPH belum terlalu efektif untuk menjamin produk pangan halal bagi masyarakat muslim. Hal ini menjadi penyebab, maraknya impor produk non-halal di Indonesia, yang mayoritas konsumen muslim.

“Analisa, karena UU JPH itu masih masa transisi, maka inilah kesempatan emas dari berbagai kalangan khususnya pedagang untuk bermain sesukanya dengan mengabaikan kepentingan umat Islam. Inilah bukti nyata intoleran bahkan tepatnya ketidakperdulian atau bahkan kesengajaan agar umat Islam terjebak makan atau minum atau menggunakan produk yang haram,” paparnya.

Selanjutnya, Hakim menuturkan, pemerintah harusnya tegas dalam melayani masyarakat. Apalagi, melayani dalam menyediakan pangan halal bagi masyarakat muslim, sebab itu menjadi kewajiban pemerintah.

Untuk itu, Hakim pun menegaskan, kepada seluruh warga muslim di Indonesia, khususnya Medan agar memboikot perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggungjawab dalam menyediakan makanan, minuman dan obat yang mengandung bahan non-halal.

“Negara harusnya sigap, tapi faktanya mereka tidak perduli, bahkan ada sinyalemen oknum-oknumnya bersekongkol dengan pedagang itu. Padahal kewajiban negara melindungi rakyatnya sesuai dengan agamanya. Inilah harusnya konsern media melakukan kritik, tapi sekaligus memberi info konsumen, khususnya Islam agar mereka tahu dengan berbagai hal, sehingga mereka tidak menjadi korban dan terjebak. Kabarkan kepada umat Islam agar memboikot belanja di tempat itu sembari mendesak aparat menindaknya,” tandas Hakim.[am]

- Advertisement -

Berita Terkini